Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018
LETTOMI ERAN DI LANGI TALLANGMI LONDONG NA LURA (Patahlah tangga ke langit Tenggelamlah Kerajaan Bambapuang di Lura) Pada umumnya kerajaan di Sulawesi Selatan mengenal istilah TOMANURUNG dimana pada lontara di Endekan Massenrempulu Tomanurung di Bambapuang yang memerintah dan bersemayam di Puncak gunung Bambapuang dimana pada zaman itu/zaman Prasejarah gunung Bambapuang merupakan gunung yang tertinggi di Sulawesi Selatan. Di atas puncak gunung Bambapuang oleh Dewata telah menurunkan tiga orang Tomanurung yang diutus ke bumi dan berkembang menjadi keluarga besar. Ketiga Tomanurung tersebut masing-masing Tomanurung Wellangdilangi, Tomanurung Tamborolangi dan Tomanurung Embongbulan(wanita). Bahwa umur manusia pada zaman itu rata-rata dapat mencapai sampai seribu tahun, maka ketiga Tomanurung tersebut setelah dewasa mereka mempunyai rencana untuk hidup mandiri. Pada suatu hari ketiganya meminta kepada Dewata agar mereka dapat meninggalkan puncak gunung Bambapuang dan sek

Mataram Yogyakarta Bukan Pewaris Sah Majapahit

Oleh : Sigit Wibowo IndependensI.com  – Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat dari segi legalitas sejarah. Penguasa Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pertama yakni Panembahan Senapati atau Sutawijaya tidak memiliki keterkaitan dari segi silsilah dengan Raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V atau Dyah Suraprabawa. Klaim Babad Tanah Jawi yang menjadi landasan legitimasi bahwa Kerajaan Mataram Islam Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit tidak memiliki pijakan yang kuat dan cenderung ahistoris. Babad Tanah Jawi disusun pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dimana penguasa membutuhkan legitimasi kuat bagi Kesultanan Mataram agar masyarakat Jawa mau menerima Panembahan Senapati dan keturunannya sebagai penguasa sah Tanah Jawa sebagai pewaris atau penerus Kerajaan Majapahit yang bercorak Siwa-Buddha. Terlebih lagi jika mengkaitkan hubungan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Mataram kuno baik Dinasti Sanjaya (Badra) ata

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai