Langsung ke konten utama

TIMURLENK (TAMERLANE), Generasi Mongol Penyebar Islam

Disaat banyak ulama muslim menghujat kebengisan Timurlenk, Ibnu Khaldun salah seorang ulama ternama muslim, malah memuji Timurlenk dengan mengatakan “Disaat banyak pemimpin muslim terlena oleh harta dan melupakan penyebaran Islam, Timurlenk datang meneruskan kerja penyebaran Islam”
Orang Mongol satu ini memang terus menjadi kontroversi dalam sejarah, terutama bagi yang tidak memahami kondisi sosial dunia Arab abad pertengahan. Arab pada masa itu telah kembali ke dalam apa yang disebut masa “jahiliyyah”. Islam sudah tidak lagi dijunjung, melainkan diinjak-injak atas nama keluarga, kesukuan, madzhab dan demi kekuasaan. Hal inilah yang menanamkan kebencian nyata dalam diri Timurlenk pada ras Arab dan selalu menjaga ke-steril-an pasukannya dari orang Arab.  
Terlahir dari keturuan Genghis Khan dari pihak Ibu (Putri dari Chagatai Khan), Kakeknya Chagatai Khan adalah penguasa  Chagatai Khanate. Emperium Mongol ketika itu dibagi menjadi beberapa daerah federal yang bebas tapi tetap tunduk pada kekuasaan presiden utama di Mongol pusat yang bergelar “The Great Khan”. Kakek dari pihak bapak Timurlenk (Tamerlane) adalah panglima perang Chagatai Khan bernama Karachar Nevian.
Tahun 1260, setelah kematian Mongke Khan (Great Khan ke-5 sebelum Kubilai Khan) Chagatai Khannate menyatakan  putus hubungan dengan mongol pusat dan berdiri Independent karena perbedaan prinsip agama. Timurlenk sendiri sukses naik ke tampuk pimpinan pada tahun 1370 M. Tapi dia hanya mengangkat dirinya sebagai Panglima Besar dan




mengangkat Sultan-sultan Chagatai sebagai gubernur saja.
Setelah itu, 35 tahun hidupnya dihabiskan untuk mempersatukan dunia Islam yang tercerai-berai, para sejarawan sering menulisnya sebagai penaklukan, tapi Timurlenk dalam memoarnya dengan tegas membantah:
“I am not a man of blood; and God is my witness that in all my wars I have never been the aggressor, and that my enemies have always been the authors of their own calamity”
“Saya bukanlah pembantai, dan biarlah Tuhan sebagai saksiku bahwa dalam setiap perang saya tidak pernah menjadi penakluk, dan para musuhku lah yang telah menulis bencana mereka sendiri”

Bila membaca sejarah secara adil, mungkin kita bisa memahami “kebengisan” Timurlenk. Profil ke-muslim-an Timurlenk tidak main-main. Sejak kecil dia dididik dalam pemahaman Islam yang sangat kuat, bahkan sudah hafal Qur’an sejak usia 10tahun. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa dia seorang Syiahm tapi melihat profil pendidikan ke-islam-an yang banyak dipengaruhi Madzhab Hanafi, dia adalah seorang Sunni.
Tapi profil Timurlenk menurut Ibnu Khaldun lebih menarik disimak. Timurlenk adalah pribadi yang sangat toleran terhadap perbedaan tapi mudah marah ketika melihat ada seorang yang mempermasalahkan perdebatan, apalagi jika kemudian terjadi perang antara sesama muslim hanya karena perbedaan khilafiyah dan perebutan kekuasaan, Timurlenk tidak akan pernah mengampuni hal-hal sepele seperti ini.
Seperti saat dia datang mengaku sebagai hakim atas perang saudara sunni-syiah di Irak, ketika dua golongan mengaku tidak ada yang salah dan selalu mengaku yang paling benar. Timur membantai 20.000 orang  … dengan enteng Timur mengatakan, sebagai Sultan saya sudah tidak bisa mengadili mereka, biarkan mereka berdebat tentang siapa yang benar dihadapan yang Maha Benar.
Keteguhan dan kebengisan tekad Timurlenk dalam menyiarkan faham toleransi dan persatuan Islam bisa dilihat dari proses penaklukan Dinasti Ilkhanid di Iran. Tahun 1335-1384 terjadi perang saudara perebutan kekuasaan di Dinasti Ilkhanid setalah Sultan Abu Sa’id meninggal Dunia. Tahun 1385 dia memimpin 200ribuan pasukan untuk proses stabilisasi politik dan menempatkan Sultan bayangan untuk memungut upeti sebagai pengganti biaya perjalanan pasukan.
Lha ndilalah, tahun 1387 terjadi pemberontakan atas kekuasan Timur dan menolak membayar upeti. Karuan saja Timurlenk marah, lalu melakukan pembantaian massal pada pasukan pemberontak yang sudah terkepung. Sejarah mencatat ada hampir 70.000 kepala manusia yang terpenggal lalu ditempatkan pada 28 menara benteng, di setiap menara terdapat 1500-an kepala.
Perhatian pada penyebaran Islam juga sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah alasan dia menginvasi Kesultanan Delhi di India. Menurut sejarawan Cambridge, alasan utama adalah terlalu minimnya upaya Islamisasi yang dilakukan oleh Delhi karena banyaknya sogokan dari kaum Hindu India pada Sultan.
Setelah menaklukan Delhi, garnisun pasukan Turki ternyata menerima suap dari penduduk Hindu agar lebih terjamin keamanannya diluar jizyah (upeti resmi) yang sudah ditetapkan oleh Timurlenk. Karena ketahuan, penerima suap (Pasukan Turki) dan para peyuapnya dijatuhi hukuman penggal kepala.
Garnisun Tukri berkekuatan 15.000 pasukan menolak, memberontak, menjarah dan memaksa penduduk Hindu untuk bergabung berperang melawan Timurlenk. Karuan saja disikat habis dengan korban mencapai 100.000 orang. Kejadian ini menyebabkan hubunganya dengan Dinasti Turki Utsmaniyah tidak harmonis.
Ketika akhirnya menaklukan sebuah kerajaan, ilmuwan dan Ulama setempat langsung dibawa ke Samarkand (Uzbekistan) untuk dimuliakan. Kemanapun Timurlenk pergi dalam rombonganya selalu terdapat Ulama untuk membimbing pasukanya, dan memasukkan pemahaman Islam pada daerah taklukanya. Tidak mengherankan, bila dikemudian hari daerah (wilayah Asia Tengah sampai Asia Selatan) memiliki toleransi yang hebat dalam memaknai perbedaan.
Ada kisah menarik tentang kuburan Timurlenk, saat Uzbekistan dikuasai Soviet. Seorang arkeolog Soviet Mikhail Mikhaylovich Gerasimov nekad menggali kuburan Timurlenk dan merekonstruksi tulang-tulangnya untuk mendapatkan gambaran wajah. Dia mengindahkan tulisan di peti mati “”Who ever opens my tomb, shall unleash an invader more terrible than I” (Siapa yang pernah membuka makamku, akan melepaskan penyerbu yang lebih mengerikan daripada aku).
Ndilalah 2 hari kemudian Nazi German meluncurkan Operasi Militer bersandi Barbarosa menyerang Soviet. Dan setelah kemenangan Soviet di Perang Stalingard, jasad kerangka Timurlenk dikubur kembali dengan ritual Islam.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai