Langsung ke konten utama

Desa Lea dan Kisahnya

Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia yang secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa dan 44 kelurahan.

Kabupaten ini berbatasan dengan Kab. Wajo dan Kab. Soppeng di sebelah utara, Kab. Sinjai dan Kab. Gowa di sebalah selatan dan di sebelah barat berbatasan dengan Kab. Maros, Pangkep dan Barru serta di sebelah timur terdapat Teluk Bone yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara melalui jalur laut.

Kab. Bone terletak 174 km ke arah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4°13'- 5°6' LS dan antara 119°42'-120°30' BT. Luas wilayah Kabupaten Bone 4.559 km² dengan rincian lahan sebagai berikut:

  1. Persawahan: 88.449 Ha
  2. Tegalan/Ladang: 120.524 Ha
  3. Tambak/Empang: 11.148 Ha
  4. Perkebunan Negara/Swasta: 43.052,97 Ha
  5. Hutan: 145.073 Ha
  6. Padang rumput dan lainnya: 10.503,48 Ha

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, jumlah penduduk Kabupaten Bone Tahun 2014 adalah 738.515 jiwa, terdiri atas 352.081 laki‐laki dan 386.434  perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten Bone sekitar 4.559 km2 persegi, rata‐rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bone adalah 162 jiwa per km2..[2]
Kabupaten Bone tergolong kabupaten yang besar dan luas di Sulawesi Selatan. Rata-rata jumlah penduduk per km2 adalah 162 jiwa. Terkait  dengan perannya sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan fasilitas publik lain, maka mayoritas penduduk tinggal terpusat di ibukota kabupaten. Kepadatan  penduduknya mencapai 1.111,78 jiwa per km2.
Keberadaan penduduk dalam jumlah yang besar,seringkali dianggap sebagai pemicu masalah-masalah kependudukan seperti kemiskinan dan pengangguran. Namun, dalam tinjauan demografi, penting untuk melihat struktur umur penduduk. Penduduk usia produktif yang besar dan  berkualitas dapat berperan positif dalam  pembangunan ekonomi.  
Penduduk Kabupaten Bone didominasi oleh penduduk muda dan usia  produktif. Penduduk usia produktif memiliki jumlah terbesar yaitu 64,50 persen dari keseluruhan populasi dengan rasio  ketergantungan sebesar 55,03 persen. Artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sebanyak 55 hingga 56 penduduk yang   belum produktif dan tidak produktif lagi.
Hal lain yang menarik diamati pada piramida penduduk adalah  adanya  perubahan arah perkembangan penduduk yang ditandai dengan penduduk usia 0-4 tahun yang jumlahnyalebih kecil dari kelompok  penduduk usia yang lebih tua  yaitu 5-9 tahun. Kondisi tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kelahiran  penduduk  pada  beberapa tahun ini.
Indikasi turunnya tingkat kelahiran, terkait dengan peningkatan  penggunaan alat kontrasepsi. Jumlah akseptor KB aktif di Kabupaten  Bone tahun 2014 tercatat 87.220 orang meningkat dari tahun 2013.  Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan  adalah   suntikan (33,40 persen), pil ( 28,76 persen), dan implant (25,61 persen).

Adapun Kecamatan Tellu SiattingE adalah salah satu kecamatan dari 27 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dengan Watampone sebagai Ibu kotanya memiliki batasa wilayah sebagai berikut:

UtaraKecamatan Dua Boccoe dan Cenrana
SelatanKecamatan Ulaweng
BaratKecamatan Amali dan Ulaweng
TimurKecamatan Cenrana, Teluk BoneKecamatan Awangpone, dan Kecamatan Palakka

Ada pun inti dari artikel ini adalah Desa Lea dan sekelumit kisah di dalamnya. Desa Lea merupakan desa yang terletak di sebelah ujung timur Kecamatan Tellu SiattingE. Pada bagian selatan Desa Lea berbatasan dengan Kec. Cenrana dan di sebelah utara berbatasan dengan Kec. Dua BoccoE, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Patangnga dan di sebelah timur terdapat Sungai WalanaE.

Di pertengahan Abad ke-17 Desa Lea dulunya dikenal dengan nama 'Tana Learung'. Nama Learung berasal dari nama unggas yang menjadi 'Endemic' di wilayah tersebut. Desa Lea dulunya hanya daerah yang ber-rawa dengan dikelilingi beberapa anak sungai dan Salo Wae LennaE (Sungai WalanaE) sebagai induknya sehingga pada masa sebelum Islam dianut oleh penduduk setempat faham animisme sangat kental di kehidupan masyarakat dengan memuja dan menghormati PuangE ri Lagellang dan Puang Masealla sebagai 'sang' penguasa sungai yang melindungi dan memberi kesuburan. Salah satu keistimewaan Desa Lea pada masa itu adalah masih perawan atau belum berpenghuni (tidak ber-tuan).

Karena dikelilingi sungai-sungai dan tanah rawa, maka wilayah ini digunakan oleh penduduk di luar Tana Learung sebagai tempat menangkap ikan meskipun sangat berisiko diserang buaya yang bersarang di sekitar sungai dan rawa. Hingga pada suatu masa penduduk yang bermukim di wilayah Weteng, Cenrana dan Ujung saling berebut hak kuasa atas tanah tersebut. Perang antar kampung pun tidak dapat dihindari meskipun secara "defacto" Arung Weteng adalah pemilik yang sah karena sejak dulu warganya sudah lama memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat mencari ikan, umbi-umbian, buah kelapa dan palawija lainnya yang kemudian dipersembahkan ke Arung Weteng.

Dan sangat mudah ditebak, bahwa pemilik Wanua Learung akhirnya jatuh ke wilayah Akkarungeng Weteng dengan pemufakatan dewan Adat 'Ade' Pitu' meskipun masih sering terjadi gesekan dan perselisihan antar warga setempat ditambah semakin banyak warga Wanua Ujung dan Wanua Cenrana bermukim di wilayah LawarengE di seberang Sungai WalanaE menyebabkan konflik semakin tidak dapat dihindari.

Hingga di akhir abad ke-17 pada masa We Masing Arung Weteng dan Suaminya To Saddeng Datu Cinnong berkuasa dicetuslah ide politik "Passeajingeng" (politik pernikahan), yaitu dengan menikahkan I Sitti Remmang cucu We Masing Arung Weteng dengan La Patani cucu La Mattalitti Arung Cenrana untuk meredam pertikaian yang tidak kunjung reda tersebut.

Ide tersebut berhasil meredam pertikaian dan perebutan sumber alam tanah Learung yang tujuannya untuk dipersembahkan kepada arung atau penguasa di masing-masing wilayah.

Pada pertengahan abad ke-18 Wanua Learung atas rekomendasi We Saloge Arung Cenrana meminta dibentuknya Akkarungeng di wilayah Learung dengan La Calawa' sebagai Arung Learung yang pertama. Rekomendasi tersebut oleh Raja Bone ke-29 La Singkeru' Rukka disahkan dan memberi mandat untuk melantik La Calawa'.

Namun sebelum mandat tersebut sampai di telinga La Calawa', terjadi kericuhan di pasar Pallime' yang menyebabkan terbunuhnya beberapa orang dan salah satu pelaku kericuhan tersebut adalah La Calawa' 'kandidat' Arung Learung. Kericuhan tersebut hanya hal sepele yaitu perintah mendayung perahu yang ditumpangi oleh La Calawa. Pemilik perahu yang tidak mengenal bahwa La Calawa' adalah cucu Arung Weteng memerintahkan La Calawa mendayung perahu sebagai imbalan karena telah menumpang di perahunya menuju Pallime'. Namun di masa itu mendayung perahu dianggap 'Paimmali'/pamali (Tabu) bagi seorang 'Wija Arung'.


Mendengar kejadian tersebut, Dewan Adat Bone meminta We Saloge Arung Cenrana agar membatalkan pelantikan La Calawa' karena dianggap bertabiat buruk dan menjatuhkan hukuman 'Ripali' (diusir dari kampung halaman) kepada La Calawa' atas perbuatannya. We Saloge Arung Cenrana kemudian mencari sosok yang lebih pantas memimpin Wanua Learung namun La Paddume' Arung Weteng keberatan jika La Calawa' dianulir pelantikannya.

Konon setelah 'Ripali' La Calawa' kemudian meninggalkan Wanua Learung dan menetap di Kerajaan Gowa disekitar kaki Gunung Bawakaraeng dan kabarnya tidak terdengar lagi hingga saat ini.

Dari masa Swapraja (masa kolonial Belanda) hingga bergabungnya Kerajaan Bone ke Negara Kesatuan Republik Indonesia keinginan La Paddume' Arung Weteng mengangkat keturunannya menjadi Arung di Learung tidak terwujud.

Saat ini jejak atau bekas Wanua Learung masih dapat ditemukan di Dusun WanuaE, Desa Lea yaitu disekitar 'Tana A'bolangngE' dan 'Turungeng'. Dan nama Dusun WanuaE juga diambil dari nama lokasi awal mula Wanua Learung pertama kali berdiri.

Nama Learung berubah menjadi Lea di masa 'Rumpa'na Bone' karena pihak kolonial Belanda hanya terbiasa dan senang menyebut Learung dengan nama Lea yang mirip dengan Bahasa Belanda yang bermakna "padang rumput yang luas".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai