Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

MESIR DI MASA DINASTI FATIMIYYAH & BERDIRINYA DINASTI AYYUBIAH

Mesir merupakan negara di Afrika yang sangat merasakan kekuasaan dinasti Fatimiyyah. Karakteristik khas budaya mereka diteruskan secara turun-temuran kepada penerusnya Ubaydullah al-Mahdi. Meskipun begitu perdebatan dan intrik politik dengan provinsi-provinsi di barat laut Afrika dan Asia Barat membuat Kairo Mesir sulit untuk meletakan jejak sejarahnya di daerah tersebut. Sejarah kebudayaan Mesir, Fatimiyyah dan dinasti-dinasti sebelumnya yaitu dinasti Iksidiyah dan dinasti Thulun merupakan dinasti yang berkebudayaan Arab-Persia. Philip K. Hitti dalam  History of the Arabs  (2005), mengatakan bahwa pada periode Fatimiyyah kebudayaan yang mendominasi pada saat itu yaitu kebudayaan Persia. Terdapat elemen penting yang menjadi perhatian pada periode Abad Pertengahan dan masa modern yaitu orang - orang Kristen Koptik yang terarabkan, populasi tersebut bertahan di bawah kekuasaan rezim ultra-Syiah meskipun masyarakat pada umumnya beraliran Sunni. Melanjutkan dari buku  History of the

DEPOK TANAH WARISAN SAUDAGAR VOC

Penolakannya terhadap politik kompeni,membuat CHASTELEIN membangun koloni sendiri di selatan Batavia . KENDATI sama-sama mendulang kekayaan di Hindia Belanda, Cornelis Chastelein bersilang jalan dengan VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur). Pada 1691, Chastelein memutuskan pensiun sebagai saudagar. Dia mengundurkan diri dari kongsi dagang Belanda itu karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan Gubernur Jendral Mr. Willem of Outhoorn. Chastelein menyadari bahwa sebuah koloni akan stabil dan makmur apabila penduduknya tidak ditindas. Pada 1695, Chastelein membeli beberapa lahan partikelir di selatan Batavia di antaranya adalah Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Depok. Tanah di Serengseng dibangun menjadi rumah peristirahatan menikmati masa pensiunnya. Sementara itu, tanah Depok hendak dijadikannya sebagai lahan penghasil produk-produk pertanian.  “Sebagai penguasa tanah Depok, Chastelein ingin mewujudkan cita-cita memerintah dengan pendekatan soft-power dan pen

Sejarah Nama Indonesia

George Samuel Windsor Earl (1813-1865) adalah seorang ahli etnologi Inggris, ia adalah redaktur majalah JIAEA (Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia), sebuah majalah ilmiah tahunan yang terbit tahun 1847.  Majalah JIAEA sendiri dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869) seorang sarjana hukum lulusan Universitas Edinburgh dan berkebangsaan Skotlandia. Di terbitan JIAEA tahun 1850, Earl menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” dan menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama yang unik, sebab penyebutan ‘Hindia’ kerap rancu dengan ‘India’. Earl menyarankan penggunaan nama Malayunesia sebagai pengganti nama Hindia-Belanda sebab sangat tepat untuk ras Melayu apalagi bahasa Melayu lazim digunakan di wilayah kepulauan tersebut, sementara Indunesia lebih tepat digunakan untuk wilayah Srilanka (Ceylon) dan Maladewa yang secara genetik

PENYEBAB DEMAK MENYERANG MAJAPAHIT

Penyerangan Demak ke Majapahit yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Majapahit tentu ada sebab-sebabnya. Namun berhubung sumber sejarah yang menceritakan perang antara Demak dan Majapahit tidak hanya satu maka sebab-sebanyapun berbeda-beda. Menurut Prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya Giriwardana mengaku bahwa ia telah mengalahkan Bre Kertabhumi (Brawijaya V) dan ia memindahkan Ibu Kota Majapahit ke Daha (Kediri) (Abimayu, 217 hlm 293). Sumber sejarah ini menginformasikan bahwa pada Tahun 1478 Majapahit yang kala itu diperintah oleh Bre Kertabumi  yang juga merupakan ayah Raden Patah dikudeta oleh Raja Bawahannya dari Daha sehingga menyebabkan Trowulan Jatuh, sehingga selanjutnya Ranawijaya mengangkat diri menjadi Raja Majapahit (Brawijaya VI). Kudeta yang dilancarkan Ranawijaya membuat murka Raden Patah yang merupakan keturunan dari Bre Kertabhumi, dari itulah dikemudian hari Demak memproklamirkan kemerdekaannya untuk kemudian menyerang Majapahit yang kala itu beribukota di Daha.
SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA? Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah #Kapitayan. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” yang bermakna #hampa atau #kosong.  Orang Jawa/Sunda Wiwitan mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa” alias tidak tampak dan  tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Dalam Al Qur'an dan hadist di sebutkan هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ “ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Nampak  dan #Yang_Samar ( tak tampak ).” (QS: Al-Hadid: 3)  Ayat di atas ditafsiri oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai berikut:  اللهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ "Ya Allah, Engkau adalah yang awal maka tidak ada sebelum-Mu sesuatu apa pun. dan Engkau adalah yang akhir maka t

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 dan meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk.  Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913. Pendidikan di Belanda

WE TENRI LELEANG, RATU AGUNG TANA LUWU

Pada negeri tempat kami dilahirkan, yakni : Belawa. Sekiranya ada yang bertanya, “PolE tEgaro turungengki’ ?” (dari mana yang menurunkan anda ?). Jika menyebut suatu negeri lain “dari mana asal muasal”, maka pertanyaan itu akan terus berkelanjutan, “Niga turungengki’ ?” (siapa yang menurunkan anda ?). Namun sekiranya pada pertanyaan awalnya dijawab : “PolE Tana Datu Poatangnga’..” (Datu yang memperabdikan saya dari Tana Luwu..), maka tiada lagi pertanyaan berikutnya..”. Bagaimana bisa Tana Luwu demikian diagungkan seperti itu ?, tanya salah seorang kemenakan kami penasaran. Maka salahsatu jawabannya adalah diuraikan dan dihaturkan berikut ini. ………………………………………………………. Pada pertengahan abad XVIII, Catherine seorang puteri Kerajaan Jerman Minor dinobatkan “Tsarina” (kaisar) Rusia yang memimpin rakyatnya menuju keagungan Eropa. Maka pada belahan dunia lainnya dalam kurun waktu yang sama, Bangsa Luwu di Pulau Celebes terbit pula seorang pemimpin perempuan yang keagungannya tetap meningga

Makna Dari (Pati OBONG) Dalam Hindu Kelasik

Ma Huan, juru tulis pribadi Cheng Ho pada kunjungannya ke Majapahit antara 1413 dan 1415. Ma Huan menuliskan kesaksiannya pada upacara kremasi dan ritual Sati: "Tatkala seorang bangsawan atau pemimpin tertinggi meregang jiwa, selir dan para pelayan yang paling setia bersumpah: “Dalam kematian kami akan ikut denganmu.” Ritual Sati mengacu pada tokoh Daksyani dalam kitab Siva Purana, seb6ah kitab yang berisi kisah dan ajaran keagamaan yang ditulis sekira 300 tahun SM sampai abad ke-4 SM. Dalam Siva Purana, dikisahkan bahwa Daksayani rela mengakhiri hidup demi menebus rasa hina terhadap suaminya, Siva. Penghinaan itu dilakukan Daksa, raja yang juga ayah Daksayani. “Tindakan Daksayani adalah perwujudan sati. Dia telah menempuh satya-nya (kesetiaan), untuk sehidup-semati bersama sang suami,” Dalam konteks suami-istri, satya wacana (bersikap benar dan setia) diucapkan mempelai perempuan kepada mempelai pria saat upacara pernikahan di hadapan api sebagai manifestasi Hyang Ag