Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

ADE’ WARI MATTOLA DATU RI LUWU

Memenuhi permintaan Anrikku Petta KaraEng Andi  Unding  menyangkut perihal suksesi tahta kerajaan di Sulawesi Selatan pada zaman dulu, berikut ini antara lain diuraikan suatu contoh tata aturan penentuan seorang Datu Luwu, sebagaimana ketetapan Ade’ Puraonro di Tana Luwu yang diberlakukan sejak PajungngE Petta MatinroE ri Tompotikka dan belum ada ketetapan perubahan sampai pada saat ini. Uraian ini sesungguhnya bukanlah suatu rahasia atau dikhususkan sebagai Ade’ Maraja (adat istiadat khusus Allangkanang) bagi kalangan tertentu, melainkan dimaksudkan sebagai suatu upaya memperluas cakrawala pengetahuan pada masa ini. ………………………………………………….. Bahwa sebagaimana dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, setiap bangsawan dituliskan kelahirannya dalam “panguriseng” (bab silsilah) dengan mencantumkan waktu kelahiran, peristiwa khusus pada masa itu dan kadar derajat darah kebangsawanannya. Menentukan derajat kebangsawanan senantiasa berdasarkan rumus : Derajat Ayah + Derajat Ibu = X/

ALIANSI AJATAPPARENG

La Oddang Ajatappareng dimaknai dari segi bahasa bugis berarti sebelah barat danau. Kemudian sekiranya dimaknai sebagai suatu kawasan (wilayah) persekutuan, maka dikenallah sebagai “LimaE ri Ajatappareng” (Lima Disebelah Barat Danau). Suatu aliansi regional yang mewujudkan suatu kekuatan politik yang disegani pada abad 15 di Sulawesi Selatan. Para kerajaan yang bersekutu itu adalah : Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang dan Alitta. Kelima kerajaan tersebut terletak disebelah barat Tappareng KarajaE (Danau Besar). Danau besar yang dimaksud sesungguhnya adalah suatu danau yang tergabung dari 3 wilayah kerajaan, yakni : Danau Tempe (Wajo), Danau Batu-Batu (Soppeng) dan Danau Sidenreng sendiri. Danau ini merupakan suatu genangan air yang menjadi muara dari hulu sungai di wilayah pegunungan Massenrengpulu (Maiwa, Enrekang, Duri, Kassa’ dan Batulappa) disebelah utara dan pegunungan Nepo disebelah barat serta pegunungan Soppeng disebelah selatan. Maka pada sebelah barat danau besar inil

SISINGAMANGARAJA ke-12

Perang Batak dan Gugurnya Sisingamangaraja Bersama Dua Putranya. Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang 'terbeang' atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Lu