Langsung ke konten utama

Mataram Yogyakarta Bukan Pewaris Sah Majapahit

Oleh : Sigit Wibowo
IndependensI.com – Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat dari segi legalitas sejarah. Penguasa Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pertama yakni Panembahan Senapati atau Sutawijaya tidak memiliki keterkaitan dari segi silsilah dengan Raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V atau Dyah Suraprabawa.
Klaim Babad Tanah Jawi yang menjadi landasan legitimasi bahwa Kerajaan Mataram Islam Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit tidak memiliki pijakan yang kuat dan cenderung ahistoris. Babad Tanah Jawi disusun pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dimana penguasa membutuhkan legitimasi kuat bagi Kesultanan Mataram agar masyarakat Jawa mau menerima Panembahan Senapati dan keturunannya sebagai penguasa sah Tanah Jawa sebagai pewaris atau penerus Kerajaan Majapahit yang bercorak Siwa-Buddha.
Terlebih lagi jika mengkaitkan hubungan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Mataram kuno baik Dinasti Sanjaya (Badra) ataupun Dinasti Syailendra maka semakin ahistoris. Karena Mataram Kuno dan Mataram Islam Yogyakarta terpaut lebih dari 6 abad tanpa ada silsilah yang bisa menghubungkan diantara keduanya. Jika mengklaim pewaris Medhang Matriam (Mataram), dari jalur manakah Panembahan Senapati berasal ?
Panembahan Senapati atau Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan seorang petani. Ki Ageng Pemanahan adalah tangan kanan sekaligus guru spiritual Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir atau Raja Kerajaan Pajang. Jaka Tingkir adalah putra Bupati Pengging Kebo Kenanga. Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging sebelumnya yakni Andayaningrat. Andayaningrat inilah putra mahkota Majapahit yang gugur di tangan Sunan Undung pada perang yang terjadi pada 1478.
Ki Ageng Pemanahan sendiri dengan demikian bukan keturunan trah Majapahit seperti Hadi Wijaya. Babad Tanah Jawi berupaya menjustifikasi bahwa Suta Wijaya berasal dari keturunan raja Majapahit tanpa alur sejarah yang jelas.
Sejarawan G Moedjanto dalam buku yang berjudul Konsep Kekuasaan Jawa: penerapannya oleh raja-raja Mataram, terbitan Kanisius (1987) menyatakan seluruh keturunan Raja Mataram Islam berasal dari petani sehingga dibutuhkan gelar sebagai basis legitimasi kekuasaan. Gelar Panembahan yang digunakan Senapati sebenarnya bukan gelar untuk golongan ningrat dan gelar Ki Ageng yang dipergunakan Pemanahan menunjukkan bahwa ia berasal dari petani.

Dengan demikian keturunan raja-raja Mataram adalah keturunan yang mencoba terus memburu gelar sebagai basis penguat legitimasi kekuasaan di Jawa. Istilahnya raja-raja Mataram tetap ingin mendapatkan: “trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih”. Saat berubah menjadi Mataram Islam, gelar Sultan dipakai karena menunjukkan adanya legitimasi atas Islam yang mulai menyebar di Jawa dan merupakan gelar pemberian dari Turki Utsmani (Ottoman).
Keabsahan Panembahan Senapati dan keturunannya yang mengklaim sebagai pewaris sah Majapahit inilah yang juga dipertanyakan keturunan bangsawan Madura yakni Trunajaya. Trunajaya merupakan keturunan bangsawan Madura yang melawan dan berhasil mengusir Amangkurat II dari Keraton Mataram, mengejek raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senapati itu ibarat buah tebu.
“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”. (Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, halaman 84).
Karena kesal dengan ejekan ini, pada saat Trunajaya kemudian ditangkap atas bantuan Pangeran Puger dan VOC. Amangkurat II dan keluarga Mataram beramai-ramai mencincang Trunajaya, kepalanya dipenggal dan dikubur di bawah anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri. “Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunajaya”, demikian sumpah raja Mataram yang marah besar atas penghinaan Trunajaya yang masih merupakan trah keturunan Majapahit.

Mataram Islam Bawahan Turki

Gubernur DIY sekaligus Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan bahwa Keraton Mataram Yogyakarta mengakui kekuasaan Khilafah Turki Utsmani.
“Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa, ditandai penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan La Ilaha Illa Allah dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasul Allah. Hingga kini kedua bendera itu masih tersimpan baik di keraton Yogyakarta. “Ini berarti Kesultanan Ngayogyakarta adalah kekhilafahan yang masih eksis di bumi pertiwi,” kata Sri Sultan dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta pada bulan Februari 2015.
Dengan demikian sejak era Kesultanan Demak, Sultan HB X mengakui bahwa Jawa hanya menjadi bawahan Khilafah Turki Ottoman dan bukan menjadi wilayah yang sepenuhnya merdeka seperti pada masa Kerajaan Majapahit. Pengakuan pada kekuasaan Turki Ottoman sudah terjadi sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol dan Belanda datang ke Nusantara.
Adapun Raja Mataram Islam Yogyakarta yang mengakui kekuasaan Khilafah Turki Ottoman adalah Sultan Agung (sebelum menjadi bawahan Turki Ottoman bernama Panembahan Agung Hanyakrakusuma). Ia bersama Sultan Iskandar Tani dari Aceh melakukan perjanjian dan persekutuan dengan Turki Utsmani (Ottoman) pada masa Sultan Murad IV.
Setelah perjanjian dan persekutuan antara Sultan Murad IV dan Panembahan Agung Hanyakrakusuma dilakukan maka penguasa Mataram tersebut berangkat ke Mekah untuk dibai’at oleh Syarif Makka Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi. Sultan Agung kemudian dipercaya sebagai Utusan Makkah di Tanah Jawi yang akan membantu membela Islam dan menjadi wilayah anggota bawahan Sultan Murad IV dari Turki Ottoman.
Setelah resmi menjadi sultan dan berada di bawah Turki Utsmaniyah maka secara simbolik tutup kepala Kulup Kanigoro Sultan Agung diganti dengan menggunakan Tarbusy seperti yang dikenal sampai sekarang. Selain itu juga di berikan tongkat pataka, air zam zam yang diletakan dalam guci, juga kiswah kabah dan satir dari makam Nabi Muhammad yang dijadikan satu menjadi bendera bertuliskan ashaduallaiillahaillallah, dan yang satu lagi bertuliskan waashaduanamuhammadan abduhu warasullu, dan juga surat Al Kautsar.
Bendera ini di beri nama Kyai Tunggul Wulung yang sekarang masih ada di keraton Yogyakarta. Sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, menyebutkan gelar khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia.
Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah. Gelar khalifatullah ini sesungguhnya tidak lagi relevan karena Khilafah Turki Utsmani sudah dibubarkan oleh Mustapha Kemal “Attaturk” Pasha pada 3 Maret 1924.
Pembubaran negara induk yakni Khilafah Turki Utsmani inilah yang tidak diikuti negara bawahan atau vassalnya yakni Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta, setelahnya. Kesultanan Mataram Yogyakarta dengan demikian masih mengakui kekuasaan Turki Ottoman meskipun kekhalifahan itu telah bubar. Jika menggunakan logika sederhana pembubaran negara induk seharusnya diikuti pembubaran negara bawahan atau negara vassal.
Dengan demikian sebelum hadirnya negara penjajah dari Eropa yakni Belanda, Jawa sebenarnya bukan lagi sebuah wilayah merdeka seperti masa Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh oleh serangan Demak maka Jawa menjadi bagian Khilafah Turki Ottoman. Kesultanan Mataram Yogyakarta bukan simbol kemandirian dan kebanggaan orang Jawa tetapi simbol kemerosotan peradaban orang-orang Jawa. Kesultanan Mataram Yogyakarta bukan pewaris sah Kerajaan Majapahit tetapi hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan Khilafah Turki Ottoman. (*)
Penulis adalah wartawan Independensi.com dan peminat masalah sejarah, tinggal di Cilebut, Bogor

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai