Langsung ke konten utama

Asal Usul Suku Dayak Kalimantan

Berdasarkan hasil penelitian antroplogi, suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan (Borneo) bukanlah penduduk asli. Penduduk asli pulau Borneo yangpertama dengan ciri-ciri fisik rambut hitam keriting, kulit hitam, hidung pesek dan tinggi badan rata-rata 120-130 cm. Mereka digolongkan ke dalam suku bangsa negrito sebagaimana yang masih terdapat sisa-sisanya dalam kelompok kecil di malaysia bagian utara.Di pulau Kalimantan kelompok suku bangsa negrito ini diduga telah musnah setelah datangnya suku bangsa baru yang ber-migrasi dari benua asia sebelah timur yaitu dari Cina. Menurut ahli etnologi, di asia pada awal-awal abad masehi pernah dua kai terjadi perpindahan bangsa-bangsa yang terjadi pada abad ke II dan yang ke dua terjadi pada abad ke IV. Suku bangsa yang datang dan akhirnya mendiami pulau Kalimantan (Borneo) sebagian besar datang pada perpindahan bangsa-bangsa yang kedua yaitu pada abad ke-IV.
Terjadinya perpindahan bangsa-bangsa ini dilakukan untuk menghindari kekejaman suku bangsa Tar-tar dari Utara yang terjadi sejak zamannya Jengis Khan. Kelompok bangsa yang berpindah itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya bangsa baru seperti Jepang, Taiwan, Philipina dan suku bangsa diIndonesia antara lain suku bangsa di Manado-Gorontalo-Toraja di Sulawesi ; suku-suku di Riau kepulauan, Suku Batak-Nias di Sumatera; serta suku Dayak diKalimantan.Sebagaimna dikemukakan sebelumnya nenek moyang suku Dayak berasal dari wilayah pegunungan Yunan bagian selatan berbatasan dengan Vietnam sekarang. Kelompok migran yang masuk ke wilayah Kalimantan Tengah sekarang dan menjadi nenek moyang bagi sebagian besar orang/suku Dayak di Kalimantan Tengah merupakan bagian dari perpindahan bangsa-bangsa ke II pada abad ke IV. Diperkirakan mereka masuk ke Kalimantan Tengah melalui sedikitnya 3 (tiga) koridor yaitu :
  1. Koridor I dari Kalimantan Barat menyusuri sungai Kapuas sehingga akhirnya menyeberang/melintas pegunungan Schwaner.
  2. Koridor II dari Kalimantan Timur melalui Kabupaten Kutai Barat sekarang 
  3. Koridor III dari Kalimantan Timur melalui Kabupaten Paser sekarang 

Berdasarkan legenda dan cerita para pendahulu, nenek moyang suku Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah sama sekali tidak ada kelompok yang masuk dari muara-muara sungai di sebelah selatan wilayah Kalimantan Tengah yaitu dari arah laut Jawa.
Seluruhnya masuk ke wilayah Kalimantan Tengah sekarang melalui bagian utara dan timur.Dalam puisi TETEK TATUM di sebutkan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari Kerajaan Langit, diturunkan dengan ”Palangka Bulau” di (1) Tantan Puruk Pamantuan (2) Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting dan (3) Puruk Kambang Tanah Siang. Perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud ”Kerajaan Langit” dimaksudkan menunjuk kepada kerajaan-kerajaan di Cina pada waktu itu.Menurut legenda, nenek moyang orang Dayak Ngaju berasal dari suatu kerajaan yang terletak dilembah pegunungan Yunan Selatan di Cina Barat Laut.
Raja tersebut bergelar THA WONG yang berarti raja besar. Hal ini disebut-sebutdalam puisi TETEK TATUM dengan sedikit perubahan dari THA WONG menjadi TAHAWONG. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dikalangan suku Dayak ada beberapa keluarga dalam memberikan nama bagi anak laki-laki yang lahir dikeluarganya dengan antara lain ; Tahawong, Sahawong, Sawong, Tewong atau Siwong.Salah satu kelompok migran dari THA WONG tersebur masuk ke Kalimantan Tengah sekarang di duga melalui Kalimantan Barat, dengan menyusuri sungai Kapuas.
Dalam mencari tempat pemukiman baru yang aman akhirnya kelompok tersebut menyebarangi sebuah pegunungan (Schwaner). Pemukiman pertama di duga di bangun di hulu anak sungai Katingan antara lain sungai Samba dan sungai Baraoi. Daerah tersebut biasa di kenal dengan sebutan DAHTAH HOTAP. Hingga saat ini di tempat itu masih terdapat puing-puing betang yang sangat besar. Betang tersebut pada masanya dipastikan sangat kokoh. Tiang-tiang betang dibuat dari kayu ulin yang berdiameter antar 60-70 cm. Dari betang inilah diduga penyebaran kelompok–kelompok kecil kesebagian besar wilayah Kalimantan Tengah.Salah satu kelompok kecil yang di pimpin ”Ongko Kalangkang” pindah ke arah timur dan akhirnya menetap di hulu sungai Kahayan, yaitu di desa Tumbang Mahuroi sekarang. Warga suku Dayak Ngaju mengakui bahwa ”Ongko Kalangkang” adalah nenek moyang mereka dan merupakan cikal bakal adanya suku Dayak Ngaju.
Dalam bahasa Ngaju, kata ongko berarti orang tua, persis sama seperti bahasa Cina. Kata Kalangkang merupakan pertautan 3 (tiga) katanya itu; Ka (atau kho)-La dan Kang.Migrasi Ongko Kalangkang ke hulu sungai Kahayan (Tumbang Mahuroi) disertai7 (tujuh) keluarga dan anak menantunya. Atas kesepakatn bersama, maka ke tujuh keluarga anak-menantunya tersebut menyebar mencari tempat pemukiman baru dengan cara menyisir sungai Kahayan ke arah hilir (selatan). Dengan menggunakan rakit-rakit yang dibuat dari bambu dan kayu, rombongan ke-7 keluarga tersebut melakukan perjalanan untuk mencari tempat-tempat pemukiman baru yang cocok.Dengan demikian di sepanjang sungai Kahayan akhirnya terbangun 8 (delapan) perkampungan asal yang merupakan kampung generasi pertama, yaitu :

  1. Tumbang Mahuroi (Ongko kalangkang)
  2. Tumbang Pajangei (anak laki-laki)
  3. Tampang (anak laki-laki)
  4. Sepang Simin (anak laki-laki)
  5. Bawan (anak perempuan)
  6. Pahawan (Anak perempuan)
  7. Bukit Rawi (Anak perempuan)
  8. Pangkoh (anak Perempuan)
Dalam buku ”MANESER PANATAU TATU HIANG” atau Menyelami Kekayaan Leluhur yang di susun oleh Dra. Nila Riwut, 2003 halaman 59 tentang ”Asal-usul Suku Bangsa Dayak” dikemukakan adanya pendapat orang lain yang menyebutkan bahwa suku Dayak berasal dari proto-melayu/melayu tua (Maneser Panatau Tatu Hiang, tahun 2003, halaman 59)Pendapat tersebut diatas sangat spekulatif dan kurang beralasan. Pegunungan Yunan letaknya di wilayah Cina barat laut. Ras Melayu jelas tidak berasal dari Benua Asia Timur tersebut. Nenek moyang orang Dayak Kalimantan Tengah jelas menyebar dari arah utara yaitu dari daerah hulu sungai.
Penyebaran terbalik bukan dari muara sungai sebelah selatan Kalimantan Tengah melainkan menyebar dari arah utara dan dari arah timur, artinya justru menyebar dari arah hulu sungai.Dengan demikian asal-usul orang Dayak dapat disimpulkan bukan dari ras melayu melainkan lebih tepat dari ras Neo-mongolik. Berpindahnya nenek moyang suku Dayak dari daerah asal (pegunungan Yunan) dapat dipastikan telah mempunyai kebudayaan yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan bahwa mereka telah memiliki kemampuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar menyeberangi laut Cina Selatan.
Ditempat yang baru mereka telah mampu mengenal batu-batuan yang mengandung bijih besi, memproses besi besi menggunakan tanur yang dibuat sendiri. Hasil besi yang diproses itu disebut dengan ”Sanaman Mantikei” atau besi Mantikei yang terkenal sangat kuat.Pada zaman sebelum kemerdekaan sampai beberapa tahun awal kemerdekaan, di sekolah-sekolah khusus mata pelajaran ilmu bumi menggunakan buku atlas yang diadakan pemerintah. Khusus pada peta pulau Kalimantan untuk menunjukan nama-sama sungai tertulis antara lain : Dayak Kapuas (besar), Dayak Ketapang, Dayak Lamandau, Dayak Arut, Dayak Kapuas. Dengan demikian yang dimaksud dengan Dayak adalah sungai.
Kata Dayak yang artinya sungai tersebut terdapat pada satu anak suku Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa lokal di Kalimantan Barat dan Serawak.Pada awal abad ke-XIX seorang ilmuwan barat sekaligus missionaris telah melakukan perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk suatu penelitian tentang suku bangsa dan budaya penduduk yang mendiami pulau Kalimantan. Pada saat itu sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke kampung lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai