Langsung ke konten utama

BUGIS PEDAGANG BUKAN LANUN

Nicholas Tarling pernah membahas isu berkenaan kontroversi perlanunan masyarakat Bugis di rantau ini.

Sebelumnya mari kita kenal sedikit berkenaan penulis (N.Tarling), beliau adalah seorang Professor Emeritus dalam bidang sejarah dari Universiti Auckland, New Zealand.
Jadi sudah tentu kita wajib mendengar sendiri pendapat beliau berkenaan aktivitas perlanunan (Perompak/Bajak Laut) orang Bugis yang mana akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan.
Kami juga pernah menulis artikel berkenaan perlanunan Bugis dengan mengambil pendapat dari Cristian Pelras, anda boleh buka link di bawah ini.
Akhir-akhir ini semakin maraknya provokasi politik, pihak yang bertelagah saling menyerang tubuh lawanya, bahkan lebih jijik apabila cerita nenek moyangnya dijajakan di atas pentas politik hanya dengan sebab ingin menjatuhkan image lawanya, segala warna maki hamun diludahkan, di lain pihak memaki ibu kau hitam di sebelah pihak lagi melontarkan tikaman lidah ibu kau hijau.
Info yang ingin saya bagi ini bersumberkan rujukan dari sebuah buku berjudul " Cross-Cultural Encounter In Joseph Conrad's Malay Fiction" dikarang oleh R.Hampson.
Memulai tulisan ini penulis mengatakan bahwa sudah tentu orang Bugis yang berada di kepulauan ini menurut catatan N.Tarling " bahwa mereka (Bugis) membina imperium politik-komersial yang tersebar luas tanpa ada bentuk yang resmi (tanpa ada pemusatan)".
"Fakta di atas ini sekaligus mematahkan hujjah sebagian orang melayu yang mengatakan Bugis tidak memiliki Imperium, dari pernyataan Tarling kita sudah boleh membuat kesimpulan bahwa orang Bugis membangun bisnis niaga tanpa pemusatan dan pembentukan rasmi".
Orang Bugis terutama Bugis Wajo sebenarnya terdorong untuk memajukan diri (dalam posisi pesaing bagi Belanda) adalah karena tindak balas mereka terhadap kekuasaan Belanda di Sulawesi pada abad ke-17 (berdasarkan kisah perang Makassar yang mana dalam perjanjian Bungaya orang Bugis Makassar dilarang aktif berdagang) dengan menjadikan diri mereka sebagai pedagang-pedagang besar di antara wilayah bahagian timur nusantara dan bahagian barat sehingga memasuki kawasan laluan penting perdagangan ke China.
Pada abad ke-18 orang Bugis sudah meletakan diri mereka sebagai pedagang utama di bahagian timur dan barat kepulauan Melayu/Nusantara, yang membentuk pengaruh politik dan kawalan komersial ke negeri-negeri kecil dimana campur tangan dan pengaruh Belanda relatif lemah.
Hal ini dibuktikan semasa Sultan Kedah yang membuat perundingan dengan Inggris untuk menawarkan Pulau Pinang, bagi membantu mereka menghadapi kekuatan Bugis Selangor. Ketika ini orang Bugis dianggap sebagai kekuatan yang menjadi saingan bagi Eropa di sepanjang selat Melaka.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh D.K Bassett, pada tahun 1780, sebilangan negara yang berdagang cukup menghargai kemerdekaan Riau dari Belanda untuk menjalankan urus niaga senjata api di bawah kawalan orang Bugis.
Masyarakat Bugis yang tidak membangun kekuatan rasmi dalam rangkaian komersial dan pergerakan politik mereka yang longgar, ini sebenarnya cukup fleksibel untuk bertindak dan menyesuaikan diri terhadap peralihan ekonomi dan politik rantau ini. Oleh karena itu walaupun pembentukan asas Singapura pada tahun 1819 melemahkan kedudukan perniagaan orang Bugis di Pontianak Kalimantan barat, hal itu tidak menyebabkan perpecahan politik sehingga mengharuskan orang Bugis untuk melakukan aktiviti perlanunan lantaran punca pendapatan mereka merosot kerana pembukaan pelabuhan Singapura seperti mana yang berlaku di Riau pada Orang Laut.
Sebalikanya orang Bugis mampu beradaptasi pada situasi ini yang dibuktikan dengan giatnya perdagangan yang dilakukan oleh orang Bugis yang bermukim di Kutai Kalimantan timur yang mengikat jalinan niaga dengan Singapura berabad lamanya. Sehingga kuasa 'empayar' mereka dirasakan sebagai halangan (untuk melakukan monopoli) oleh pedagang Eropah.
Dalam buku Tarling bertajuk "Piracy and Political", beliau tertarik untuk membahas tentang laporan kewartawanan yang ditulis oleh John Dalton dalam jurnal "Singapore Chronicle" di akhir tahun 1820an. Sasaran Dalton adalah pada pemukiman yang didominasi oleh orang Bugis di wilayah timur Kalimantan. Dalam laporanya yang menyerang pribadi orang Bugis dengan mengatakan mereka sebagai kelompok 'Lanun', orang Bugis juga dikatakan telah menculik beberapa orang Eropah termasuk seorang wanita. Malah beliau juga menawarkan diri sebagai "Sang Pembebas" bagi orang Dayak/Kayan ,hal ini dikemudian hari juga dilakukan oleh Brooke.Beliau menyebarkan propaganda tentang keuntungan yang beliau tawarkan, yang mana pada ketika itu beliau mengatakan hal ini tidak akan mampu dilaksanakan kerana,selagi mana orang-orang Dayak menjual barang dagang mereka pada raja setempat atau orang kaya Bugis.
"Lihat betapa liciknya perangai penjajah, yang mencoba mengeruhkan keharmonisan diantara pedagang Bugis dan penduduk Kalimantan."
Tarling membuat kesimpulan bahwa kewartawanan dan laporan Dalton direka untuk menjatuhkan pengaruh Bugis, dan sebagai cara untuk memperluaskan jaringan niaga Singapura dengan orang pedalaman. Beliau juga mencatat bagaimana Dalton membuat strategi dengan mencanang-canangkan gelaran "Lanun" bagi mengambarkan monopoli komersial perdagang Bugis.
" They are all pirates who paralyze the exertions of thousands of individuals who would be otherwise active"
Oleh itu, Dalton menggubal aktiviti komersial Bugis dalam wacana imperialis yang kuat dan berpengaruh (cubaan memberi imej buruk seolah-olah orang Bugis melakukan kekerasan dan paksaan untuk monopoli perdagangan).
Sebagai perbandingan dengan penulis yang sezaman dengan Dalton yang boleh dilihat melalui catatan dalam History of Java, Stamford Raffles boleh baca link dibawah.
Sumber bacaan:
Cross-Cultural Encounter In Joseph Conrad's Malay Fiction (R.Hampson)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai