Langsung ke konten utama

SEJARAH BERDIRINYA PROVINSI SULAWESI TENGGARA



Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa InggrisCelebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Bendera IndonesiaIndonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia. Di Indonesia hanya luas Pulau SumateraKalimantan, dan Pulau Papua sajalah yang lebih luas wilayahnya daripada Pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya Pulau Jawa danSumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada Sulawesi.
Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat SorowakoLuwu Timur.[1] Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan.
Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur, dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat, Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur.

Sejak abad ke-13, akses terhadap barang perdagangan berharga dan sumber mineral besi mulai mengubah pola lama budaya disulawesi, dan ini memungkinkan individu yang ambisius untuk membangun unit politik yang lebih besar. Tidak diketahui mengapa kedua hal tersebut muncul bersama-sama, mungkin salah satu adalah hasil yang lain. Pada 1400an, sejumlah kerajaan pertanian yang baru telah muncul di barat lembah Cenrana, serta di daerah pantai selatan dan di pantai timur dekat Parepare yang modern.[2]
Orang-orang Eropa pertama yang mengunjungi pulau ini (yang dipercayai sebagai negara kepulauan karena bentuknya yang mengerut) adalah pelaut Portugis pada tahun 1525, dikirim dari Maluku untuk mencari emas, yang kepulauan memiliki reputasi penghasil.[3]Belanda tiba pada tahun 1605 dan dengan cepat diikuti oleh Inggris, lalu mendirikan pabrik di Makassar.[4] Sejak 1660, Belanda berperang melawan Kerajaan Gowa Makasar terutama di bagian pesisir barat yang berkuasa. Pada tahun 1669, Laksamana Speelman memaksa penguasa, Sultan Hasanuddin, untuk menandatangani Perjanjian Bongaya, yang menyerahkan kontrol perdagangan ke Perusahaan Hindia Belanda. Belanda dibantu dalam penaklukan mereka oleh panglima perang Bugis Arung Palakka, penguasa kerajaan Bugis Bone. Belanda membangun benteng di Ujung Pandang, sedangkan Arung Palakka menjadi penguasa daerah dan kerajaan Bone menjadi dominan. Perkembangan politik dan budaya tampaknya telah melambat sebagai akibat dari status quo. Pada tahun 1905 seluruh Sulawesi menjadi bagian dari koloni negara Belanda dari Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. Selama Revolusi Nasional Indonesia, "Turk" Westerling Kapten Belanda membunuh sedikitnya 4.000 orang selama Kampanye Sulawesi Selatan [5] Setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, Sulawesi menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan pada tahun 1950 menjadi tergabung dalam kesatuan Republik Indonesia.[6]
Pada saat kemerdekaan Indonesia, Sulawesi berstatus sebagai provinsi dengan bentuk pemerintahan otonom di bawah pimpinan seorangGubernur. Provinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar, dengan Gubernur DR.G.S.S.J. Ratulangi.[7] Bentuk sistem pemerintahan provinsi ini merupakan perintis bagi perkembangan selanjutnya, hingga dapat melampaui masa-masa di saat Sulawesi berada dalam Negara Indonesia Timur (NIT) dan kemudian NIT menjadi negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS).[8] Saat RIS dibubarkan dan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sulawesi statusnya dipertegas kembali menjadi provinsi.[9] Status Provinsi Sulawesi ini kemudian terus berlanjut sampai pada tahun 1960.
Gubernur Sulawesi[10]
Mulai tahun 1960 Sulawesi terdiri dari dua buah Daerah Tingkat I [11], yaitu :
Pada tahun 1964 dibentuk Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, yang dipisahkan dari Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah, sedangkan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah diubah menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Demikian pula Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dibentuk terpisah dari Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara, sedangkan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara diubah menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.[12]
Mulai tahun 1999 pemakaian istilah Daerah tingkat I dihilangkan, sehingga ke-empat wilayah di atas sebutannya berubah masing-masing menjadi provinsi. Memasuki era Reformasiseiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah, terbentuk provinsi Gorontalo pada tahun 2000, dan kemudian provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004.


A. PROSES TERBENTUKNYA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Kita mulai tahun 1938, ketika Afdeeling Buton and Laiwoi diubah menjadi Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya Bau-Bau. Lahirnya UU No. 44/1950 tentang Pembentukan NIT, sekaligus membagi daerah bagian sebagai pengganti bekas Afdeeling Buton dan Laiwoi dan Onder Afdeeling Kolaka menjadi bagian dari Sulawesi Tenggara.
Pada awal kemerdekaan Sulawesi Tenggara masih dalam wilayah Propinsi Sulawesi (Groote Celebes) sebagai salah satu propinsi dari 8 (delapan) propinsi yang dibentuk berdasarkan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan ibukotanya Makassar yang dipimpin oleh seorang gubernur. Ditingkat residen masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara mendesak pemerintah agar gabungan daerah Celebes Selatan dibubarkan. Oleh Gubernur Sulawesi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1952 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten terhadap ketujuh daerah administrasinya, yaitu : Makassar, Bonthain, Bone, Pare-Pare, Mandar, Luwu dan Sulawesi Tenggara.
Terbentuknya tujuh daerah otonom setingkat kabupaten yang tergabung dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra), maka status Sulawesi Tenggara telah menjadi daerah tingkat II yang berkedudukan di Bau-Bau.
Wilayah administrasi Kabupaten Sulawesi Tenggara terbagi dalam 4 kewedanaan, yaitu :
1. Kewedanaan Buton ibukotanya Bau-Bau, terdiri 20 distrik dan 390 kampung.
2. Kewedanaan Muna ibukotanya Raha terdiri 4 distrik dan 390 kampung.
3. Kewedanaan Kendari ibukotanya Kendari terdiri 19 distrik dan 315 kampung.
4. Kewedanaan Kolaka ibukotanya Kolaka terdiri 2 distrik dan 30 kampung. (Monografi, 1997 : 104-105)
Sejak dibentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara telah terjadi konflik antara etnik wilayah daratan dan etnik wilayah kepulauan. Etnik daratan merasa bahwa Kabupaten Sulawesi Tenggara daratan layak dijadikan satu daerah otonom, sama dengan wilayah kepulauan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan dalam hubungan transportasi antara wilayah daratan dan kepulauan sementara pemerintahan berada di wilayah kepulauan yaitu Bau-Bau. Di samping itu juga disebabkan oleh elit tradisional yang merasa tersaingi dan tidak mendapatkan posisi jabatan secara proporsional, sehingga menimbulkan kekecewaan para elit politik tradisional di wilayah daratan dan mendorong mereka untuk berjuang membentuk Kabupaten Sulawesi Timur.
Dengan dipelopori oleh satu panitia yang berkedudukan di Kendari, yaitu "Panitia Penuntut Kabupaten Sulawesi Timur" pada tanggal 24 Agustus 1951, agar kawasan daratan Kolaka, Kendari, Poleang plus Rumbia dijadikan daerah otonom setingkat kabupaten dari Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan berbagai alasan : (1) keadaan geografis yang terdiri dari kawasan daratan dan kepulauan yang menampakkan adanya pemisahan kesatuan kedua kawasan tersebut, (2) potensi yang menunjukkan kemungkinan masing-masing kawasan untuk membiayai rumah tangganya sendiri; (3) keadaan politik psikologis, menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk masing-masing memperoleh hak otonom; (4) sidang DPRS pada tanggal 23 Januari 1954 di Kendari, kemungkinan daerah Sulawesi Tenggara dibagi atas dua kabupaten (Thalha, 1082 : 269).
Pada sidang DPRS Sulawesi Tenggara tanggal 27 Juli 1954 di Raha, atas usul S. Joesoef dan kawan-kawannya akhirnya sidang menyetujui pembagian Kabupaten Sulawesi Tenggara, menjadi dua daerah otonom setingkat kabupaten masing-masing diberi nama :
a. Kabupaten Sulawesi Timur dengan ibukotanya Kendari, kabupaten ini meliputi wilayah kewedanaan Kendari dan Kolaka, kemudian ditambah dengan distrik Poleang Bugis, Poleang Moronene dan Rumbia.
b. Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya Bau-Bau, wilayahnya meliputi kewedanan Buton dan Kewedanan Muna (Thalha, 1982: 23 ).
Dalam merealisasikan hasil keputusan Sidang DPRDS tentang pemekaran Kabupaten Daerah Sulawesi Tenggara, maka pada bulan Oktober 1955 telah mengirim delegasi ke pemerintah pusat di Jakarta yang terdiri atas : (1) Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Madjid Pattaropeara, (2) Ketua DPRDS Sulawesi Tenggara, (3) Anggota DPD Sulawesi Tenggara La Ode Rasjid.
Sesuai dengan laporan delegasi kepada DPRDS Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Februari 1956, pemerintah pusat menyetujui pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, namun pelaksanaannya menunggu rancangan undang-undang pokok pemerintah daerah untuk disetujui oleh parlemen. Dengan keberhasilan para delegasi, maka rakyat Sulawesi Tenggara khususnya rakyat di wilayah daratan menyambut gembira rencana ini, dimana hasrat dan keinginan masyarakat terhadap pemekaran Kabupaten Sulawesi Timur ditandai dengan pernyataan rakyat di kawasan daratan yaitu di Kecamatan Wawotobi, rakyat di Kecamatan Sulewatu (Mowewe), rakyat di Kecamatan Moronene (Poleang Bugis dan Poleang Moronene), Persatuan Masyarakat Indonesia Sulawesi Timur di Makassar dan dari Panitia Pelaksana Kabupaten Sulawesi Timur.
Semula rakyat Kolaka solider dan sepaham dengan Kendari tanpa diselingi pertentangan mengenai penempatan ibukota daerah Sulawesi Timur, tetapi setelah perkembangan penuntutan berjalan, timbullah gejala-gejala yang membawa kesan bahwa hubungan antara daerah itu tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam suatu rapat di Kolaka pada tanggal 26 Mei 1957 antara utusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dengan wakil-wakil rakyat Kolaka tidak menyetujui kehendak Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Timur dan pihak Kolaka menghendaki supaya keputusan panitia itu ditarik kembali, akan tetapi Kendari tetap mempertahankan keputusan Panitia Pelaksana Persiapan Kabupaten Sulawesi Tenggara, sehingga rapat yang diadakan itu tidak dapat membawa keputusan yang diinginkan. Akibatnya, pada tanggal 17 Juni 1957 mengeluarkan pernyataan dengan tegas tidak menyetujui penempatan ibukota Kabupaten Sulawesi Timur di Kendari dan mendesak pemerintah pusat supaya penempatan Kabupaten Sulawesi Timur berkedudukan di Kolaka. Dengan munculnya keinginan untuk membentuk kabupaten tersendiri, sebagai salah satu puncak persaingan di antara etnik daratan dan kepulauan yang menyebabkan gagalnya pembentukan Kabupaten Sulawesi Timur.
Di Kewedanan Muna, dengan dipelopori oleh satu panitia penuntut Kabupaten Muna di Makassar maka pada tanggal 5 Agustus 1956 tercetus pula suatu keinginan yang menghendaki supaya Muna dijadikan satu otonomi setingkat kabupaten, dan pada tanggal 2 September 1956 dengan resolusi dari Panitia Penuntut Kabupaten Muna bersama-sama dengan pembentukan kabupaten-kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Gelora tuntutan rakyat Muna, telah tampak ketika kunjungan residen koordinator Sulawesi Tenggara pada tanggal 13 September 1957 dimana beberapa slogan yang secara politis menghendaki otonomi setingkat kabupaten, di samping itu dengan keluarnya Surat Kepala Daeah Sulawesi Tenggara pada tanggal 8 November 1957 No. 3/4/17 yang ditujukan kepada Gubernur Sulawesi, selanjutnya dalam surat kawat dari Kepala Daerah Sulawesi diharapkan perhatian beliau jangan sampai kelak kekacauan politik mengakibatkan kekacauan keamanan.
Demikian pula kewedanan Buton juga timbul aspirasi yang sama dengan daerah lainnya (Kendari, Kolaka dan Muna), dengan pertimbangan bahwa Kewedanan Buton sebagai wilayah Swapraja memiliki sumber keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan Swapraja lainnya di Sulawesi Tenggara dan wilayahnya masih terhindar dari gangguan keamanan.
Adanya keinginan sebagian rakyat Kewedanan Buton menghendaki tetapnya Swapraja Buton dalam bentuk daerah istimewa didasari bahwa pemerintahan swaparaja Buton telah mengalami demokratis pemerintahan sejak pada tanggal 15 April 1951, dengan dibubarkan anggota-anggota swaparaja dan dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah yang mencerminkan perimbangan partai partai politik di daerah ini.
Dalam mempersiapkan pembentukan empat kabupaten sebagai daerah otonom, pada tanggal 20-22 Juli 1959 diadakanlah musyawarah antara kewedanan di Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berlangsung di Kewedanan Kendari, dan dihadiri oleh utusan dari Kewedanan Buton, Muna, Kendari dan Kolaka masing-masing berjumlah 15 orang dan 5 orang dari staf Kantor Bupati Kepala Daerah Sulawesi Tenggara. Dalam rapat itu hadir pula Kepala Pemerintahan Negeri Buton H. Abdul Malik, Kepala Pemerintahan Negeri Muna diwakili Asisten Residen Wedanan A.R. Muntu, Kepala Pemerintahan Negara Kendari diwakili oleh Anas Bunggasi dan Kepala Pemerintahan Negeri Kolaka Abdul Wahab dan wakil-wakil dari setiap swapraja sebagai peninjau dalam musyawarah (Monografi, 1997:99).
Hasil keputusan rakyat Sulawesi Tenggara terlaksana setelah ditetapkannya Undang - Undang No.29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Empat Daerah Otonom Tingkat II sebagai realisasi pemekaran Kabupaten Sulawesi Tenggara, dan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tentang Pengangkatan Kepala Daerah Tingkat II, masing-masing adalah :
1. Jacob Silondae sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kolaka dilantik pada tanggal 2 Februari 1960.
2. La Ode Abdul Halim sebagai Kepala Daerah Tingkat II Buton dilantik pada tanggal 1 Maret 1960.
3. La Ode Abdul Koedoes sebagai Kepala Daerah Tigkat II Muna dilantik tanggal 1 Maret 1960.
4. Drs. Abdullah Silondae sebagai Kepala Daerah Tingkat II Kendari dilantik pada tanggal 3 Maret 1960 (Monografi, 1997 : 130).
Dengan terbentuknya empat daerah tingkat II di Sulawesi Tenggara maka residen koordinator Sulawesi tidak lagi mengkoordinir satu kabupaten dalam satu trotoar, tetapi telah mengkoordinir 4 daerah tingkat II masing-masing : Buton, Muna, Kendari dan Kolaka. Bertambahnya jumlah Kabupaten se-Sulawesi Tenggara sehingga mendorong terbentuknya keresiden Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Kendari.
Pada tahun 1958, para tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam 4 Kabupaten Dati II Sulawesi Tenggara melaksanakan musyawarah dalam hal untuk memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara dengan peserta peserta musyawarah antara lain yaitu Sultan Buton, La Ode Manarfa, La Ode Abdul Kasim, Bunggasi, Djuhaepa Balaka, Abdul Rahman, II Surabaya, Raja Muna, La Ode Rianse, La Ode Ado, La Ode Tobulu, Ch Pingak dan Muhidin. Dalam kepulusan musyawarah tersebut adalah : (1) seluruh peserta sepakat dibentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Buton, Muna, Kolaka dan Kendari serta mendesak agar pemerintah pusat segera merealisasikan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara lepas dari Propinsi Sulselra,(2) menetapkan calon ibukota Propinsi Sultra, pada saat diskusi berlangsung alot karena utusan Buton dan Muna mengusulkan Kota Bau-Bau menjadi ibukota propinsi, sedangkan utusan Kendari dan Kolaka mengusulkan Kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, dan akhirnya mereka sepakat/menyetujui Kota Kendari ,ketika sebagian tokoh Muna mendukung kota Kendari sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.
Pada sidang umum MPRS, bulan Mei tahun 1963 H. Jacob Silondae dan Eddy Sabbara memperjuangkan lagi realisasi TAP MPRS tahun 1960, bahwa pembentukan 4 propinsi di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tenggara dilaksanakan pada akhir tahun 1963 atau selambat-lambatnya tahun 1964. Dimana DPR GR RJ akan melahirkan UU Dati I Sulawesi Tenggara akan tetapi sampai tahun 1963 belum juga lahir UU. Yang dibentuk oleh DPR GR RI, maka oleh pemerintah dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 34 tahun 1963 tentang pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara yang harus dilaksanakan pada awal tahun 1964.
Ketika Yacob Silondae melaporkan kepada gubernur Sulselra H.A Rivai akan adanya ketetapan MPRS tentang Pembentukan Kabupaten Propinsi Sulawesi Tenggara beliau menyetujui pelaksanaan realisasi tersebut.
Dalam resolusi musyawarah rakyat Sulawesi Tenggara di Kendari kepada DPR GR Sulawesi Selatan dan Tenggara dimana dalam sidaug paripurna DPR GR tersebut menyetujui sccara aklamasi Pembentukan Propinsi Dati I Sulawesi Tenggara, dan soal ibu kota pun disetujui Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sehingga pada tanggal 27 April 1964, Gubernur Sulawesi Selatan/Tenggara Kol. H. A. Rivai menyerahkan pimpinan pemerintahan Propinsi Sulawesi Tenggara kepada Bapak J. Wayong sebagai Pejabat Gubernur Pertama di Propinsi Sulawesi Tenggara.

Yacob Silondae yang tidak termasuk dalam potret delegasi perjuangan pembentukan Sulawesi Tenggara, tetapi banyak kalangan mencatatnya sebagai seorang tokoh penting pelaku utama sejarah terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
Bahwa embrio terbentuknya Propinsi Sulawesi Tenggara terlepas dari Sulawesi Selatan Tenggara dimulai dari Persatuan Masyarakat Indonesia Sulawesi Tenggara (PERMAIST) yang diketuainya pada tahun 1948. Ketika beliau menjadi Bupati Tk. II Kolaka yang masa itu juga menjadi anggota MPRS, wakil golongan Fungsional Daerah Sultra. Memanfaatkan kesempatan melanjutkan upaya tersebut akhirnya berhasil menelorkan Tap. MPRS No. II/ MPRS/1960 pasal III bidang pemerintahan Keamanan dan Pertahanan ayat 3 dan 5 disebutkan antara Lain “ tidak setuju adanya propinsi Admistratif” Pulau Sulawesi supaya dibagi menjadi empat daerah Swatantra Tk I. Mengenai Pekasanaan Desentralisasi pembentukan daerah Swatantra bahwa Sulawesi menjadi empat daerah Tk. I yaitu ; Sulawesi Utara Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan dan Sulaweasi Tenggara. Lebih Lanjut Yacob Silondae menyatakan beberapa tokoh-tokoh lainnya yang berjasa perjuangan Sultra antara La Ode Hia (Buton), Idrus Efendi (Muna), Supu Yusuf (Kendari), La Ode Ado (Muna), sementara La Ode Rasyid mendukung Kendari sebagai Ibu kota Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebaliknya adanya perjuangan sebuah organisasi yang disebut “ Badan Penuntut Sulawesi Timur yang wilayahnya termasuk Kolonadale, Luwuk Banggai yang pengagasnya terdiri ; La Ode Manarfa, La Ode Hadi, Safiudin, E. Anwar, La Ode Walanda dll. (Yacob Silondae , wawancara, 1 - 10-2007).

Pandangan kontras dengan versi tokoh-tokoh Buton dan Muna bahwa perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Timur perlu dibedakan dengan pembentukan Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Bau-Bau ke arah pembentukan sebuah propinsi. Penamaan Perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Timur mencakup wilayah 4 kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara ditambah dengan Luwuk, Banggai dan Kolonadale menurut Yacob Silondae (wawancara 7 September 2007) adalah sebuah misi yang tidak berhasil. Di lain pihak perjuangan Yacob Silondae dkk., tidak termuat pada arsip nasional (Said D, 1997). Perbedaan kedua pandangan tersebut di atas pada dasarnya memiliki perjuangan yang sama yaitu terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara yang kini telah berusia 43 tahun, hanya terletak pada penempatan ibu kota. 

Namun demikian realisasi dan perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara melalui MPRS dan DPRD serta organisasi pemuda dan mahasiswa, para delegasi tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dalam 4 kabupaten memperjuangkan daerah otonomi tingkat I Sulawesi Tenggara terhadap pemerintah pusat di Jakarta, agar Sulawesi Tenggara dapat berdiri sendiri menjadi satu propinsi yang terlepas dari wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Perjuangan ini berhasil diwujudkan pada tahun 1963 yang mengatur tentang pembentukan daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara. Dengan demikian dalam pelaksanaan serah terima berdirinya Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 April 1964. Daerah Sulawesi Tenggara yang terdiri dari empat kabupaten, Kendari, Kolaka, Buton dan Muna menjadi satu propinsi yakni Sulawesi Tenggara dengan ibukotanya Kendari.
Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Djalil bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (tidak terlepas dari peran para delegasi, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi daerah yang berdiri sendiri terlepas dan wilayah Sulselra oleh para delegasi atau utusun-utusan daerah yang masih menjabat sebagai anggota DPRD di propinsi Sulselra serta dukungan masyarakat yang masih tergabung dalam Sulselra sepakat mendukung penuh otonomi berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara dimana terlebih dahulu dikenal sistem pemerintahan sistem swapraja pada zaman penjajah yang ibukotanya berkedudukan di Bau-Bau. Namun dalam perkembangannya Sulawesi Tenggara mempunyai status sebagai propinsi maka ditetapkanlah Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara yang dikepalai oleh seorang gubernur .
Dari penjelasan di atas bahwa dalam proses penetapan Kendari sebagai Ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara tanpa adanya diskriminasi dari manapun baik ras, suku dan agama dimana masyarakat Sulawesi Tenggara bahu membahu dalam mendukung berdirinya Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan penetapan Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai propinsi yang berdiri sendiri dengan wilayah pemerintahan meliputi empat daerah tingkat II yakni Buton, Kendari, Kolaka dan Muna, dari keempat wilayah tersebut terdapat pula wilayah kerja pembantu bupati yaitu :
1. Kabupaten/Daerah Tk. I Buton terdiri dari empat Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati Buton di Wangi-Wangi meliputi wilayah Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Kecamatan Binongko.
b. Pembantu Bupati Buton di Kasipute meliputi wilayah Poleang dan Rumbia.
c. Pembantu Bupati Buton di Mawasangka meliputi wilayah Kecamatan Kabena, Mawasangka, dan Gu.
d. Pembantu Bupati Buton di Pasar Wajo meliputi Kecamatan Wolio, Kapuntori, Pasar Wajo, Sampolawa dan Batauga.
2. Kabupaten/Daerah Tingkat II Muna terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati Muna di Lambu Balano meliputi wilayah Kecamatan Katobu, Tongkuno, Kabawo dan Tikep.
b. Pembantu Bupati Muna di Pure meliputi wilayah Kulisusu dan Wakorumba.
3. Kabupaten/Daerah Tingkat II Kendari terdiri dari tiga Pembantu Bupati, yaitu:
a. Pembantu Bupati Kendari di Tinobu meliputi wilayah Kecamatan Asera, Lasolo dan Wawonii.
b. Pembantu Bupati Kendari di Wawotobi meliputi wilayah Kecamatan Lambuya, Wawotobi dan Unaaha.
c. Pembantu Bupati Kendari di Punggaluku meliputi wilayah Kecamatan Lainea, Tinanggea, Moramo dan Ranomeeto.
4. Kabupaten / Daerah Tingkat II Kolaka terdiri dari dua Pembantu Bupati, yaitu :
a. Pembantu Bupati Kolaka di Pomalaa meliputi wilayah Kecamatan Tirawuta, Mowewe, Wundulako dan Kota Kolaka.
b. Pembantu Bupati Kolaka di Lasusua meliputi wilayah Kecamatan Lasusua dan Pakue (Monografi, 1977: 20).
Penetapan wilayah pembantu bupati tersebut ditetapkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Januari 1977 No. Pern 7/1/14, sebagai salah satu pemekaran atau perluasan wilayah kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara.
Berita pertama tentang Kota Kendari ditulis oleh J.N. Vosmaers (orang Belanda) yang mengunjungi Teluk Kendari pertama kalinya pada tangga 9 Mei 1831, pesisir Teluk Kendari dihuni oleh orang Bajo dan orang Bugis. Vosmaers kemudian mendirikan loji (kantor dagang) di suatu bukit di tepi Teluk Kendari yang kemudian disebut Bukit Vosmaers. Vosmaers menggambarkan bahwa Teluk Kendari itu merupakan suatu pelabuhan alam yang tenang dan indah, di depan teluk merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai menghubungkan Makassar dan bagian barat Ternate di bagian timur yang sejak dahulu menjadi pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
Ditinjau dari segi letak geografisnya posisi Kendari di pertengahan sehingga dapat dikategorikan sebagai jalur yang dapat dilalui dari semua daerah yang ada di Sulawesi Tenggara baik melalui jalur darat maupun jalur laut sehingga diposisikannya Kota Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara dan kebijakan-kebijakan gubernur yang berdomisili di Ibukota Sulawesi Tenggara dapat secara cepat menjangkau daerah-daerah lain yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara.
Dengan demikian bahwa terbentuknya Teluk Kendari sebagai salah satu jalur perdagangan yang didorong oleh pelabuhan alami yang indah dan letaknya yang strategis maka Kota Kendari tidak hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan tetapi berkembang pula sebagai kota pemerintahan sehingga menjadikan Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara dimana pemerintah daerah memberikan peranan dalam membangun dan menata Kota Kendari agar dapat menunjang kemajuan dan perkembangan pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara dan dapat setara dengan daerah-daerah lain yang telah mengalami kemajuan terhadap pembangunan.
Kendari dan mulai terbentukn ya menjadi Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 September 1964 sampai kini tahun 2007 telah mengalami perkembangan baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya serta dalam sektor perikanan, pertanian dan pariwisata yang dapat menunjang dalam pembangunan yang ada di wilayah Kota Kendari maupun daerah-daerah yang ada di dalam wilayah Sulawesi Tenggara telah mengalami kemajuan utamanya pembangunan yang ada di Kota Kendari terlihat dengan adanya pembangunan gedung-gedung, pertokoan, pasar sentral. Gubernur Ali Mazi, dalam tiga tahun memimpin Sulawesi Tenggara, menoreh sebuah lompatan peradaban secara spektakuler yang belum pernah ada sebelumnya di Sulawesi Tenggara antara lain pembangunan Bandara bertaraf Internasional, Tugu Persatuan setinggi Monas (Monasnya Indonesia Timur) menyebabkan investor dalam dan luar negeri mulai melirik serius kota Kendari. 
Dalam rangka melakukan pemerataan pembangunan di Sulawesi Tenggara baik secara lokal maupun nasional peranan yang sangat dimajukan yaitu peningkatan pelayanan jasa pembinaan di sektor-sektor pertanian dan perikanan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Loncatan PAD propinsi Sultra nyaris mencapai 5 kali lipat. Jika pada pemerintahan sebelumnya PAD tahun 2003, hanya mencapai 20 Milyaran, maka tahun 2006 meningkat tajam menjadi 120 Milyaran. Demikian secara nasional peranan Sulawesi Tenggara cukup dikenal utamanya dari segi pariwisata dan pertambangan serta hasil-hasil hutan dan pertanian sehingga dapat meningkatkan RAPBN khususnya dalam meningkatkan pendapatan terhadap pembangunan daerah Sulawesi Tenggara.

B. PROVINSI SULAWESI TENGGARA DAN PERKEMBANGAN PEMERINTAHANNYA 

Lahirnya orde baru, maka seluruh lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat sampai daerah diadakan dari disesuaikan dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dicantumkan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPRS/1996 tanggal 5 Juli 1966 tentang kedudukan semua lembaga-lembaga negara tingkat pusat dan daerah pada posisi dan fungsi dalam UUD 1945. Kemudian dikeluarkan pula ketetapan No. XXI/MPRS/1966 tanggai 5 Juli 1966 tentang pembinaan otonomi seluas-luasnya kepada daerah.
Landasan pokok pelaksanaan pemerintahan di daerah-daerah yaitu UU No. 18 Tahun 1965, setelah G.30 S/PKI, kemudian diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang hingga saat ini tetap dilaksanakan. Dengan pelaksanaan UU No. 5 1974 nampak terlihat adanya kestabilan politik dan ekonomi dalam rangka wilayah ketertiban terpelihara. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sulawesi Tenggara tetap berpedomar pada UU No. 5 Tahun 1974 tentang susunan organisasi dan tata kerja sekretariat wilayah daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, sesuai dengan Perda No. 3 Tahun 1981 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1981 No. 3 Tahun 1981, Keputusan Mendagri No. 061.341.54-418.
Dengan terkendalinya keamanan wilayah Sulawesi Tenggara, sesuai Perda No. 3 Tahun 1981 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1981 No. 3 Tahun 1981, Keputusan Mendagri No. 061.341.54-418.
Dengan terkendalinya keamanan wilayah Sulawesi Tenggara, maka mulailah pemerintahan secara teratur sejak terbentuknya propinsi ini. Secara kronologis periode pemerintahan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pemerintahan Gubernur J. Wayong (1964-1965)
Sejak kelahiran Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 April 1964, Gubernur dijabat oleh J. Wayong dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1964. Beliau sebagai peletak dasar pemerintahan di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang otonomi J. Wayong sebagai gubernur pertama untuk Propinsi Daerah Tingkai I Sulawesi Tenggara dibantu pula oleh suatu lembaga yang disebut Badan Pemerintahan Harian (BPIJ). J. Wayong segera melakukan langkah-langkah yang diperlukan baik dalam konsolidasi di bidang pemerintahan maupun usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Namun belum banyak yang bisa beliau lakukan sebab dia hanya mempunyai satu tahun untuk memangku jabatan. Berakhirnya masa jabatan J. Wayong pada tanggal 18 Juli 1965. Pengganti gubernur saat itu adalah La Ode Hadi.

2. Pemerintahan Gubernur La Ode Hadi (1965-1966)
Gubernur kedua Propinsi Sulawesi Tenggara adalah La Ode Hadi, diangkat berdasarkan Keputusan Presiden No. 140 Tahun 1965 tanggal 24 Mei 1965. Pada masa pemerintahan Gubernur La Ode Hadi ditandai dengan pertentangan antara golongan dan diwarnai dengan kekacauan di bidang ekonomi sehingga pemerintahannya menghadapi kenyataan yang benar-benar sulit. Yacob Silondae yang saat itu sebagai wakil Gubernur ,memepis persepsi banyak kalangan terhadap keterlibatannya atas tergulingnya La Ode Hadi sebagai Gubernur, lebih lanjut ia mengatakan bahwa terbukti bukan dirinya yang menjadi Gubernur tetapi Edy Sabara dan masa itu tentara sangat medominasi peta perpolitikan.
Dalam kepemimpinan La Ode Hadi lahirlah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Undang-Undang No. 18 tersebut merupakan suatu produk legislatif yang lahir di saat memuncaknya penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, teristimewa di dalam bidang pemerintahan dimana keadaan pada saat itu dipengaruhi oleh situasi masyarakat yang mengarah kepada politik. Ikut sertanya rakyat dalam bidang pemerintahan tidak hanya nyata dalam DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat, akan tetapi meluas memasuki tubuh eksekutif dalam bentuk pemerintahan kolegial, yakni adanya Badan Pemerintahan Kolegial (BPK).
Walaupun kedudukan BPK hanya sebagai pembantu kepala daerah, lembaga ini memegang posisi strategis yang secara pasti tidak terlepas dari aspirasi politik golongan yang diwakili sesuai dengan komposisinya. Keadaan ini secara otomatis menciptakan kompartementasi pengkotak-kotakan ideologi politik dalam struktur pemerintahan daerah, yang pada gilirannya mengakibatkan rusaknya kekompakkan aparatur serta menurunnya dedikasi dan loyalitas kepada pemerintahan dan negara.
Bersamaan dengan itu dilakukan pula tindakan pembersihan baik di dalam tubuh pemerintahan daerah maupun dalam lingkungan organisasi politik dan masyarakat. Maka ketika Gubernur La Ode Hadi mengakhiri masa jabatannya pada tahun 1967 Sulawesi Tenggara sudah dapat dikatakan seratus persen bersih dari sisa-sisa komunis dan momentum ini dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun Sulawesi Tenggara dalam mengcjar ketertinggalan dari daerah lainnya khususnya Sulawesi Selatan.

3. Pemerintahan Gubernur Edi Sabara (1966-1978)
Bertolak dari carateker Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara, Brigjen Edi Sabara ditetapkan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Gubernur dengan Keputusan Presiden RI No. 42 tahun 1967 tanggal 1 April 1967, dan setelah DPR-GR Propinsi Gubernur bersidang, menetapkan Edi Sabara terpilih sebagai gubernur definitif dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1967 pada tanggal 24 April 1967 sebagai gubernur ketiga (Monografi, 1977 : 29).
Gubernur Kepala Daerah T'ngkat I, Edi Sabara dengan tekad membangun Sulawesi Tenggara sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, maka dengan itu beliau mengambil suatu langkah-langkah untuk melaksanakan sebaik-baiknya kebijakan nasional baik yang tertuang dalam GBHN, trilogi Pembangunan, Panca Krida Kabinet Pembangunan IV dan V, delapan sukses dan delapan jalur pemerataan untuk diterapkan di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimana langkah-langkah tersebut berpedoman pada prinsip "pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat".
Kebijaksanaan pembangunan daerah Sulawesi Tenggara seperti yang tertuang dalam pola dasar pembangunan Propinsi/Daerah Tingkat I Sultra dilaksanakan berdasarkan pedoman yang sejalan dan seirama dengan kebijaksanaan nasional. Dalam kepemimpinan yang merakyat tapi tegas Gubernur Edi Sabara tidak menemui kesulitan yang berani dalam usahanya memacu pembangunan sejaian dengan pelaksanaan Repelita I yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.
Keberhasilannya membangun Propinsi Sulawesi Tenggara, Edi Sabara kembali mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat dan masyarakat Sulawesi Tenggara menjadi Gubernur untuk periode yang kedua kalinya hingga tahun 1978.

4. Pemerintahan Gubernur Drs. Abdullah Silondae (1978-1982)

Gubernur Kepala Daerah Tingkal I Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 178-1982 adalah Drs. Abdullah Silondae sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara yang keempat berdasarkan Keputusan Presiden No PEM 7/18/39 tanggal 19 Juni 1978. Pelantikan dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 1978 oleh Menko Polkam, M. Panggabean.
Berhubung Drs. Abdulah Silondae adalah salah satu konseptor penyusunan rancangan perencanaan program pembangunan daerah Sulawesi Tenggara "pernanfaatan tanah dan air" tersebut pada Repelita I dan II dalam melanjutkan perencanaan pembangunan dan berfokus pada sumber daya manusia dengan memperbanyak pembangunan sarana pendidikan mulai dari tingkat SD, menengah pertama dan atas hingga perguruan tinggi termasuk lembaga-lembaga pendidikan/pelatihan keterampilan yang tersebar mulai dari ibukota propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan/desa di Propinsi Sulawasi Tenggara.
Dari perjuangan yang gigih dari Gubernur Drs. Abdullah Silondae, maka pada bulan Agustus 1981 oleh pemerintah diresmikan berdirinya Universitas Haluoleo di Kendari ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara.
Universitas Haluoleo (Unhalu) tersebut merupakan dambaan dan perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara sejak tahun 1950-an/1960-an yang merupakan paket perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara kepada pemerintah pusat untuk mengakui dan menetapkan daerah Sulawesi Tenggara menjadi salah satu propinsi. Dasar perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara tersebut karena potensi SDM, SDA, luas wilayah dan dinamika masyarakat semakin meningkat sebagai pelaksanaan pembangunan semesta 4 tahun pertama.
Guna mewujudkan rencana pembangunan tersebut pertengahan tahun 1980 Menteri PU mengadakan kunjungan kerja di Propinsi Sulawesi Tenggara didampingi oleh gubernur dan pejabat instansi melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Dimulai dari jalur lingkar Pulau Buton, Pulau Muna dan lingkar daratan Sulawesi Tenggara.

5. Pemerintahan Gubernur Ir. H. Alala (1982 - 1987)
Pada masa pemerintahan Ir. H. Alala menitikberatkan pembangunan dan mencanangkan pendekatan dan strategi pembangunan wilayah pedesaan yang dinamakan “GERSAMATA" yang meliputi :
1) Peningkatan produksi sektor pertanian dalam arti luas.
2) Penyediaan dan peningkatan prasarana, sarana fisik dan sosial ekonomi.
3) Pengembangan dan penerapan teknologi pedesaan.
4) Peningkatan kualitas lingkungan hidup.
5) Peningkatan kualitas hidup manusia atau masyarakat pedesaan.
Dari lima sasaran pokok tersebut di atas bahwa titik pembangunan diletakkan pada sektor pertanian dalam arti luas. Bidang-bidang dan sektor-sektor pembangunan lainnya sejalan dengan hasil-hasil yang telah tercapai dalam sektor-sektor tersebut.
Gerakan Desa Makmur Merata (GERSAMATA) dalam pembangunan lebih diarahkan ke daerah pedesaan, mengingat di sanalah terdapat potensi daerah yang sangat kaya dengan SDA, khususnya pada sektor pertanian dalam arti luas.
Program pembangunan GERSAMATA sangat berhasil untuk membangun wilayah pedesaan yang ditandai dengan peningkatan produksi pertanian mulai dari tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.
Kemajuan yang terlihat dari program GERSAMATA tersebut dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang menimbulkan multiplayer effect sangat besar, dimana peningkatan daya beli masyarakat di daerah perkotaan, peningkatan efektivitas ekonomi masyarakat di berbagai bidang, kemampuan masyarakat dalam membayar pajak meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatan pendapatan asli daerah bagi kemajuan pembangunan di wilayah Sulawesi Tenggara.

6. Pemerintahan Gubernur Drs. La Ode Kaimuddin (1992 - 2002)

Untuk membangun Sulawesi Tenggara secara keseluruhan Gubernur Drs. H. La Ode Kaimuddin mencanangkan program "Pemberdayaan Ekonomi Rakyat melalui Aplikasi Strategi Lima Sehat Empat Penyempurnaan" yang dikeluarkan dengan keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara, Perda No. 13 Tahun 1998 dan Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 1999.
Pemberdayaan ekonomi rakyat senantiasa menjadi perhatian dalam pembangunan sepanjang masa, karena misi pemberdayaan ekonomi rakyat lahir dari kegagalan pendekatan pembangunan yang bersifat “top down”. Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan suatu misi pembangunan yang memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Oleh karena itu keseluruhan dari penyelenggaraan sistem pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di Propinsi Sulawesi Tenggara harus diarahkan pada program-program yang mampu untuk memberdayakan ekonomi rakyat Sulawesi Tenggara.
Penerapan ekonomi rakyat dalam pembangunan memerlukan berbagai kebijakan. Dimana kebijakan yang tertuang dalam program-program pembangunan sektoral dan spasial, baik secara langsung maupun tidak langsung dirancang untuk turut memecahkan lima masalah utama pembangunan yang ada di Sulawesi Tenggara yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi rakyat saat ini yakni kemiskinan akibat ketimpangan distribusi pendapatan, daya serap wilayah yang masih rendah, pengangguran, SDM yang masih rendah dan sikap hidup yang belum menghargai disiplin. Olehnya itu perlunya pemerintah daerah dan segenap aparatur pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk pelaksanaan pembangunun yang ada di Sulawesi Tenggara rnenuju masyarakat yang sejahtera.

7. Pemerintahan Gubernur Ali Mazi, SH (Periode 2003 - 2008)

Program pemerintahan Gubernur Ali Mazi sinergik dengan program-program gubernur sebelumnya yaitu mengedepankan ekonomi rakyat Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan konsep Stelsel Masyarakat Sejahtera (SMS) Menuju Sultra Raya 2020.
Dalam konsep ini ada 4 pendekatan pembangunan Sultra Raya 2020 yaitu :
1. Pembangunan sebagai proses perubahan kebudayaan dan peradaban;
2. Pembangunan berporos kepentingan sosial-ekonomi kerakyatan;
3. Pembangunan berbasis investasi;
4. Pembangunan birokrasi.
Strategi pembangunan Sultra Raya 2020 :
1. Pembangunan sebagai proses perubahan kebudayaan dan peradaban :
(1) Saintifikasi kehidupan religiusitas masyarakat;
(2) Pendidikan keunggulan yang berorientasi sains, teknologi dan ekonomi (SAINTEK);
(3) Kesehatan dan kesejahteraan sosial untuk semua dan bersama;
2. Pembangunan yang berporos kepentingan sosial-ekonomi kerakyatan :
(4) Stelsel Masyarakat Sejahtera (SMS);
(5) Desa sebagai Badan Hukum Milik Masyarakat (BHMM Desa);
(6) Redistibusi asset dan faktor produksi untuk rakyat;
3. Pembangunan yang berbasis investasi :
(7) Penarikan investasi domestik dan internasional;
(8) Skim Pengembalian Anggaran dan Bunga/Repayment of Fund and Interest (PAB/ROFI);
4. Meritokrasi Birokrasi :
(9) Double layer bureaucracy;
(10) Kesejahteraan Pegawai; dan
(11) Desentralisasi fiskal serta produserasi kebijakan, program dan anggaran antar Pemerintah Daerah (Sultra Development Board).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai