Di Sulawesi Selatan, dalam banyak literatur, syiar Islam berawal pada abad ke-17. Era ini ditandai kedatangan tiga ulama yang diutus Sultan Johor, bagian dari Kesultanan Malaka (saat ini jadi negara bagian Malaysia). Ketiganya adalah Abdul Jawad (Datu ri’ Tiro), Abdul Makmur (Datu ri’ Bandang), dan Sulaiman (Datu ri’ Pattimang)—mereka sering disebut “tiga datu”.
Sebagaimana agama baru—tidak di Sulawesi, tidak pula di Jawa—syiar Islam mulanya ditentang. Di Gowa, tiga ulama penyiar Islam ini mengalami hambatan. Lantas menuju Luwu dan berhasil mengislamkan Datu Luwu pada 5 Februari 1605.
Leonard Andaya dalam Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (2004) menulis bahwa upaya lebih awal mengislamkan Luwu adalah “langkah tepat.” Andaya mengutip salah satu kronik Wajo yang menjelaskan apa yang disebut “kemuliaan” terdapat di Luwu, sementara “kekuasaan” ada di Makassar.
Pernyataan dalam kronik Wajo itu cukup berasalan. Di Sulawesi Selatan, Luwu dianggap sebagai kerajaan tertua, sekaligus pula tempat peradaban tua bermula. Dalam epik I La Galigo, dikisahkan sebelum dunia ini dihuni manusia, para penghuni langit (dunia atas) mengutus seorang dewa yakni Batara Guru yang menikahi seorang putri dari perritiwi (dunia bawah). Anak-anak mereka menyebar dan jadi pemimpin ke pelbagai penjuru Sulawesi Selatan.
Dari Luwu, tiga datu ini lantas menuju Tallo. Pada September tahun yang sama, Raja Tallo (I Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Tumenanga ri Bonto Biraeng) memeluk Islam, dengan gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul kemudian Raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia, yang lantas menyandang gelar Sultan Alauddin.
Proses syiar Islam ke pelbagai wilayah pun berlangsung cepat. Kerajaan-kerajaan kecil, yang jadi bawahan, dengan mudah mengikuti. Sekuel inilah yang disebut sejumlah literatur akademik sebagai awal mula masuknya Islam di Sulawesi Selatan.
Namun, ada yang mengisahkan versi berbeda.
Chalid AS, arkeolog dari Universitas Hasanuddin, mengatakan bahwa sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan bukanlah dimulai saat kedatangan trio datu. Melainkan sekira abad ke-15 saat seorang ulama Persia, bernama Sayyid Jamaluddin Husain al-Kubra, menetap dan menyebarkan Islam di wilayah Belawa, Kabupaten Wajo. Perkiraan kehadirannya antara tahun 1452. Ia meninggal pada 1453.
“Di saat inilah pengaruh Persia memasuki wilayah Sulawesi Selatan,” katanya.
Chalid meneliti ke beberapa wilayah di Sulawesi Selatan. Salah satunya menelisik bentuk makam raja, bendera kerajaan, dan syair perang. Ia menilai, beberapa arca singa dipakai sebagai bentuk nisan dan bendera. Juga sejumlah bangunan makam kerajaan menyerupai kubah dengan beberapa relif manusia menunggang kuda dan memegang pedang.
Itulah yang kemudian jadi navigasi Chalid melihat bagaimana hubungan antara Persia dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitiannya, Bentuk-bentuk Kebudayaan Persia di Sulawesi Selatan: Kajian Arkeologi Islam(2014), memaparkan bahwa Persia (kini lebih dikenal Iran)—dalam konteks paham keagamaan Islam Syiah—mulai menyebarkan ulama dan tradisi Syiah saat kerajaan Safavi (1500-1740).
Pemerintahan Safavi melakukan gerakan nasionalisasi dengan menyatukan bekas-bekas kerajaan yang tergabung dalam teritori kekuasaan Sasania (Persia). Dalam agenda ini simbol Persia kuno, seperti singa dan penggambaran kehidupan atau tradisi masyarakatnya, diserap ke dalam nilai-nilai keislaman, sekaligus meninggalkan simbol, bangunan, seni dan sastra Persia.
Dalam catatan Chalid, jejak atau peninggalan arkeologi Islam dari Persia di Sulawesi Selatan misalnya terwujud lewat bentuk kubah atau cungkup pada makam. Di Persia, ia dinamakan gondab—pada perkembangannya mirip museleum. Kubah-kubah pada masa awal disebut Gumbat-i-Qabus; makam dari Emir Shamas a-Ma’ali Qabus pada tahun 1006.
Makam berbentuk kubah di Persia dibikin untuk para raja, ulama, serta kaum cendikia seperti filsuf, sastrawan, dan ilmuwan. Dan di Sulawesi Selatan, menurut Chalid, hal sama pun dilakukan; makam-makam kubah dibuat untuk mengenang bangsawan (raja dan keluarganya), ulama, petinggi kerajaan, dan kalangan intelektual.
Selain bentuk kubah, ikon macan atau singa sebagai simbol mitologi Persia dipakai selama ribuan tahun. Simbol ini terutama berkembang semasa dinasti Safavi (1501-1722). Masa itu simbol singa di Persia identik merepresentaikan (sifat) kelaki-lakian, pahlawan, pemberani, dan prajurit. Sementara singa dalam tokoh Islam disematkan pada Ali bin Abu Thalib. Di kedatuan Luwu, bendera berlambang singa tersemat pada unit Attoriolo, yakni pemegang ritual dalam istana, bergelar Anre Guru.
Simbol yang sama juga terdapat di Kerajaan Bone. Bendera bergambar singa diyakini sebagai bendera dari prajurit perang Arung Palakka (Raja Bone). Sementara di Makassar, singa menyimbolkan sosok prajurit dengan kecakapan khusus.
Saat ini maqam Sayyid Jamaluddin Husain al-Kubra terdapat di Tosora, Kab. Wajo Sulawesi Selatan
Komentar
Posting Komentar