Raja Yazdegerd III adalah penguasa Kekaisaran Sasaniyah di Persia (Iran) terakhir sebelum diambil-alih oleh pasukan muslim yang datang dari Arab.
Posisi Yazdegerd III sudah sangat terdesak pada 651 Masehi itu. Setelah kekalahan besar di Perang Nahawand yang terjadi pada 642 M silam, Kekaisaran Sassaniyah yang pernah sangat berjaya di Persia memang mulai menatap keruntuhannya, dan itu akhirnya terjadi juga.
Selama 10 tahun itu, Yazdegerd III sebagai penguasa Sassaniyah harus selalu berpindah tempat untuk menghindari pasukan muslim yang datang menyerang dari seberang teluk. Meskipun masih sempat melakukan perlawanan kendati secara gerilya, tapi tentara Arab terlalu kuat sehingga raja penganut Majusi ini terpaksa menjadi pelarian.
Hingga suatu hari di suatu tempat bernama Merv (kini termasuk wilayah Turkmenistan), Kaisar Yazdegerd III akhirnya terbunuh. Bukan oleh tentara Islam, tetapi dihabisi oleh bawahannya sendiri yang memberontak karena merasa sang raja sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Persia pun sepenuhnya jatuh ke pelukan Islam.
Yazdegerd III adalah cucu Khosrau II, raja Sassaniyah yang pernah dua kali memimpin. Periode pertama hanya bertahan beberapa bulan saja pada 590 M sebelum ia dikudeta, lalu naik tahta lagi pada 591 M. Periode pemerintahan Khosrau II yang kedua ini berlangsung lama hingga tahun 628 M (Saeed Alizadeh, et.al., Iran: A Chronological History, 2004).
Dinasti Sassaniyah sendiri berdiri sejak 224 M dan pernah menjadi kekuatan terbesar di Asia Barat, Selatan, dan Tengah. Shapur Shahbazi (2005) dalam buku Sasanian Dynasty menyebutkan, selama lebih dari 400 tahun, Kekaisaran Sassaniyah merupakan lawan sepadan bagi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menjadi simbol kekuatan Eropa.
Kejayaan Persia mulai sirna setelah akhir pemerintahan Khosrau II yang selanjutnya lebih kerap akrab dengan perang saudara. Sejak 628 hingga 632 M atau hanya dalam kurun waktu 4 tahun, Kekaisaran Sassaniyah telah berganti raja sampai 14 kali. Dan, yang menjadi raja terakhir Dinasti Sassaniyah sebelum Persia beralih-rupa adalah Yazdegerd III.
Sassaniyah tak tinggal diam. Yazdegerd III mengutus jenderal kepercayaannya, Rostam Farrokhzad, untuk memimpin pasukan menuju ke Irak. Terjadilah pertempuran pertama antara Dinasti Sassaniyah melawan pasukan muslim pada 634 M yang dikenal dengan nama Perang Jisr (Khalid Yahya, ed., The History of al-Tabari, 1993:188). Persia meraih kemenangan dalam perang ini.
Namun, situasi berbalik setelah Umar bin Khattab menjadi pemimpin Madinah, khalifah ke-2—setelah wafatnya Nabi Muhammad—sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sejak awal kepemimpinannya, Umar memang berupaya untuk memperluas wilayah Islam (Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Kabah, 2013:208).
Khalifah Umar yang mulai memimpin di Madinah sejak 23 Agustus 634 M langsung menyusun strategi demi membalas kekalahan dari Sassaniyah di Irak. Pada 636 M, dikirimlah pasukan muslim dalam jumlah yang lebih besar di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqqash. Bentrokan pun terjadi di sebelah barat Sungai Eufrat.
Pertempuran yang dikenang dengan nama Perang Al-Qadisiyyah ini dimenangkan oleh pihak muslim. Yazdegerd III bahkan harus kehilangan tiga panglima terpentingnya, yaitu Rostam Farrokhzad, Bahman Jadhuyih, dan Armenia Jalinus, yang tewas (Peter Crawford, The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam, 2013:140).
Kekalahan ini menjadi awal petaka bagi Dinasti Sassaniyah yang mengalami nasib serupa dalam pertempuran berikutnya Perang Jalula yang terjadi pada pada 637 M. Puncaknya, Persia menderita kekalahan terbesar pada 642 M dalam Perang Nahawand. Situasi ini memaksa Yazdegerd III terpaksa pergi dari istananya untuk menyelamatkan diri dan mencari bantuan.
Namun, kebenaran dari keberadaan surat itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah beredar luas. Salinan surat tersebut, beserta balasan dari Yazdegerd III yang menolak mentah-mentah tawaran Umar, disebut-sebut berada di Museum London, Inggris.
Umar bin Khattab sendiri wafat pada 3 November 644 M, dua tahun setelah Perang Nahawand yang merupakan kemenangan terbesar atas Sassaniyah. Umar tewas ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak yang mendendam gara-gara penaklukan Persia (Mazheruddin Siddiqi, Modern Reformist Thought in the Muslim World, 1982:147).
ang jelas, Yazdegerd III memang tidak pernah memenuhi permintaan Umar bin Khattab untuk menyerah dan memeluk Islam. Ia masih berusaha mencari bantuan kepada vasal-vasal taklukan kerajaannya, hingga berupaya mencapai Cina untuk meminta perlindungan dari Dinasti Tang yang memang bersahabat dengan Kekaisaran Sassaniyah.
Asa Yazdegerd III itu tidak pernah terwujud karena ia akhirnya mati di tangan anak buahnya sendiri dalam perjalanan menuju Cina. Kematian Yazdegerd III sekaligus menutup riwayat Kekaisaran Sassaniyah. Persia pun menyongsong era baru di bawah naungan Madinah.
Posisi Yazdegerd III sudah sangat terdesak pada 651 Masehi itu. Setelah kekalahan besar di Perang Nahawand yang terjadi pada 642 M silam, Kekaisaran Sassaniyah yang pernah sangat berjaya di Persia memang mulai menatap keruntuhannya, dan itu akhirnya terjadi juga.
Selama 10 tahun itu, Yazdegerd III sebagai penguasa Sassaniyah harus selalu berpindah tempat untuk menghindari pasukan muslim yang datang menyerang dari seberang teluk. Meskipun masih sempat melakukan perlawanan kendati secara gerilya, tapi tentara Arab terlalu kuat sehingga raja penganut Majusi ini terpaksa menjadi pelarian.
Hingga suatu hari di suatu tempat bernama Merv (kini termasuk wilayah Turkmenistan), Kaisar Yazdegerd III akhirnya terbunuh. Bukan oleh tentara Islam, tetapi dihabisi oleh bawahannya sendiri yang memberontak karena merasa sang raja sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Persia pun sepenuhnya jatuh ke pelukan Islam.
Persia Pernah Berjaya
Tanggal 16 Juni 632 Masehi atau tepat 1.385 tahun silam, Yazdegerd III dinobatkan sebagai penguasa Kekaisaran Sassaniyah di Persia yang ke-38 pada usia yang masih sangat belia, 8 tahun. Yazdegerd III dipilih sebagai jalan tengah untuk menyelesaikan perang saudara yang kala itu sedang melanda Dinasti Sassaniyah.Yazdegerd III adalah cucu Khosrau II, raja Sassaniyah yang pernah dua kali memimpin. Periode pertama hanya bertahan beberapa bulan saja pada 590 M sebelum ia dikudeta, lalu naik tahta lagi pada 591 M. Periode pemerintahan Khosrau II yang kedua ini berlangsung lama hingga tahun 628 M (Saeed Alizadeh, et.al., Iran: A Chronological History, 2004).
Dinasti Sassaniyah sendiri berdiri sejak 224 M dan pernah menjadi kekuatan terbesar di Asia Barat, Selatan, dan Tengah. Shapur Shahbazi (2005) dalam buku Sasanian Dynasty menyebutkan, selama lebih dari 400 tahun, Kekaisaran Sassaniyah merupakan lawan sepadan bagi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menjadi simbol kekuatan Eropa.
Kejayaan Persia mulai sirna setelah akhir pemerintahan Khosrau II yang selanjutnya lebih kerap akrab dengan perang saudara. Sejak 628 hingga 632 M atau hanya dalam kurun waktu 4 tahun, Kekaisaran Sassaniyah telah berganti raja sampai 14 kali. Dan, yang menjadi raja terakhir Dinasti Sassaniyah sebelum Persia beralih-rupa adalah Yazdegerd III.
Serangan Dari Arab
Naik tahtanya Yazdegerd III yang masih bocah rupanya dimanfaatkan betul oleh kekhalifahan Islam yang berpusat di Madinah. Tahun 633 M, pasukan muslim menyerbu salah satu negara taklukan Kekaisaran Sassaniyah yang berlokasi di Irak, yakni Kerajaan Bani Lakhm, dan berhasil merebutnya (John Middleton, World Monarchies and Dynasties, 2015).Sassaniyah tak tinggal diam. Yazdegerd III mengutus jenderal kepercayaannya, Rostam Farrokhzad, untuk memimpin pasukan menuju ke Irak. Terjadilah pertempuran pertama antara Dinasti Sassaniyah melawan pasukan muslim pada 634 M yang dikenal dengan nama Perang Jisr (Khalid Yahya, ed., The History of al-Tabari, 1993:188). Persia meraih kemenangan dalam perang ini.
Namun, situasi berbalik setelah Umar bin Khattab menjadi pemimpin Madinah, khalifah ke-2—setelah wafatnya Nabi Muhammad—sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sejak awal kepemimpinannya, Umar memang berupaya untuk memperluas wilayah Islam (Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Kabah, 2013:208).
Khalifah Umar yang mulai memimpin di Madinah sejak 23 Agustus 634 M langsung menyusun strategi demi membalas kekalahan dari Sassaniyah di Irak. Pada 636 M, dikirimlah pasukan muslim dalam jumlah yang lebih besar di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqqash. Bentrokan pun terjadi di sebelah barat Sungai Eufrat.
Pertempuran yang dikenang dengan nama Perang Al-Qadisiyyah ini dimenangkan oleh pihak muslim. Yazdegerd III bahkan harus kehilangan tiga panglima terpentingnya, yaitu Rostam Farrokhzad, Bahman Jadhuyih, dan Armenia Jalinus, yang tewas (Peter Crawford, The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam, 2013:140).
Kekalahan ini menjadi awal petaka bagi Dinasti Sassaniyah yang mengalami nasib serupa dalam pertempuran berikutnya Perang Jalula yang terjadi pada pada 637 M. Puncaknya, Persia menderita kekalahan terbesar pada 642 M dalam Perang Nahawand. Situasi ini memaksa Yazdegerd III terpaksa pergi dari istananya untuk menyelamatkan diri dan mencari bantuan.
Runtuhnya Kekaisaran Iran
Saat Dinasti Sassaniyah sedang menanti keruntuhannya, sejumlah referensi menyebut bahwa Yazdegerd III menerima surat dari Umar bin Khattab. Melalui surat tersebut, Khalifah Umar meminta kepada penguasa Sassaniyah itu untuk menyerah. Yazdegerd III akan diampuni jika bersedia meninggalkan agamanya, Zoroaster, dan masuk Islam.Namun, kebenaran dari keberadaan surat itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah beredar luas. Salinan surat tersebut, beserta balasan dari Yazdegerd III yang menolak mentah-mentah tawaran Umar, disebut-sebut berada di Museum London, Inggris.
Umar bin Khattab sendiri wafat pada 3 November 644 M, dua tahun setelah Perang Nahawand yang merupakan kemenangan terbesar atas Sassaniyah. Umar tewas ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak yang mendendam gara-gara penaklukan Persia (Mazheruddin Siddiqi, Modern Reformist Thought in the Muslim World, 1982:147).
ang jelas, Yazdegerd III memang tidak pernah memenuhi permintaan Umar bin Khattab untuk menyerah dan memeluk Islam. Ia masih berusaha mencari bantuan kepada vasal-vasal taklukan kerajaannya, hingga berupaya mencapai Cina untuk meminta perlindungan dari Dinasti Tang yang memang bersahabat dengan Kekaisaran Sassaniyah.
Asa Yazdegerd III itu tidak pernah terwujud karena ia akhirnya mati di tangan anak buahnya sendiri dalam perjalanan menuju Cina. Kematian Yazdegerd III sekaligus menutup riwayat Kekaisaran Sassaniyah. Persia pun menyongsong era baru di bawah naungan Madinah.
Komentar
Posting Komentar