Langsung ke konten utama

MH Thamrin Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Betawi



Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan di Sawah Beast, Betawi, 16 Februari 1894 dan wafat  pada 11 Januari 1941.
Mat Sani adalah panggilan kecil Mohammad Hoesni Thamrin. Isa berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Per, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraiji. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908--- jabatan tertinggi nomor duabyangvterbuka bagi warga pribumi setelah Bupati.
Mat Sani dikenal sbg orang yg mudah bergaul dgn siapa saja dan dari golongan sosial mana pun. Dari pengalaman masa kecil inilah yang banyak mempengaruhi ide-ide politik yang ia lontarkan saat duduk di dewan kota, yaitu ide-ide tentang keberpihakan Thamrin pada rakyat.
Thamrin pernah bekerja di perusahaan perkapalan milik maskapai swasta Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatachappij (K.P.M). Di kantor inilah ia berkenalan dgn Van Der Zee seorang sosialis Belanda yang juga anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Batavia.
Perkenalan dgn Van Der Zee inilah yang memberi kesempatan pada Thamrin untuk menyuarakan aspirasinya dgn menjadi anggota di Gemeenteraad Batavia pada tanggal 29 Oktober 1919.
Saat menjadi anggota Dewan Kotapraja Batavia, Thamrin dikenal sbg figur yang berpihak pada rakyat pribumi. Ia pernah mengatakan : "Tuan kepala, saya duduk dalam Dewan Kotapraja bukan sebagai perwakilan K.P.M, tetapi sebagai wakil rakyat Betawi, maka tuan jangan lupa bahwa saya adalah bagian dari rakyat itu".
Demi kepentingan perjuangan kemerdekaan, Atas usul Hoesni Thamrin pada tahun 1930 dibentuk anggota Dewan Rakyat Bangsa Indonesia yg kemudian diberi nama Fraksi Indonesia di Volksraad (Dewan Rakyat).
Tujuan Fraksi di Indonesia yang dikepalai Hoesni Thamrin ini adalah untuk menyatukan perjuangan.
"Toedjoean dari Fraksi Indonesia adalah menoentoet kemerdekaan Indonesia, oleh karena kami jakin, hanya dengan kemerdekaan dapat mentjapai masjarakat Indonesia Jang sempoerna," tegas Thamrin.
Selain itu Thamrin juga membela didirikannya kantor berita Indonesia serta penggunaan bahasa Indonesia di semua tingkatan pemerintahan, dewan, serta penggunaan resmi kata 'Indonesia' dan 'bangsa Indonesia'.
"Memoeliakan dan memadjoekan bahasa Belanda dan mengasingkan bahasa sendiri lambat laoen membawa keroegian jang poela, biarpoen masa ini beloem terlihat. Bukankah bangsa jang hilang bahasanja moedah akan hilang poela kebangsaannya," tegas Thamrin.
Demi kepentingan perjuangan bangsa, MH Thamrin kemudian menghibahkan rumahnya kepada kaum pergerakan kebangsaan, yaitu organisasi PPPKI (permufakatan perhimpunan-perhimpunan politik kebangsaan Indonesia).
Thamrin juga memainkan peran utama selama Kongres Indonesia Raja pertama thn 1935, dan kegiatan seputar penyambutan terhadap kembalinya Soekarno ke arena politik dengan dikurangi nya separuh hukuman Soekarno.
Bersama Soekarno dan kelompok pergerakan non- kooperatif lainnya, Thamrin berjuang untuk lahirnya kemerdekaan bangsa.
Akibat aktivitas politik yg gigih memperjuangkan kemerdekaan dan membela rakyat pribumi,  posisi kolonial Belanda sangat teramcam. Oleh karenanya, Thamrin  dikenakan sebagai tahanan politik kolonial Belanda pada 6 Januari 1941.
Sosok yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan kaum pribumi itu akhirnya wafat pada 11 Januari 1941.
(Maulana)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai