Penulis Asal : La Bougiez
Sebelum berangkat ke tempat kerja dalam perjalanan tu rasa rajin pula nak membelek-belek buku The Malay Archipelago, kusela sehelai demi sehelai lembaran, setiap rangkap kubaca dengan teliti, sampai la dalam sebuah bab ni, AR Wallace cuba mengutarakan pendapatnya berkenaan peranan kolonial dalam pembentukan masyarakat yang mereka jajah, ada kecenderungan para penjajah ini menghambat jauh peribumi dari kekayaan dan ilmu, bagi mereka orang-orang yang miskin dah bodoh ibarat anak kecil yang menyerahkn sepenuh pengharapan mereka pada ibu dan bapanya, polos dan tidak melawan.
Apakah saudara dan saudari, boleh baca apa yang saya pikirkan sekarang ini?
"jam sudah menunjukan pukul 10, saya harus bergegas ke tempat kerja, buku kututup rapi dan kumasukan kedalam beg samping, tapi persoalan yang tadi itu masih berlegar-legar di kepala saya "
"The White Man's Burden", saya tertawa sinis dengan istilah ini, bagi saya ini hanyalah kata-kata para perompak, ini slogan para pembunuh, pencaci, perogol dan penghisap. ironisnya kita masih mengagungkan mereka.
"dah masuk ke tempat kerja,rasa senang dapat duduk di kerusi yang agak empuk, haaaaaa, aku menghembus nafas melepaskan tekanan yang bertakung di dada"
Peribumi malas, penjahat, lanun, barbarik, tukang bunuh, pengamuk, ya istilah ini la yang cenderung diarahkan pada kita, sekarang kita ibarat sedang berjalan di atas duri-duri penghinaan ini, apakah kita harus terus menerus merasa sakit dan pasrah?
Para penjajah ini yang melahirkan masyarakat mundur , saudara saudari tahu, mata-mata penjajah ini tidak senang melihat ada pribumi yang kuat dan melawan, mereka dengan segala kekuatan mereka akan cuba menghalang kebangkitan, perpaduan dan kekayaan pribumi, Dalam buku Mitos Peribumi Malas, peribumi cenderung bersikap malas, biadap adalah kerana reaksi balas mereka terhadap rasa tertekan dan tertindas yang bertahun-tahun mereka deritai,
Siapa lah yang ingin bekerja untuk para perompak?
Mengkayakan diri semata-mata untuk dihisap oleh para kapitalis kolonial?
Saya sangat sarankan sahabat semua untuk membaca buku ini.
Oleh kerana saya Bugis, molek rasanya saya berbual tentang bugis, mengupas sedikit apa yang saya baca tentang mereka.
"mengubah sedikit posisi duduk ku, tapi aku rasa berdiri lebih selesa sambil menaip karangan ini di papan layar telefon pintarku"
Dari kaca mata penjajah dan sebahagian ilmuan, Bugis itu selalu dilabel penentang, lanun, orang yang panas baran, keras, dia sisi baiknya mereka adalah para pedagang tangguh, pemberani, masyarakat yang beradab. tapi hairan bin ajaib, kenapa istilah lanun yang kita kenal? , yang kita padukan sampai empuk dan lunak di hujung lidah kita, tanpa harus ambil peduli apa perasaan orang-orang Bugis suka atau tidak dengan istilah itu.
ok guys, tolong jangan menarik perbahasan ini kedalam forum politik, kita tahu ada kebencian yang sedang terbakar di sana, di putrajaya kata mereka ada lanun Bugis, dewasa la sikit, jangan menarik jauh kesana.
Ada Ketakutan Penjajah Pada Pengaruh Politik Orang-orang Bugis Di Rantau Ini
"The Bugis diaspora presented bothopportunities and significant danger; Bugis merchants were useful for the trade they brought, but they also needed to be watched, as they often intrigued with other local
rulers".
Asian Ethnicity: Eric Taglicozzo/ 101
seperti ungkapan diatas, ya inilah yang saya gambarkan dalam penjelasan AR Wallace seperti yang saya bahaskan pada rangkap-rangkap di atas tadi yang merujuk pada "penyatuan dan kebangkitan" . Bugis dan Makassar itu cenderung mendekati para pemerintah tempatan, mengajar mereka erti perlawanan pada penjajah, banyak kisah yang perlu di perhalusi dan dihuraikan, di Jawa diaspora bangsawan Makassar mengobarkan perlawanan pada Belanda mengajak raja-raja setempat untuk mengangkat senjata terutama dalam kisah Karaeng Galesong, Syeikh Yusuf, di Kalimantan dan sekitar selat Malaka diaspora Opu Daeng bersaudara melahirkan bibit-bibit permusuhan dan persaingan dagang, sehingga tercetusnya peristiwa yang besar dalam sejarah Melayu, peristiwa Raja Haji menyerang Melaka dan permusuhan berlanjutan sehingga ke anak cucu mereka.
perumpamaan yang saya huraikan ini bukanlah untuk menafikan semangat perjuangan suku bangsa lain. Cuma mungkin ada pendorong yang lebih besar pada orang-orang Bugis Makassar untuk bangkit berjuang, terutama harga diri(Siri) yang mereka bawa dan faktor persaingan ekonomi. kerana sikap inilah para kolonial ini merasa jelak, dan mula memainkan propaganda dan dongengan yang mereka dendangkan berkurun lamanya, dan segala keupayaan yang mereka kerahkan agar orang-orang Bugis sentiasa dijauhkan dari penguasa setempat.
Apakah saya tidak bersetuju jika memang ada orang Bugis yang memimpin perompakan dilaut, membuat kekacauan bahkan kejahatan. mungkin itu akan kita bahasa nanti setelah mendegar sedikit penjelasan C. Pelras penulis buku The Bugis, Di awal penulisan artikelnya yang bertajuk 'Misteri Bajak Laut Bugis', penulis mengatakan bahwa perdagangan hamba seringkali dikaitakan dengan kegiatan perlanunan yang menyebabkan wujud reputasi menakutkan dari peristiwa itu, penulis menyatakan bahwa hal itu jauh dari kenyataan sebenar dengan mengambil dari sebuah laporan Belanda tahun 1846 (Cornets de Groot, "Pirateries"; Lombard, "Pirate Malais") yang mana hampir tidak pernah menyebutkan adanya perompak dari Bugis. Pada 1837 GW Earl menulis bahwa dia belum pernah mendengar adanya satu tindak perompakan yang dilakukan oleh para pedagang Bugis.
menjawab pertanyaan apakah saya bersetuju bahwa orang Bugis pernah melakukan perlanunan, mungkin kebenaran ini agak pedas untuk di terima oleh sesetengan orang, C. Pelras dalam sebuah lagi penjelasanya tidak menafikan ada segelintir kelompok yang jahat seperti yang telah dilaporkan,
Singapore Free Press 24 oktober 1851; Dalam laporanya ada sebuah penyerangan terhadap pulau Bawean yang berada di bawah kekuasaan Belanda, perompak yang dipimpin oleh 2 orang Bugis.
begitu juga dalam laporan Saint John, Indian Archipelago II, mengatakan ada beberapa raja yang terlibat dalam perlanunan di Sulawesi tengah( Kaili), Kalimantan timur dan Tenggara( Pegatan) atau pada selat-selat Singapura adalah keturunan Bugis.
Terlalu banyak persoalan untuk dijelaskan pada situasi perlanunan diatas, mungkin kesimpulan boleh dibuat dari pendapat Brooke yang agak positif tentang kenapa orang Bugis terdorong melakukan kekacauan tersebut:
"Pedagang Bugis dihambat oleh berbagai peraturan Belanda yang dipaksakan pada mereka, yang menyangkut seluruh kepentingan perdagangan mereka sehingga berurat-berakarlah permusuhan orang Bugis pada Belanda (Brooke, Private Latters, 8-9)
"terasa panjang penulisan ni, sampai tidak sedar di luar hujan sedang turun mencurah-curah"
Jikalau pihak barat mencemuh kita kerana kejahatan yang kita lakukan terhadap mereka, mereka harus bercermin diri, mereka menghisap segala hasil bumi di sini untuk kemakmuran negeri mereka, apakah itu lebih manusiawi pada pemikiran mereka?
Kesimpulanya, istilah perlanunan itu adalah suatu istilah yang agak baru kemungkinan sekitar kurun ke 18-19 dimana berleluasanya kekuasaan suku laut Irranun/Illanun pelaut dari kepulauan Sulu, akibat booming nya perdagangan hamba dikala itu, boleh buat rujukan lanjut pada buku The Sulu Zone, tapi apapun orang-orang Irranun pasti ada alasan sendiri.
Sumber bacaan:
The Bugis
Mitos Peribumi Malas
The Malay Archipelago
Asian Ethnicity
Komentar
Posting Komentar