Langsung ke konten utama

SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA?


Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah #Kapitayan.

Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” yang bermakna #hampa atau #kosong.

 Orang Jawa/Sunda Wiwitan mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa”
alias tidak tampak dan  tidak bisa diapa-apakan keberadaannya.

Dalam Al Qur'an dan hadist di sebutkan

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ “

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Nampak
 dan #Yang_Samar ( tak tampak ).”
(QS: Al-Hadid: 3)

 Ayat di atas ditafsiri oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai berikut:

 اللهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ

"Ya Allah, Engkau adalah yang awal maka tidak ada sebelum-Mu sesuatu apa pun. dan Engkau adalah yang akhir maka tidak ada setelah-Mu sesuatu apa pun.
Dan Engkau adalah Yang Nampak maka tidak ada di atas-Mu sesuatu apa pun dan engkau adalah #Yang_Tak_Tampak maka tidak ada di bawah-Mu sesuatu apa pun.”
 (HR. Muslim)

 Untuk itu, supaya bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”,

yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat adikodrati.

Dalam bahasa Jawa kuno,
Sunda kuno juga Melayu kuno,
kata “taya” artinya kosong atau hampa
 namun bukan berarti tidak ada.

 Ini adalah istilah yang digunakan untuk #mendefinisikan_sesuatu_yang_tidak_bisa_didefinisikan, #tan_kena_kinaya_ngapa,
 sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak ada.

Seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 143 yang artinya :

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "

Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".

 Tuhan berfirman:
 "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".

 Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali,
dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

Dalam ayat di atas dapat di simpulkan pada saat Nabi Musa A.S ingin melihat wujud Allah SWT, tidak ada satu gunung tersebut yang tidak hancur saat akan datang Allah SWT, itu membuktikan kalau dimensinya ketuhanan dengan dimensi makhluk sangatlah berbeda jauh. kalau pun kita bisa melihat Allah di dunia menggunakan panca indara, maka kita tidak akan sanggup melihat wujudnya Allah, karena Allah itu lebih terang dan lebih menyilaukan dari pada cahaya manapun.

Jadi Allah  SWT tidak bisa dilihat di dunia sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan melihatNya. dan juga, Allah SWT itu maha adil, kenapa demikian?
sebab, kalau Allah menampakkan wujudnya di dunia maka orang-orang buta di muka bumi ini tidak akan pernah bisa merasakan kenikmatan yang sesungguhnya yaitu dengan melihat Allah SWT.

BAGAIMANA DASAR PEMAHAMAN AJARAN TERSEBUT?
Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sanghyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan gaib yang disebut “Tu”.

 “Tu” adalah bahasan kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur.

“Tu” inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sanghyang Taya.

“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik (positif) dan sifat tidak baik (negatif).

Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan, dan “Tu” yang tidak baik disebut Hantu.“Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “tu” yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.
DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM APAKAH WALISONGO MENGADOPSI KAPITAYAN?

Memang Kapitayan ini diadopsi oleh Wali Songo untuk menyebarkan Islam.

Karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut Kapitayan. Karena apa? Karena para saudagar muslim Arab (yang belum paham ilmu tafsir dan takwil Al-Qur’an secara lengkap), menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu. Bagaimana Tuhan duduk, itu kan sama seperti manusia?

LALU PRINSIP AJARANNYA BAGAIMANA ?

Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha.

Nah, pada jaman Wali Songo, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sanghyang Taya adalah laisa kamitslihî syai’un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.

Wali Songo juga menggunakan istilah ‘sembahiyang’ dan tidak memakai istilah shalat.

Sembahiyang adalah menyembah ‘HYang’. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti langgar-langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat tidak ngerti tapi menggunakan istilah ‘upawasa’ kemudian menjadi puasa.

Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng.

Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia.

Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak.

Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi.

Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu.

Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

Pokok ajaran KAPITAYAN:

“Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia”.

Kapitayan, Agama Universal Dari Tanah Jawa (Sundaland).
Wahai saudaraku.

Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan Tuhan.

 Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan China hadir di Nusantara. Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan.

Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukan-Nya.

Ya. Orang Jawa dan Sunda dan  pada umumnya suku lain di Nusantara seperti Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, To Manurung-Ila Galigo di Sulawesi, dll, di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia.

Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri.

Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.

Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).

Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”).

Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”.

Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.

Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya.

Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.

Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati yang supranatural.

Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala).

Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.

 Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati

Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan.

TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang.

TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya.

Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal.

 Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.

Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat paradoks itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia.

 Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO.

Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya.

Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.

Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah
seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat,
maka di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal.

Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati).

Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri).

Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud).

Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan.

Kalau Anda kesulitan membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.

Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah).

Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin kerajaan Nusantara).

Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi.

 Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato.

Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang.

 Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh.

Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang.

Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa.
Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya.

 Seorang ra-TU atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.

Sesajen yang melambangkan konsep-kosep ketuhanan yang Maha Esa dalam ajaran kapitayan/Sunda Wiwitan

Sesajen yang melambangkan konsep-konsep ilahiyah Ketuhanan Hyang Maha Esa (Sang Hyang Tunggal) dalam ajaran Kapitayan/Sunda Wiwitan

Surat Al-Ma’idah Ayat 27 ۞

 وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Arab-Latin: Watlu 'alaihim naba`abnai ādama bil-ḥaqq, iż qarrabā qurbānan fa tuqubbila min aḥadihimā wa lam yutaqabbal minal-ākhar, qāla la`aqtulannak, qāla innamā yataqabbalullāhu minal-muttaqīn

 Arti: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".

Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebutWisaya.

Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.

 Konsep kekuasaan RaTu dan DaTu ini mirip dengan konsep “:King Philosopoher”-nya Plato dari Yunani abad3 SM, atau mungkin saja justru Plato dengan Bukunya Republic ini justrui terisnpirasi oleh ajaran Kapitayan/Sunda Wiwitan dari Atlantis Nusantara (SUNDALAND).

Konsep ini juga yang sebenarnya merupakah ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yaitu

sila ke-4 ;
“Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan.”

 serta Sila 1:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”

Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara.

Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava.

 Hanya saja, sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU.

Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dll.

Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-benda yang ber-TU-ah.

Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya.

Contohnya ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung #Klothok dan gunung #Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden-Belanda sana).

Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama, penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa.

Selanjutnya di zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam  yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman Kolonial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.

Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya pengorbanan suatu peradaban menerima perobahan? Itu hanya milik peradaban tanah Jawa di Nusantara.

Andai saja mereka bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa

TIDAK AKAN ADA AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH JAWA,
bahkan tanpa pertumpahan darah.
 Justru yang belum yakin itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan bahasa semesta.

Bahkan di tanah kelahiran Islam pun begitu radikalnya Nabi Muhammad di perangi oleh bangsa Quraisy yang justru kabilah beliau sendiri

 Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan tempat pendidikan kelas dunia di masanya.

Hal yang sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya.

Kemudian agama Islam bahkan dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam Nusantara.

Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti aslinya di mana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan yang nyata.

 Dan ketika ada orang yang menganggap adalah sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat di mana ia diturunkan.

 Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi.

Sehingga jangan bermimpi untuk bisa hidup sempurna jika memaksakan sesuatu – terutama keyakinan – tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.

Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama.

 Dan Tuhan itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan
“Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja”?.

Sungguh aneh.
“Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam.

Bukan hanya di tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua agama besar dunia”

semoga Bermanfaat

Khilaf dan salah akan apa yg aku tulis, mohon dikoreksi
Karena Kebenaran  Hanyalah milik ALLAH SWT

SALAM SANTUN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai