Langsung ke konten utama

Silsilah Opu Ware Sawerigading Versi Toraja


Tahap I. (Generasi ke-3)
Opu Ware Sawerigading menikahi Lai' Pindakati (Puang Paarranan, di Kandora. istri pertama Sawerigading sebelum We Cudai dari Cina) Lahir = Jamallomo yang kemudian ke gunung Sinaji menikah + Battui Pattung dari Uluwai Batu Borrong lahir = La Kipadada. 

Tahap. II
La Kipadada + Anginne Babang (anak Arung Larompong Luwu, "istri pertama") lahir = 1. To Minanga ke Tabang. 2. Bulawan Busa' ke Kanna. 3. To Kalando ke Pantilang (punya nama lain). 4. La Maccella ke Sinaji. La maccella beristri + Banne Marintik (Kunyi Toraja) lahir = 1. Tau Malotong, 2. Banne Macella ke toraja ikut ibunya. Tau Malotong + Sarong Malebbi (anak To Minanga, sepupu 1 kali) lahir = Malebo Karurung beristri + Bura Wai (anak Tomakaka Walenrange Luwu) lahir = 1. Anak Bubun (tinggal di Walenrang) 2. Karra Mata ke Kanna Raja. 

Tahap III. 
Karra Mata jadi Punggawa di istana Luwu bersama To Tangdigau dari Rongkong. (dikenal dengan nama dua panglima kembar, disebut kembar karena mereka berdua kembar ilmu kesaktiaanx). Karra Mata menikah + Opu Kasembo Daeng Bua = 1. Lette Pareppae bergelar "Anak To RiajaE" , 2. Lima Pareppae. (Mata Karra meninggalkan istana dan kembali ke Kanna Raja).

Tahap IV. 
Lette Pareppae + Kanuku Bulawan (Tabang) lahir = Siman Kilo atau Tatti ri A'dok (Tang Ria'dok, sama saja) di zaman ini nama Puang mulai dipke di Kanna. Karena PTA dan 7 puang ingin membuat kawasan Tangdi Payungi LuwuE. Namun sekitar abad XIV Datu Sakeare Are Luwu meminta kembali PTA menjadi panglima di Luwu. PTA tdk menerima dan juga tidak menolak tawaran itu. Karena pesan buyutnya MATA KARRA bahwa jabatan itu telah diserahkan pada  To Tangdigau dari Rongkong sejak saat itu rumpun Rongkong adalah panglima perang di Kedatuan Luwu.. 

Namun PTA tdk ingin berstatus panglima perang tetapi Datu selalu memanggilnya sebagai Panglima (To Papbarani dengan Gelar Tallang Mataranna LuwuE). Karena PTA merasa berdarah luwu, maka dia merasa terpanggil untuk terlibat dalam perang membantu istana. PTA ikut dalam perang penaklukan Raja Pamona (Sulawesi Tengah), menkongga (Sulawesi Tenggara) dan banyak lagi. Saat perang berakhir PTA kembali ke Kanna di kaki Gunung Sinaji. Maka terjadilah hasutan adu domba dari kalangan istana, PTA terbunuh di tangan Datu Luwu. (Mati terhormat, karena badik miliknya sendiri yg digunakan menikam oleh sang Datu atas persetujuannya sendiri) hal ini dilakukan karena saat itu Datu Luwu ingin menghilangkan 7 "Kapuangan" (negeri lili) di Bastem atas hasutan orang kepercayaan Datu Luwu dengan alasan, PTA itu tidak patuh perintah Raja/Datu. Untuk menghindari perpecahan di dala istana, maka PTA rela mati demi mengakhiri tuduhan dan fitnah tersebut. Tidak lama dari tragedi tersebut Luwu di timpa musiba "Pariama" (kemarau panjang) dan akhirnya Datu Luwu merasa bersalah atas peristiwa itu.
Tahap .V
PTA meninggalkan keturunan dari istri pertama yakni. PTA + Likunna Patontongan (Balimbing Kalua') = 1. Tumbak Kadang di Kanna Raja, 2. To Sanggalissaga di Tiroan. PTA + To Makele (istri kedua) = 1. Lisu Karra ke Maindo. 2. To Ketora di Pantilang. Lisu karra + Mendatu lahir = SANGGALANGI'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai