Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 dan meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk.  Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913. Pendidikan di Belanda

WE TENRI LELEANG, RATU AGUNG TANA LUWU

Pada negeri tempat kami dilahirkan, yakni : Belawa. Sekiranya ada yang bertanya, “PolE tEgaro turungengki’ ?” (dari mana yang menurunkan anda ?). Jika menyebut suatu negeri lain “dari mana asal muasal”, maka pertanyaan itu akan terus berkelanjutan, “Niga turungengki’ ?” (siapa yang menurunkan anda ?). Namun sekiranya pada pertanyaan awalnya dijawab : “PolE Tana Datu Poatangnga’..” (Datu yang memperabdikan saya dari Tana Luwu..), maka tiada lagi pertanyaan berikutnya..”. Bagaimana bisa Tana Luwu demikian diagungkan seperti itu ?, tanya salah seorang kemenakan kami penasaran. Maka salahsatu jawabannya adalah diuraikan dan dihaturkan berikut ini. ………………………………………………………. Pada pertengahan abad XVIII, Catherine seorang puteri Kerajaan Jerman Minor dinobatkan “Tsarina” (kaisar) Rusia yang memimpin rakyatnya menuju keagungan Eropa. Maka pada belahan dunia lainnya dalam kurun waktu yang sama, Bangsa Luwu di Pulau Celebes terbit pula seorang pemimpin perempuan yang keagungannya tetap meningga

Makna Dari (Pati OBONG) Dalam Hindu Kelasik

Ma Huan, juru tulis pribadi Cheng Ho pada kunjungannya ke Majapahit antara 1413 dan 1415. Ma Huan menuliskan kesaksiannya pada upacara kremasi dan ritual Sati: "Tatkala seorang bangsawan atau pemimpin tertinggi meregang jiwa, selir dan para pelayan yang paling setia bersumpah: “Dalam kematian kami akan ikut denganmu.” Ritual Sati mengacu pada tokoh Daksyani dalam kitab Siva Purana, seb6ah kitab yang berisi kisah dan ajaran keagamaan yang ditulis sekira 300 tahun SM sampai abad ke-4 SM. Dalam Siva Purana, dikisahkan bahwa Daksayani rela mengakhiri hidup demi menebus rasa hina terhadap suaminya, Siva. Penghinaan itu dilakukan Daksa, raja yang juga ayah Daksayani. “Tindakan Daksayani adalah perwujudan sati. Dia telah menempuh satya-nya (kesetiaan), untuk sehidup-semati bersama sang suami,” Dalam konteks suami-istri, satya wacana (bersikap benar dan setia) diucapkan mempelai perempuan kepada mempelai pria saat upacara pernikahan di hadapan api sebagai manifestasi Hyang Ag