Langsung ke konten utama

Sejarah Nama Indonesia

George Samuel Windsor Earl (1813-1865) adalah seorang ahli etnologi Inggris, ia adalah redaktur majalah JIAEA (Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia), sebuah majalah ilmiah tahunan yang terbit tahun 1847. 

Majalah JIAEA sendiri dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869) seorang sarjana hukum lulusan Universitas Edinburgh dan berkebangsaan Skotlandia.

Di terbitan JIAEA tahun 1850, Earl menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” dan menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama yang unik, sebab penyebutan ‘Hindia’ kerap rancu dengan ‘India’.

Earl menyarankan penggunaan nama Malayunesia sebagai pengganti nama Hindia-Belanda sebab sangat tepat untuk ras Melayu apalagi bahasa Melayu lazim digunakan di wilayah kepulauan tersebut, sementara Indunesia lebih tepat digunakan untuk wilayah Srilanka (Ceylon) dan Maladewa yang secara genetik dekat dengan India.

Logan sendiri punya pendapat senada. Di JIAEA edisi yang sama, ia menulis dalam artikelnya “The Ethnology of the Indian Archipelago” bahwa istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan – sekali lagi – membingungkan karena rancu dengan India. Hanya saja, ia lebih menyukai nama Indunesia.

Logan kemudian mengubah Indunesia menjadi Indonesia agar lebih enak diucapkan. Sejak itu Logan konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’ dalam tulisan-tulisan ilmiahnya sehingga lambat laun istilah itu menyebar di kalangan ilmuwan etnologi dan geografi. 

Meski begitu, kabarnya akademisi Belanda saat itu enggan menggunakan istilah ‘Indonesia’.

1884, Adolf Bastian

Adolf Bastian (1826-1905) adalah guru besar etnologi di Universitas Berlin. Lewat bukunya yang berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume dan merupakan hasil penelitiannya selama di Indonesia dari tahun 1864 hingga 1880, nama Indonesia semakin populer di kalangan akademisi Eropa hingga pernah muncul anggapan yang keliru bahwa Bastian-lah pencipta nama ‘Indonesia’.

1913, Suwardi Suryaningrat

Lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau adalah anak bangsa yang pertama kali menggunakan nama ‘Indonesia’.  Sewaktu dibuang ke Belanda tahun 1913, beliau mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Sejak itu nama ‘Indonesia’ digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita hingga nama itu memiliki makna politis yakni identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.

Dalam sebuah tulisannya, Bung Hatta menegaskan bahwa,

“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut Hindia Belanda.  Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.“

Belanda bersikukuh menggunakan nama Hindia-Belanda
Semua gerakan yang mengandung nama ‘Indonesia’ dicurigai.  Pemerintah Belanda juga menolak mosi yang diajukan anggota Volksraad (parlemen) agar nama ‘Indonesia’ diresmikan sebagai pengganti ‘Hindia-Belanda’ pada tahun 1939.

Dengan masuknya Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, nama ‘Hindia Belanda’ pun hilang lenyap musnah. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 lahirlah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia.


@Bebaspedia 

_Bambang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai