Langsung ke konten utama

Riwayat Kerajaan Marusu Dan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan

Kabupaten Maros adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi SelatanIndonesiaIbu kota kabupaten ini terletak di Kota Maros. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.619,12 km² dan berpenduduk sebanyak 322.212 jiwa pada tahun 2011.

Sejarah dan penduduk asli

Benteng Maros pada masa Hindia Belanda
Sejarah tentang Maros senantiasa terkait dengan keberadaan manusia pra-sejarah yang ditemukan di Gua Leang-leang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung (sekitar 11 km dari Kota Maros atau 44 km dari Kota Makassar). Dari hasil penelitian, arkeolog menyebutkan bahwa gua bersejarah tersebut telah dihuni oleh manusia sejak zaman Megalitikum sekitar 3000 tahun sebelum Masehi (nyaris satu zaman dengan Nabi Nuh yang wafat 3043 tahun sebelum Masehi) yang selanjutnya turun-temurun atau beranak-pinak hingga saat ini. Sehingga, untaian sejarah tersebut menjadi "benang merah" tentang asal-muasal orang-orang Maros atau biasa disebut dengan istilah "Putera Daerah".

Kecamatan[sunting | sunting sumber]

Secara administratif, Kabupaten Maros terdiri atas 14 kecamatan dengan rincian sebagai berikut:
  1. Kecamatan Bontoa
  2. Kecamatan Maros Baru
  3. Kecamatan Lau
  4. Kecamatan Camba
  5. Kecamatan Bantimurung
  6. Kecamatan Tompobulu
  7. Kecamatan Turikale
  8. Kecamatan Tanralili
  9. Kecamatan Moncongloe
  10. Kecamatan Marusu
  11. Kecamatan Mandai
  12. Kecamatan Simbang
  13. Kecamatan Cenrana

Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dahulunya merupakan wilayah sebuah kerajaan yang cukup besar bernama Kerajaan Marusu dengan batas-batas, meliputi bagian selatan berbatasan dengan kerajaan Gowa/Tallo, bagian utara berbatasan dengan Binanga Sangkara’ (batas kerajaan Siang), bagian timur berbatasan dengan daerah pegunungan (Lebbo’ TengngaE) dan pada bagian baratnya berbatasan dengan Tallang Battanga ( Selat Makassar ).
Kerajaan Marusu hidup berdampingan dengan damai dengan kerajaan tetangga seperti Gowa, Bone, Luwu dan lain sebagainya. Keadaan berubah ketika masuknya intervensi kolonial kompeni belanda. Seiring kekalahan kerajaan Gowa/Tallo dibawah pemerintahan I mallombassi dg mattawang karaeng bonto mangngape’ Sultan Hasanuddin oleh kompeni belanda dibawah pimpinan Admiral Speelman.
Atas kekalahannya tersebut maka Raja Gowa, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani suatu perjanjian perdamaian pada tgl 18 november 1667 yg dinamakan ” Cappaya Ri Bungaya ” atau ” perjanjian bungaya “.yg terdiri atas beberapa pasal, dan salah satunya mengatakan ” bahwa semua negeri yang telah ditaklukan oleh kompeni dan sekutunya, harus menjadi tanah milik kompeni sebagai hak penaklukan “.


Oleh karena itu, kerajaan marusu yg merupakan sekutu kerajaan Gowa yang berhasil ditaklukkan oleh kerajaan bone di bawah pimpinan Arung Bakke, Arung Appanang dan Arung Bila atas nama Arung Palakka yang merupakan sekutu dari kompeni, secara otomatis ikut pula dikuasai oleh kompeni belanda.

Penguasaan itu terjadi pada awal tahun 1700, tepatnya pada masa pemerintahan Kare Yunusu Sultan Muhammad Yunus Karaeng Marusu VII. Saat itu kerajaan Marusu tidak lagi menjadi suatu kerajaan independen telah menjadi daerah jajahan kompeni Belanda dalam bentuk ” regentschap” dimana raja Marusu hanyalah merupakan raja tanpa mahkota( onttrondevorsteen)
Pengangkatan raja harus mendapat persetujuan dari pihak belanda. Selain itu , wilayah kerajaan Marusu yang cukup luas terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil, seperti : kerajaan Bontoa, Tanralili, Turikale, Simbang, Raya dan Lau’.
Melihat keadaan yg demikian, maka Kare Yunusu lalu menyerahkan tahta kepada La Mamma Daeng Marewa RiwettaE Mattinroe ri Samanggi yg merupakan keturunan dari I Maemuna Dala Marusu adik kandung dari Karaengta Barasa Sultan Muhammad Ali Raja Marusu VI ayahanda beliau yg diperisterikan oleh La Patau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Raja Bone Mattinroe ri Nagauleng.
Di masa pemerintahan La Mamma Dg. Marewa semua raja kerajaan tetangga yg baru berdiri itu membentuk suatu wadah persatuan guna mengantisipasi segala macam gangguan/intervensi dari pihak luar terutama dari pihak Belanda.


Pada awalnya, ajakan dari La Mamma Dg Marewa, ditolak karena menganggap rencana La Mamma hanya untuk menguasai kembali wilayah kerajaan Marusu yang sudah terpecah pecah itu. Namun,berkat diplomasi yg baik .akhirnya terbentuklah suatu wadah persatuan yg bernama ”TODDO LIMAYYA RI MARUSU ” (persatuan adat lima kerajaan). terdiri atas Marusu, Simbang, Bontoa, Tanralili, Turikale, dan Raya.

KERAJAAN MARUSU
Berdiri pada sekitar abad ke 15 oleh seorang raja yg diyakini sebagai seorang Tumanurung bergelar ” Karaeng Loe Ri Pakere “.
Berdasarkan lontara patturioloanna tu marusuka ,beliau ini tidak mempunyai keturunan dan nama isterinya juga tdk diketahui,namun dlm lontara tersebut menyebutkan ,bahwa beliau mempunyai seorang putri angkat yg juga merupakan seorang tumanurung bergelar tumanurunga ri pasandang.yg lalu dikawinkan dengan seoarang tumanurung dari daerah luwu bergelar” Tumanurung Ri Asa’ang dan melahirkan seorang putra yg bernama I Sangaji Ga’dong yg setelah dewasa naik tahta menjadi karaeng Marusu II menggantikan karaeng loe ri pakere.
ketika karaeng tumapa’risika kallonna raja gowa IX yg memerintah sekitar tahun 1510-1546 melakukan eksvansi perluasan wilayah menyerang dan menguasai negeri sekitarnya, kerajaan marusu pun tak luput dari serangan tersebut. Dalam serangan pertama berhasil di bendung oleh laskar kerajaan Marusu sehingga Gowa harus pulang dgn tangan hampa. Kerajaan Marusu kewalahan ketika terjadi serbuan kedua yang mana pada akhirnya terjadi traktat persahabatan antara karaeng Loe Ri Pakere raja Marusu I dgn karaeng Tumapa’risi Kallonna raja Gowa IX.
Masa pemerintahan I Mappasomba Dg. Nguraga Karaeng Patanna Langkana Tumenanga Ribuluduayya raja Marusu IV, Kerajaan Marusu mengangkat senjata melawan kerajaan gowa. Perang ini disebabkan karena berpihaknya mereka di pihak kerajaan Tallo. Peperangan ini berakhir dengan damai dan melahirkan suatu sumpah yaitu ” iya iyanamo ampasiewai gowa na tallo iyamo ricalla dewata ” artinya ” barang siapa yg memperselisihkan Gowa dan Tallo maka akan dikutuk oleh yg maha pencipta ”
1. KERAJAAN TANRALILI
Tanralili berasal dari kata ” Tenri dan Lili ” yg berarti tidak dapat ditundukkan, dikatakan demikian karena daerah ini terkenal akan wataknya yang keras dan pemberani.
Didirikan pertama kali oleh bangsawan bone bernama la mappaware dg ngirate batara tanralili bulu’ ara’na bulu yang merupakan keturunan dari La Maddaremeng Raja Bone ke-13.
2. KERAJAAN TURIKALE
Berdiri pd sekitar tahn 1700 oleh I Mappiare Dg Mangngiri putra raja Gowa/Tallo, I Mappau’rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin.
dikatakan Turikale ( orang dekat/kerabat dekat )sebab, bangswan yg pertama kali membuka derah ini adalah putra raja Gowa sendiri.
Namun pendapat kedua mengatakan bahwa penamaan Turikale karena raja yang memerintah di Turikale menjalin hubungan yang dekat dengan pihak belanda. Banyak pendapat yang menentang sejarah ini.
3. KERAJAAN SIMBANG
Dikatakan Simbang ( batas ) sebab terletak antara kerajaan Gowa dan Bone. Menurut A fachri makkasau dlm bukunya berjudul ” kerajaan kerajan di Maros dalam lintasan sejarah ” mengatakan bhwa ” simbang berasal dari kata ” sembang ” yg artinya ” menggantungkan di bahu. Hal ini berdasarkan dari riwayat karaeng Ammallia Butta yang pertama kali datang membuka daerah ini, beliau menggantungkan regelia/kalompoang yang dibawanya dari Gowa di bahunya sehingga rakyat setempat memberinya gelar karaeng Sembang yang lalu berubah bunyi menjadi ” Simbang ”
Kerajaan ini berdiri pada sekitar awal tahn 1700 oleh La Pajonjongi Petta Sanrimana Belo Karaeng Ammallia Butta Ri Marusu yang merupakan bangsawan Gowa Bone putra dari La Pareppa Tosappewali Sultan Ismail Tumenanga Ri Somba Opu.
4. KERAJAAN BONTOA
Berdiri pada tahun 1700 oleh I Mannyarrang seorang bangsawan dari daerah bangkala putra dari I pasairi dg Mangngasi Karaeng Labbua Tali Bannangna dari isterinya I Daeng Takammu Karaeng Bili’ Tangngayya putri dari I monriwagau daeng bonto karaeng lakiung tunipallangga ulaweng raja gowa X ( 1546-1565)
Muh aspar dalam artikelnya berjudul ” Riwayat Gallarang Bontoa ” menulis bahwa , daerah ini sebelumnya merupakan wilayah yg dikusai oleh karaeng marusu,sebagaimana yg diriwayatkan pleh J.A.B. Van De Broor tentang Randji silsilah regent Van bontoa ( 1928 ). Diriwayatkan I mannyarrang sebagai utusan dari raja Gowa untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Gowa sehingga, karaeng Marusu mempersilahkan I manyarrang membuka daerah baru yg mnjadi kekuasaan Gowa. namun, dalam lontara sejarah karaeng Loe Ri Pakere yang di tulis Andi Syahban Masikki, (1889) oleh W. Cumming Reppaading the histoies of Maros choronicle, tidak menempatkan Bontoa sebagai wilayah yang dikuasai Marusu.
5. KERAJAAN LAU’
Berdiri pd sekitar tahun 1800 oleh La abdul wahab pagelipue dg mamangung mattinroe ri laleng tedong putra dari La mauraga dg malliungang datu mario ri wawo, cucu dari We Tenri Leleang Sultanah Aisyah Datu Tanete Ratu/Pajung Luwu XXVI Matinroe ri Soreang. Diperisterikan oleh La malliongang datu limattinroe ru sapirie.
Wilayah kerajaan yang dikenal itu merupakan cikal bakal dari Kerajaan Marusu yang kemudian bernama Kabupaten Maros sampai saat ini. Selain nama Maros, masih terdapat nama lain daerah ini, yakni Marusu dan/atau Buttasalewangan. Ketiga nama tersebut oleh sebagian masyarakat Kabupaten Maros sangat melekat dan menjadikan sebagai lambang kebanggaan tersendiri dalam mengisi pembangunan daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai