Langsung ke konten utama

Tokoh Terkenal Bugis-Makassar yang tdk dikenal oleh org bugis-makassar

Tokoh Terkenal Bugis-Makassar yang tdk dikenal oleh org bugis-makassar

11 Agustus 2014 pukul 12:18
Tome Pires dalam catatan perjalanannya pada tahun 1513 menggurat catatannya tentang sepak terjang orang suku Bugis Makassar di nusantara. Garis besar catatannya adalah Bugis Makassar punya bahasa sendiri, lain daripada yang lain. Orangnya gagah dan suka berperang. Mereka banyak menyimpan bahan makanan. Mereka dikenal sebagai perampok yang paling besar di dunia pada masanya, kekuatannya besar dan perahunya banyak. Mereka berlayar untuk merampok dari negeri mereka sampai ke Pegsu, dan dari negeri mereka sampai ke Maluku, Banda dan semua pulau di sekitar Jawa.
Mereka punya pasar dimana mereka bisa mengirim barang-barang rampokan dan menjual budak yang mereka tangkap.  Mereka berlayar keliling pulau Sumatera. Oleh orang Jawa, mereka disebut Bajuus (Bajo) dan orang Melayu menyebut mereka Celates (orang Selat).  Barang-­barang mereka dibawa kesebuah wilayah di dekat Pahang, tempat mereka berjualan dan melangsungkan perdagangan secara berkala. Mereka membawa beras yang putih sekali dan sedikit emas. Mereka membawa pulang kain bertanggis, kain dari Cambai, sedikit bahan dari Benggala dan Keling bersama banyak luban Jawi dan dupa.  Pulau itu banyak penduduknya, banyak dagingnya, perbekalan berlimpah-­limpah.  Lazimnya kaum laki-laki memakai keris, dan mereka kuat-kuat. Mereka berlayar pulang-pergi dan ditakuti dimana-mana.

Beberapa tokoh popular Bugis Makassar yang sangat dikenal diseantero nusantara dan kawasan Asia, antara lain:

1) Datuk Laksamana Raja Dilaut
Dalam sejarahnya, Datuk Laksamana merupakan keturunan Bugis, dimana Daeng Tuagi', anak dari Sultan Wajo yang kawin dengan anak Datuk Bandar Bengkalis, Encik Mas (seorang perempuan yang berkuasa di pulau Bengkalis). Daeng Tuagik ketika menikahi Encik Mas telah berjanji untuk tidak memakai gelar Bangsawan Bugis bagi keturunannya. Dari perkawinannya ia mendapat seorang anak yang bernama Datuk Bandar Jamal (1720-1767) yang kelak menggantikan ibunya sebagai penguasa Bengkalis.
Gelar Datuk Laksamana Raja Dilaut baru diberikan Sultan Siak kepada Encik Ibrahim, anak dari Datuk Jamal serta tiga orang keturunannya, yang terakhir Encik Ali Akbar (1908-1928).

2) Hang Tuah
Hang Tuah adalah seorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan.
Nama asli Hang Tuah adalah Daeng Merupawah anak dari raja kerajaan bajung (Bajeng adalah salah satu kerajaan di kawasan kerajaan Gowa, Makassar). Sejak usia 12 tahun, dia dibawa ke kesultanan Malaka sebagai bentuk persahabatan kerajaan Gowa untuk dididik sebagaimana layaknya didikan kesultanan Malaka. Raja Malaka saat itu adalah Sultan Mansyur Syah. Hang Tuah dikenal sebagai seorang laksamana yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya.

3) Karaeng Sangunglo
Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, Makassar. Dari catatan sejarah dan kesaksian seorang Inggris, Sanguanglo terkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.
Ayah Karaeng Sangunglo adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) dan ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).
Karaeng Sangunglo atau Sanguanglo hidup dalam tekanan penindasan kolonial VOC serta polemik keluarga bangsawan yang terbuang. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy dan mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy.
Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, eksistensinya merupakan ‘tali sejarah’ yang dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, Sulawesi Selatan.

4) Daeng Mangalle, Tokoh Pembangkang Raja Siam Phra Narai (1686)
Dikenal juga dengan nama Daen Ma-Alee yang tercatat dalam sejarah literatur Eropa berkisar tahun 1658 – 1659 ketika terjadi perseteruan Phra Narai, raja Siam yang bekerjasama dengan kolonialis Prancis dan Portugis. Daeng Mangalle bergabung dalam konspirasi menyingkirkan raja Siam Phra Narai, karena dianggap telah bersekutu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis yang juga membawa misi mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi raja akan berpindah memeluk agama baru.
Karena menolak untuk sebuah pengampunan akhirnya Daeng Mangalle dan 40 orang Makassar mengadakan perlawanan menghadapi serdadu Prancis dan Portugis. 23 September 1686, raja Siam memerintahkan serangan besar2-an ke perkampungan orang Makassar. Dalam perang itu, beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi perlawanan orang Makassar. Daeng Mangalle sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak langsung membabi buta menerjang menteri Siam dan membunuh seorang Inggris.
Pertempuran itu berakhir dimana 33 orang prajurit Makassar dikumpulkan kemudian disiksa dan dikubur hidup-2 berdiri sampai leher dan mati. Peristiwa di Siam ini menjadi sejarah kelam dari bentuk perlawanan orang-orang Makassar yang menuntut kebijakan raja Siam yang bersekutu dengan colonial Eropa. Tercatat pula akan keberanian dan kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap sementara orang Makassar hanya bersenjatakan tombak dan badik, selama pertempuran itu 1000 orang siam dan 17 orang asing tewas mengenaskan.

5) Lamadukelleng
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng melakukan perjalanan panjang menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia). La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714. La Maddukelleng memerintah selama sepuluh tahun sebagai Sultan Pasir di kerajaan Pasir, Kutai Kalimantan.
Pasukan La Maddukkelleng terkenal memiliki peralatan tempur dalam armada lautnya yang menggetarkan Belanda dan mampu menguasai perairan Sulawesi, Jawa sampai Brunei. Setelah pertempuran laut yang panjang, La Maddukkelleng kembali dan memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo

6) Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak (Perdana Menteri Malaysia)
Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak merupakan keturunan langsung dari Karaeng Aji yang juga adalah keturunan langsung Raja Gowa Sultan Abdul Djalil. Ibunya Siti Aminah adalah putri Sultan Bima.
Dalam konflik persaingan tahta kerajaan Gowa, Karaeng Aji tidak mau rebut dan pergi merantau  meninggalkan Negeri Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang. Di negeri Pahang, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan.
Setelah itu, Karaeng Aji kemudian menikahi salah seorang Putri di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia diantaranya : Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak (PM Malaysia sekarang/ Ke 6), Tun Abdul Razak (PM Malaysia ke 2) dan Dato Musa Hitam

7) Opu Daeng Cella
Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan. Berdasarkan silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahan di Malaysia, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.
Sebagai contoh, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerajaan Luwu, Sulsel. Merujuk Lontar versi Luwu, raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja. Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase. Putra kerajaan inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

8) Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.
Syech Yusuf Tajul Khalwati (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni.
Dalam peperangan melawan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Kembali ditangkap Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

9) I Mannindori Karaeng Galesong
Terkenal dalam pengembaraannya bersama seorang Pangeran dari Madura bernama Trunojoyo. Dalam sebuah kemelut di kerajaan Banten, ia turut bergabung bersama Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten) dan disaat Trunojoyo melakukan perlawanan di kerajaan Mataram terhadap Belanda pada tahun 1676-1679, Karaeng Galesong turut mendukungnya. Dalam beberapa kali pertempuran dengan kerajaan Belanda yang membantu Mataram, akhirnya pasukan Madura dan Makassar berhasil merebut Karta (Keraton Plered) ibukota Mataram pada 12 Juli 1676. Kemuduian I Mannindori Karaeng Galesong memindahkan ibukota itu ke Kediri.
Di Banten, Karaeng Galesong Kawin mawin secara turun temurun itu dan melahirkan keturunan seperti Dr.Wahidin Sudirohusodo,  Ir Wardoyo Daeng Majarre, Budiarjo Karaeng Naba, Dr.Ir Siswono Yudo Husodo, sampai ke Setiawan Jodi dan Budiarso (mantan kapolda sulsel).

10) Daeng Ruru dan Daeng Tulolo ( Louis Pierre Makassar dan Louis Dauphin Makassar)
Dua pangeran yang merupakan keturunan dari kerajaan Gowa yakni Daeng Ruru, 15 tahun dan Daeng Tullolo, 16 tahun adalah dua pangeran yang selamat dalam pertempuran konflik Prancis dan pasukan Daeng Mangalle di Siam 1686. Keduanya dikirim oleh Perancis akhir November 1686 dan mendapat pelayanan khusus kerajaan. Mereka dididik dalam sekolah perwira angkatan laut Prancis setelah dibaptis dalam iman Kristen dan mendapat gelar kehormatan Louis tahun 1682, gelar ini setara dengan status raja-raja Prancis .
Daeng Ruru bergelar Louis Pierre Makassar adalah perwira yang sangat disegani dalam armada laut Prancis dan sering ditugaskan untuk membantu negara Eropa lainnya dalam peperangan. Pada tanggal 19 Mei 1708, Daeng Ruru tewas dan tidak diketahui riwayatnya. Sedang adiknya, Daeng Tulolo bergelar Louis Dauphin Makassar juga adalah seorang perwira. Dalam iman Kristen yang ditekuninya, ia sempat mendirikan ordo Satria yang disebut ‘Bintang’. Ordo itu diturunkan setelah tahu bahwa pendiri ordo adalah pangeran Makassar yang ternyata telah memeluk agama nenek moyangnya, Islam, dengan alasan poligami. Berpangkat Letnan muda pada usia 38 tahun dan bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Bres 30 November 1736 pada usia 62 tahun, jazadnya dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan. Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest dan jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.


11) Sultanah Safiatuddin (Seorang wanita)
Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Terjadi pertentangan di kalangan pembesar di Aceh dalam masa penobatannya. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.

Sultanah Safiatuddin memerintah selama sekitar hampir 35 tahun (1641-1675). Pemerintahan yang begitu lama tentulah dengan segala kebijaksanaan dan kemampuan yang dimiliki seorang wanita Aceh-Bugis. Sebaliknya selama pemerintahnya Sultanah terus menerus dirongrong oleh para tokoh kalangan istana yang tetap tidak setuju akan kepemimpinan seorang wanita. Pada masa kepemimpinan pemerintahan Sultanah Safiatuddin kehidupan kerajaan yang paling menonjol terlihat pada kemajuan di bidang ekonomi. Setelah Sultanah Safiatuddin mangkat, kepemimpinan jatuh lagi ke tangan wanita yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai