Langsung ke konten utama

PENYEBAB DEMAK MENYERANG MAJAPAHIT


Penyerangan Demak ke Majapahit yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Majapahit tentu ada sebab-sebabnya. Namun berhubung sumber sejarah yang menceritakan perang antara Demak dan Majapahit tidak hanya satu maka sebab-sebanyapun berbeda-beda.

Menurut Prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya Giriwardana mengaku bahwa ia telah mengalahkan Bre Kertabhumi (Brawijaya V) dan ia memindahkan Ibu Kota Majapahit ke Daha (Kediri) (Abimayu, 217 hlm 293). Sumber sejarah ini menginformasikan bahwa pada Tahun 1478 Majapahit yang kala itu diperintah oleh Bre Kertabumi  yang juga merupakan ayah Raden Patah dikudeta oleh Raja Bawahannya dari Daha sehingga menyebabkan Trowulan Jatuh, sehingga selanjutnya Ranawijaya mengangkat diri menjadi Raja Majapahit (Brawijaya VI).

Kudeta yang dilancarkan Ranawijaya membuat murka Raden Patah yang merupakan keturunan dari Bre Kertabhumi, dari itulah dikemudian hari Demak memproklamirkan kemerdekaannya untuk kemudian menyerang Majapahit yang kala itu beribukota di Daha. Memaahami hal tersebut maka sebab-sebab Demak Menyerang Majapahit menurut Prasasti Petak dan Jiyu adalah karena dendam.

Dengan kata lain Demak tidak terima atas kudeta yang dilakukan Ranawijaya, sehingga menyebabkan Demak menyerang Majapahit. Demak Menyerang Majapahit  terjadi berkali-kali akan tetapi Demak berhasil mengalahkan merebut Daha dan mengalahkan Majapahit terjadi pada Tahun 1527.

Berbeda dengan sumber sejarah dari prasasti Jiyu dan Petak, versi babad mengabarkan bahwa sebab-sebab Demak menyerang Majapahit dikarenakan persoalan ambisi Raden Patah yang ingin mengislamkan tanah Jawa. versi ini dituturkan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.

Menurut versi Babad, Sunan Ampel melarang Raden Patah menyerang Majapahit karena bagaimanapun Bbre Kertabhumi adalah ayah dari Raden Patah sendiri, akan tetapi selepas kematian Sunan Ampel Raden Patah tetap melakukan penyerangan ke Majapahit. Dalam penyerangan tersebut Majapahit dapat dikalahkan sementara Bre Kertabhumi sendiri dikisahkan moksa (Menghilang), selepas ditaklukan, Demak menempatkan Sunan Giri sebagai penguasa Majapahit.

Versi babad tanah Jawi dan Serat Kanda ada sedikit kemiripan dengan versi yang dikabarkan dalam naskah Kronik Cina Kuil Sam Po Kong Semarang. Dalam Naskah tersebut dijelaskan bahwa sebab-sebab Demak menyerang Majapahit juga soal ambisi Raden Patah yang ingin mengislamkan Majapahit. Akan tetapi dalam Naskah tersebut menyatakan bahwa Demak pada Tahun 1478 berhail menaklukan Majapahit sementara Bre Kertabhumi diboyong ke Demak dan ditahan dengan hormat. Untuk selanjutnya Majapahit menjadi bawahan Demak sementara yang dijadikan penguasa di Majapahit adalah seorang Cina Muslim bernama Nyoo Lay Wa.

Naskah Kronik Cina Kuil Sam Po Kong Semarang  melanjutkan bahwa pada Tahun 1485, Nyoo Lay Wa terbunuh karena pemberontakan kaum Pribumi, sehingga Jin Bun (Raden Patah) mengangkat seorang Pribumi bernama Pa-Bu-Ta-La.

Baik menurut Babad maupun Kronik Cina Kuil Sampokong di atas dapatlah dipahami bahwa sampai pada Tahun 1487 Majapahit masih tetap ada, hanya saja kedudukannya berubah menjadi bawahan kerajaan Demak.

Tokoh Pa-Bu-Ta-La yang dikisahkan dalam Kronik Cina Kuil Sampokong menurut beberapa sejarawan dinyatakan identik dengan Tokoh Ranawijaya yang dikabarkan dalam Prasasti Petak dan Jiyu yang mengaku mengalahkan (Mengkudeta) Bre Kertabhumi. Hanya saja perbedaannya jika Ranawijaya dalam Prasasti Jiyu dan Petak yang melakukan kudeta atas Majapahit, akan tetapi dalam naskah Kronik Cina menginformasikan bahwa ia diangkat menjadi Penguasa Majapahit karena diangkat oleh Raden Patah.

Dari beberapa sumber sejarah di atas, agaknya sumber dari Prasasti Jiyu dan Petak lebih dapat dipercaya dan masuk akal. Dengan kata lain sebab-sebab Demak menyerang Majapahit adalah karena Raden Patah merasa dendam karena ayahnya di kudeta oleh Ranawijaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai