Langsung ke konten utama

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia



Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Koto, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 dan meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk.  Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.

Pendidikan di Belanda

Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia). Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru). Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatra. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatra Post.  Selanjutnya, Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri. Namun ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas. Ia lalu membuka sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah. Sekolah itu disebut Sekolah Rakyat. Sekolah itu memiliki kurikulum seperti sekolah di Uni Sovyet, dimana setiap pagi murid-murid menyanyikan lagu Internasionale". Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Dalam otobiografinya, Tan menganggap bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui. Tapi, Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga terpecah.

Tan Malaka di Hong Kong

Tan Malaka pun pernah “ditolong” aparat dan pejabat kolonial Inggris di Hong Kong pada 1932. Kendati selama dua bulan dijebloskan ke sel, setidaknya ia aman dari penangkapan agen Belanda. Pemerintah kolonial Inggris menolak tuntutan ekstradisi pemerintah Hindia Belanda. Tan yang sejak 1922 kabur dari Hindia Belanda ke berbagai negeri, singgah ke Kowloon, Hong Kong pada 1932. Sebelumnya, ia berdiam di Shanghai, China.

“Di awal Oktober 1932 seorang (nama samaran) Ong Soong Lee yang biasa menggunakan 13 nama samaran yang kebetulan menyewa ruangan nomor 13 di Station Hotel di Kowloon dengan biaya 13 dolar. Buat yang percaya 13 angka sial, pada momen doble 10 atau 10 Oktober, perayaan lahir Republik China, angka 13 memainkan peran kemalangan di malam itu yang berhubungan dengan saya,” tulisnya dalam otobiografi, Dari Penjara ke Penjara jilid 2.

Tan alias Ong Soong Lee, di malam 10 Oktober 1932 kena ciduk polisi penyelidik Inggris selepas bersua koleganya sesama aktivis komunis internasional (komintern) Dawood. Dinas rahasia Inggris saat itu sedang mencari seorang aktivis komunis asal Filipina. Tan disangka orang Filipina itu saat diinterogasi di markas kepolisian Kowloon oleh penyelidik keturunan India Pritvy Chan.

Tan dipaksa mengaku sebagai orang Filipina. Ia hampir mendapat kekerasan fisik, namun gagal karena Tan keburu menjelaskan dia seorang Tionghoa kelahiran Hawaii. “Saya bisa buktikan lewat paspor saya. Saat memeriksanya, ia terduduk diam dan kemudian meminta maaf,” ujar Tan.

Tan lalu ditransfer ke Markas Besar Kepolisian Hong Kong untuk interogasi lanjutan oleh Inspektur Murphy. Penyamarannya terkuak dan ia dicecar pertanyaan-pertanyaan soal pergerakan nasional di Hindia Belanda dan potensi dampaknya pada situasi di Hong Kong.

“Tapi Inggris tak punya cukup bukti dan pertanyaan-pertanyaan mereka abstrak, tak berkaitan satu sama lain, mengawang di udara, mendasarkan pada kekhawatiran, curiga dan prasangka, bukan pada bukti kejahatan yang ditemukan. Pemerintah Hong Kong yang tahu hasil interogasinya jadi ragu apakah saya korban praduga tak bersalah,” sambungnya.

Tan Malaka saat ditahan di Hong Kong (Repro Bapak Republik yang Dilupakan/Dok. Harry Poeze). Tan kemudian diajukan ke pengadilan dan dijebloskan ke sel memprihatinkan bersama para tahanan Tionghoa. Mengingat status hukumnya yang belum jelas, banyak penjaga penjara bersimpati padanya, mulai dari para penjaga asal India hingga Inspektur Murphy sendiri.

Simpati itu membuat Tan diizinkan berkirim surat. Kesempatan itu digunakan Tan untuk mengirim surat antara lain ke Ketua Partai Sosialis Inggris Lansbury dan politisi Partai Buruh Mackston. Tan menggambarkan situasi dirinya.

Keberadaan Tan di Hong Kong namun sudah terendus aparat Hindia Belanda. Datanglah Visbeen, eks perwira PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda yang jadi utusan Hindia. Tan dikonfrontir dengan Visbeen. Sang utusan pun meminta Tan diekstradisi.

“Visbeen menekan otoritas Hong Kong menyerahkan saya ke Hindia Belanda. Mungkin interview (dengan Visbeen, red.) dimaksudkan untuk memastikan apakah saya benar-benar Tan Malaka, lantaran ada banyak laporan tentang penangkapan maupun kematian saya di beberapa negara,” tutur Tan.

Tuntutan Visbeen ditolak otoritas Hong Kong, yang salah satu undang-undangnya menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Inggris melindungi pelarian politik di wilayahnya. Setelah lima bulan mendekam di bui, Tan dibebaskan berkat bantuan para politisi yang ia surati sebelumnya.

Namun, Tan diperingatkan agar tak kembali ke Hong Kong. Jika tidak, ia akan kembali dipenjara selama setahun dan dideportasi. Jika menolak dideportasi, akan dipenjara lagi dua atau tiga tahun. Tan lantas dideportasi ke Shanghai.

“Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus,” tandas Tan dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).

Ketika Tan Malaka Jadi Orang Tionghoa

Sebagai orang buangan politik yang paling dicari-cari oleh pemerintah kolonial dan imperialis di Asia, Tan Malaka selalu mengganti-ganti identitas demi keselamatannya. Pengalaman ditangkap dan ditahan di beberapa negeri, mulai Hongkong sampai Filipina, membuatnya harus semakin mahir menyembunyikan diri di balik identitas palsu. Bak film spionase, bukan hanya nama yang diganti, tapi juga penampilan dan bahasa.

Salah satu periode penting dalam hidup Tan Malaka, di mana dia tampil sepenuhnya sebagai orang Tionghoa terjadi ketika dia menetap di Singapura mulai 1937 sampai 1942. Sebelum tinggal di Singapura, yang saat itu masih di bawah wilayah Malaya kekuasaan Inggris, Tan sempat singgah beberapa bulan saja di Rangoon, Burma. Karena kesulitan mendapat pekerjaan, dia memutuskan untuk hijrah ke Singapura di pengujung 1937.

Penyamarannya sebagai seorang Tionghoa sudah dimulai sejak kali pertama tiba di Pelabuhan Penang di bawah nama Tan Ming Siong. Petugas pelabuhan, menurut Tan, menaruh curiga padanya dan berlama-lama memeriksanya dalam bahasa Mandarin. Sesekali petugas tersebut menjebak Tan untuk menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris atau Melayu, namun Tan mengendus aroma jebakan dalam pemeriksaan itu. Sekali terpleset, petugas bisa langsung mengetahui identitas asli Tan Malaka.

Menurut Tan, kepiawaian bahasa Mandarin petugas tersebut tak lebih baik darinya. Itu sebabnya Tan bersikukuh mengaku sebagai orang Tionghoa, “oleh karena dia belum pernah pergi ke negara “leluhurnya” maka dalam hal ke-Tionghoa-an saya tak perlu mengangkat bendera putih di depannya ... apabila dia mau membelok kepada bahasa Melayu atau Inggris entah apa sebabnya –maka saya tetap ber si Tionghoa dan menarik dia kembali kepada ke-Tionghoa-an,” ujar Tan Malaka dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara jilid II.

Setelah sekian lama diperiksa, akhirnya Tan berhasil mengelabui petugas dan mempercepat jalannya pemeriksaan dengan menyogok mereka. “Ciak teh” begitu istilah sogokan yang berlaku saat itu. Cara itu lazim berlaku di wilayah jajahan Inggris yang sebetulnya memberlakukan aturan ketat bagi imigran Tiongkok “Dengan menjalarnya penyakit ciak-teh di pelabuhan seperti Singapura dan Penang, maka “immigration law” Inggris adalah sandiwara semata-mata,” ujar Tan.

Lolos dari imigrasi pelabuhan, Tan Malaka alias Tan Ming Siong menuju ke kawasan kampung Geylang di Singapura, tempat di mana dia pernah tinggal sepuluh tahun sebelumnya. Namun kata Tan Malaka, kampung yang sebelumnya banyak ditempati pendatang dari Jawa itu kini lebih banyak dihuni warga Tionghoa.

Di Singapura, Tan Malaka sempat luntang-lantung mencari pekerjaan yang tak pernah dia dapatkan sampai kemudian secara tak sengaja bertemu Buna, seorang pemuda hokian, sohib lamanya. Dari Buna Tan dihubungkan kepada kawan Tionghoa lainnya yang berjasa memberikannya pekerjaan sebagai guru di sekolah rendah Tionghoa. Kendati tak punya ijazah, berkat kemahiran Tan Malaka menguasai bahasa serta beberapa mata pelajaran sekolah, dia diterima bekerja.

Menurutnya, ijazah sekolah asal Hindia Belanda “sama sekali tak boleh disimpan apalagi dipertontonkan”. Karena orang Indonesia dari Jawa atau Sumatera yang pandai, mahir berbahasa asing, dapat menimbulkan kecurigaan orang-orang. “Mungkin sekali dia komunis pelarian, demikianlah pikiran orang Melayu sesudah tahun 1927,” kata Tan merujuk tahun di saat terjadinya pemberontakan PKI di Banten dan di Sumatera Barat.

Untuk menjaga kemungkinan dikuntit intelijen Belanda dan Inggris, sebisa mungkin dia tak tampil sebagai orang Indonesia yang bisa beresiko bagi keselamatannya. “Intelligence Service Inggris yang kerjasama dengan PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Pengawasan Politik, red.) Belanda sama tajam penciumannya dengan hardershond tulen (anjing pemburu),” kata Tan Malaka.

Dalam pengantar buku Materialisme, Dialektika, Logika (Madilog) dia menulis, “Di Singapura dalam masyarakat Tionghoa dengan nama dan pasport Tionghoa (sudah tentu diluar pengetahuan Inggris yang asyik mencium jejak saya), saya beruntung bisa memanjat dari sekolah rendah sampai kepada Sekolah Menengah Tinggi yang tertinggi di Asia Selatan, yaitu Nanyang Chinese Normal School (NCNS). Di sini saya melamar jadi guru bahasa Inggris dengan memakai nama Tan Ho Seng.”

Sebagai guru sekolah rendah Tionghoa yang bertugas mengajari bahasa Inggris untuk anak-anak Tiongkok totok dia mendapat bayaran 8 dolar per bulan. Seperti diakuinya, gaji sedemikian kecil tak bisa mencukupi kehidupannya selama sebulan. Tapi yang terpenting baginya adalah rasa aman bekerja sebagai guru Tionghoa.

“Siang hari saya dapat menjalankan tabir asap. Anjing pemburu (baca: intelijen Inggris, red.) tak “lekas” tercium oleh hidungnya kedalam kamar sekolah anak-anak. Di jalanan pun tak bisa berjalan bersama-sama dengan para guru Tionghoa, sehingga tak pula “lekas” tercium oleh hidungnya anjing pemburu yang ingin mendapatkan mangsa buat tuannya,” kata Tan dalam otobiografinya.

Sejarawan Harry Poeze memperkuat kisah tersebut. Menurutnya aktivitas penyamaran Tan Malaka dilakukan untuk menghindari kejaran intelijen Inggris. “Selama di Singapura dia sepenuhnya hidup sebagai seorang Tionghoa, berbicara dan bergaul dengan orang Tionghoa,” kata dia kepada Historia beberapa waktu lalu. Hanya di waktu-waktu tertentu Tan mencari kontak orang Indonesia. “Pada saat-saat senggang dan di tempat-tempat yang aman ia mencari hubungan dengan orang-orang Indonesia,” tulis Harry dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid 3.

Masa penyamarannya sebagai orang Tionghoa berakhir ketika Jepang menyerbu Singapura. Aktivitas mengajarnya berhenti dan situasi semakin tak menentu. Saat itu pula dia memutuskan untuk menyeberang ke Sumatera, pulang kembali ke negerinya sendiri yang selama 20 tahun ditinggalkannya. Pada April 1942, setelah hampir lima tahun tinggal di wilayah koloni Inggris itu, Tan bertolak ke Penang selanjutnya menyeberangi Selat Malaka menuju Belawan, Medan.

Tan Malaka Ingin Jadi Presiden

Setelah terpilih menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Sutan Sjahrir bersama lima belas orang yang sebagian besar pengikutnya bertemu Tan Malaka di Serang, Banten, pada 23 Oktober 1945. Seminggu sebelumnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai politik.

Dalam pertemuan itu, Sjahrir meminta kesediaan Tan Malaka menjadi ketua partai sosialis yang akan didirikan dalam waktu dekat. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan memberikan keuntungan kepada partai sosialis. Tan Malaka menolak.

Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner. Dia juga tak mau menjadi kawan separtai dari kaum sosialis, yang sebagian besar masih berkompromi dengan kapitalisme dan imperialisme. Tan Malaka mengatakan, “Saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat.”

Selain itu, “Tan Malaka tidak suka jabatan resmi dengan tugas-tugas untuk ke kongres, bertemu orang, dan lain-lain. Ini mungkin karena kepribadiannya dan juga karena Tan Malaka ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai. Dan ini cocok dengan ambisinya menjadi presiden,” ujar Poeze kepada Historia.

Menurut penuturan Djohan Sjahroezah, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin pamannya Sjahrir, Tan Malaka mendesak Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang, “supaya menentukan sikap siapa-siapa sebaiknya yang memimpin revolusi nasional, menjadi presiden dan perdana menteri,” tulis Djoeir Moehamad, anggota dewan pimpinan PSI, dalam Memoar Seorang Sosialis.

Tan Malaka mengusulkan agar dirinya menjadi presiden dan Sjahrir menjadi perdana menteri sekaligus menteri pertahanan, ekonomi, dalam dan luar negeri. Sjahrir tidak langsung menolak. Dia malah bercerita pernah berkeliling Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan berkesimpulan hanya Sukarno-lah pemimpin yang dikenal rakyat.

Sjahrir juga mengemukakan bahwa Tan Malaka kurang mengetahui perkembangan terakhir seraya menganjurkan agar berkeliling Jawa untuk mengetahui sejauh mana popularitasnya di mata rakyat.

“Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno kami akan mempertimbangkan Anda sebagai presiden,” kata Sjahrir, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.

Sjahrir mengingatkan Tan Malaka, “Kita ini orang Sumatera, tak begitu dikenal oleh masyarakat Jawa. Karena itu sebaiknya kita sokong Sukarno saja sebagai presiden dan Hatta wakilnya.”

“Tidak mungkin,” kata Tan Malaka, “Apalagi Sukarno akan diadili Sekutu yang akan menduduki Indonesia, sebab dia boneka fasisme Jepang. Dan pasti nanti kemerdekaan kita dinilai bikinan fasis Jepang.”

Kendati menentang kolaborasi Sukarno-Hatta dengan Jepang, Sjahrir memutuskan memimpin pemerintahan sebagai perdana menteri selama tiga periode. Dia kemudian memilih berdiplomasi dengan Sekutu dan Belanda. Sedangkan Tan Malaka beroposisi kepada pemerintahan Sjahrir. Dugaan Tan Malaka bahwa Sukarno-Hatta akan diadili Sekutu tak terjadi. Bahkan Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun (1945-1967).

Kematian Tan Malaka

Penghujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.

Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.

Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.”

Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik.

Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.”

Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya.

Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.”

Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia.

Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek.

Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.

Pada 21 Februari 1949 Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya), yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.” Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.

Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam. Namun, hingga hari ini hasilnya belum bisa dipastikan cocok 100 persen.

“Memang Tan Malaka ini jago menghilang selama hidupnya. Sampai matipun masih ada jagonya itu,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, publik perlu segera mendapat kepastian. “Namun apapun hasilnya mestinya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu,” tegasnya.

Asvi berpendapat sudah waktunya jenazah Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pemindahan ini menjadi penting sebab menjadi semacam pengakuan bersalah pemerintah Indonesia.

Tapi Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka. Dia juga berharap jenazah Tan Malaka bisa dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai wujud penghormatan kepada Tan Malaka.

Harry Poeze 40 Tahun Mencari Tan Malaka

Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze.

Perjumpaan Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey.

“Saya tertarik dengan Tan Malaka saat saya mahasiswa ikut mata kuliah Sejarah Indonesia dan saya harus menulis skripsi mengenai sejarah Indonesia. Saya baca sejumlah buku mengenai sejarah perlawanan Indonesia terhadap imperialisme Belanda dan seringkali temukan nama Tan Malaka, tapi disebut riwayat hidupnya penuh teka-teki dan belum diketahui,” ujar Harry yang diterima masuk di Universiteit van Amsterdam pada 1964.

Mulai saat itulah Harry menekuni sosok Tan Malaka untuk skripsi sarjananya dan berhasil diselesaikan pada 1972. Dalam skripsinya itu Harry memokuskan kisah Tan Malaka semasa hidup di Belanda mulai 1913-1919 dan saat Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Skripsinya kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Penerbit Grafiti Pers, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik1897-1925.

Selesai menulis skripsi, Harry tak berhenti mencari tahu siapa Tan Malaka. Dia melanjutkan lagi penelusuran riwayat hidup Tan Malaka untuk disertasi doktornya di universitas yang sama. Selama empat tahun (1972-1976), Harry menelisik ke masa lalu kehidupan Tan Malaka sampai dengan periode kemerdekaan 1945. Pada 1999 penerbit Grafiti Pers menerbitkan buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 yang naskahnya diterjemahkan dari disertasi Harry.

Pencarian tentang siapa Tan Malaka membawanya berkeliling ke banyak negeri, mulai Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina sampai Indonesia. Tan memang seorang aktivis politik dengan rekam jejak internasional. Pekerjaannya sebagai perwakilan Komintern untuk Asia (Organisasi komunisme internasional) mengharuskannya berkeliling ke berbagai negeri, membantu mengorganisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kolonialisme.

Hasil dari riset selama 40 tahun lebih itu, selain tentu saja buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun kemarin baru diluncurkan, adalah bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka. Salah satu koleksi yang diperoleh Harry berasal dari arsip Komintern di Moskow, Rusia. Berkat ketekunannya, Harry berhasil memecahkan beberapa kode rahasia yang kerap digunakan Tan Malaka saat berkorespondensi dengan kawan-kawan seperjuangannya.

Banyak surat-surat pribadi Tan Malaka yang berhasil Harry dapatkan. Beberapa di antaranya adalah surat-surat Tan Malaka ke Komintern dengan menggunakan berbagai macam bahasa. “Tan Malaka pandai berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan banyak lagi bahasa,” kata Harry.

Kunjungan Harry untuk meneliti Tan Malaka ke Indonesia baru dilakukan pada 1980. Dalam kesempatan itu, Harry menemui banyak kawan dan lawan politik Tan Malaka untuk diwawancarai. Sampai hari ini hubungan Harry dengan keluarga besar Tan Malaka terjalin dengan sangat baik.

Hidup Membujang

Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah tiga kali jatuh cinta, yaitu ketika ia berada di Belanda, Filipina, dan Indonesia. Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya. Sementara di Filipina, ia jatuh hati kepada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan Rektor Universitas Manila. Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi. Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tan Malaka Jadi Nama Jalan di Amsterdam

Pemerintah Kota Amsterdam meresmikan penggunaan nama jalan-jalan di kawasan pemukiman Ijburg yang mengabadikan 27 nama tokoh anti kolonial dari negara bekas koloni Belanda, sembilan di antaranya dari Indonesia. Selain sembilan nama tokoh, bakal ada satu nama jalan yang menggunakan nama Merdekastraat atau Jalan Merdeka.

Wilayah Ijburg adalah kawasan pemukiman yang terletak di Ijmeer, pulau buatan sebelah tenggara Amsterdam itu, akan terpajang nama Tan Malaka (Tan Malakastraat), RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara (Suwardistraat), SK Trimurti (Trimurtistraat), Kapiten Pattimura (Pattimurastraat), Pangeran Diponegoro (Diponegorostraat dan Diponegorohof), Maria Ullfah (Mariaulfahstraat), Soekaesih (Soekaesihstraat), Roestam Effendi (Roestam Effendistraat), Lambertus Nicodemus Palar (Palarstraat).

Seperti dikutip dari harian Parool kemarin, 1 Agustus 2019, inisiatif penamaan jalan itu datang dari walikota Amsterdam Femke Halsema sebagai kelanjutan proposal “Keberagaman di Jalanan Amsterdam” yang diusulkan oleh anggota Dewan Kota Sofyan Mbarki dari Partai Pekerja (PvdA, Partij van de Arbeid).

Adapun buku-buku dan hasil pemikiran Tan Malaka adalah:

1. Parlemen atau Soviet (1920)
2. SI Semarang dan Onderwijs (1921)
3. Dasar Pendidikan (1921)
4. Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
5. Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
6. Semangat Muda (1925)
7. Massa Actie (1926)
8. Local Actie dan National Actie (1926)
9. Pari dan Nasionalisten (1927)
10. Pari dan PKI (1927)
11. Pari International (1927)
12. Manifesto Bangkok(1927)
13. Aslia Bergabung (1943)
14. Muslihat (1945)
15. Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
16. Politik (1945)
17. Manifesto Jakarta (1945)
18. Thesis (1946)
19. Pidato Purwokerto (1946)
20. Pidato Solo (1946)
21. Madilog (1948)
22. Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
23. Gerpolek (1948)
24. Pidato Kediri (1948)
25. Pandangan Hidup (1948)
26. Kuhandel di Kaliurang (1948)
27. Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya(1948)
28. Dari Pendjara ke Pendjara (1970)

Tan Malaka Dalam Fiksi

Sampul Majalah Tempo dengan Tan Malaka
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst. Nama patjar merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Musso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatra.

Belakangan, selepas reformasi kemudian muncul pula dua novel yang mengisahkan perjalanan hidup Tan Malaka. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona, sementara yang keempat dan kelima ditulis oleh Yusdja.[26]: Sedangkan novel yang keenam dan ketujuh masih-masing ditulis oleh Peter Dantovski dan Hendri Teja.

1. Spionnage-Dienst (1938)
2. Rol Patjar Merah Indonesia cs(1938)
3. Panggilan Tanah Air (1940)
4. Moetiara Berloempoer: Tiga Kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
5. Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
6. Setan Merah: Muslihat Internationale Tan Malaka (2012)
7. Tan: Sebuah Novel (2016)
8. Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai