Langsung ke konten utama

PERTALIAN DARAH PARA RAJA DI NEGERI-NEGERI BUGIS DAN SEJARAH CINA-PAMMANA

MariasE’i Luwu, Malebbi’i Pammana, Makuasai Bone, Mawatangngi Gowa, Panritai Wajo, Macenningngi Soppeng na MapanrEi Sidenreng
By Andi Oddang To Sessungriu

Lontara Akkarungeng Luwu menguraikan, betapa pusingnya para Dewan Adat tatkala menerima utusan dari 2 Kerajaan yang bermaksud mengajukan lamaran kepada puteri Datu Luwu, yakni : We Tenriabang Datu Watu. Mereka yang menyampaikan lamaran itu adalah utusan Kerajaan Sidenreng yang menyampaikan lamaran La Toappo Arung Berru Addatuang Sidenreng XVIII dan La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana VIII.
Siapakah diantara kedua Raja yang sesungguhnya sesame berdarah Pammana itu yang diterima lamarannya ?.
Maka menghadaplah Opu Patunru’ kepada Datu Luwu We Tenri Leleang, yakni ibunda Puteri We Tenriabang.
“ KEgaEna ritangke’, kEgaEtona risampEang, Opukku ?”
(Yang mana kiranya diterima dan yang mana pula ditolak, Tuanku ?).
Menjawablah Sang Ratu : “Namoni mallipa’ karoro, rEkko To Pammana, tangke’i maElE”
(walau andai mengenakan sarung berbahan karung, jikalau ia orang Pammana, terimalah ia secepatnya).
Jawaban dari Datu Luwu XXIV/XXVI itulah yang kemudian sangat terkenal sesudahnya hingga dikenal luas diseluruh pelosok negeri di Sulawesi Selatan sampai kini. Suatu penghargaan tertinggi bagi orang-orang Pammana sehingga dituliskanlah suatu ungkapan oleh Pallontara’ pada abad - 19, bahwa :
MariasE’i Luwu, Malebbi’i Pammana, Makuasai Bone, Mawatangngi Gowa, Panritai Wajo, Macenningngi Soppeng na MapanrEi Sidenreng (Ditinggikanlah Luwu, Dimuliakan Pammana, Berkuasalah Bone, Kuatlah Gowa, Cendekiawan di Wajo, Disayangilah Soppeng dan Keahlian di Sidenreng).
Pammana sesungguhnya hanyalah merupakan suatu Kerajaan Kecil dalam wilayah Kerajaan Wajo sejak abad – 15. Namun demikian, kerajaan kecil ini amatlah dimuliakan sebagai kerabat terdekat Tana Luwu sehingga penamaan Istananya sama-sama menggunakan istilah ; Langkana. Hingga pada hari ini, bekas kerajaan terbesar setelah Luwu pada era I La Galigo ini masih terdapat suatu kampung bernama “AllangkanangngE” yang berada dalam wilayah Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo. Mengapa bisa demikian?.
Jawabnya adalah karena pengaruh Sure’ I La Galigo.
Sama halnya dengan Tana Luwu, Pammana yang dulunya bernama Cina (Cinna?) ini adalah negeri kedua Sawerigading dan keturunannya. Tatkala Sawerigading mempersunting We Cudai’ Daeng Risompa Punnabolae ri Latanete serta kemudian sebagai pertuanan Cina, terbentuklah suatu keluarga besar yang membaurkan turunan Luwu dan Cina. Keluarga besar itu terdiri dari saudara-saudara We Cudai beserta anak menantunya yang merupakan para raja dan ratu dalam wilayah Kerajaan Cina, antara lain disebutkan gelar lengkapnya dalam I La Galigo, sebagai berikut:
  1. We Cudai’ Daeng Risompa PunnabolaE ri LATANETE (isteri Sawerigading dan puteri La Sattumpogi’ Datu Cina. LatanEtE kini adalah suatu kampung dalam wilayah Kecamatan Pammana, Kab. Wajo),
  2. We Tenri dio Bissulolo Batari Bissu Punna Langkana Manurung ri Sabanglowa (puteri Sawerigading dengan We Cudai’),
  3. La Tenri dolo PajumpongaE Datunna SOPPENGRIAJA (suami We Tenridio),
  4. We Tenri Balobo PunnabolaE ri TAKKALALLA (puteri Sawerigading dan We Cudai’. Takkallalla kini adalah suatu desa di kecamatan Marioriwawo dalam wilayah Kab. Soppeng),
  5. La Tenri Pale’ To Tappubello Opu Malolo To LAMURU (suami We Tenribalobo. Lamuru kini adalah suatu kecamatan dalam wilayah Kab. Bone dan merupakan perbatasan dengan Kab. Soppeng),
  6. We Tenri Gangka Dettialamming PawawoiE Datunna TEMPE (kemenakan We Cudai’ yang diperisteri oleh La Galigo. Tempe kini adalah suatu kecamatan dalam wilayah Kab. Wajo dan terletak hanya beberapa kilometer sebelah utara Pammana),
  7. We Tenri JEkka Datunna TEMPE (ibu We Tenrigangka),
  8. La Tenri Pada To Tenrigangka PunnalipuE ri WAGE (ayah We Tenrigangka. WagE kini adalah suatu desa dalam wilayah Kecamatan Pammana, Kab. Wajo),
  9. La Tenri Ranreng PanrEpatangnga To LAGOSI (saudara laki-laki We Cudai’. Lagosi kini adalah suatu kampung dalam wilayah Kecamatan Pammana, Kab. Wajo),
  10. We Tenri Esa’ Massaolocci ri CINA RILAU (saudara perempuan We Cudai’. Cina Rilau’ kini disebut sebagai Cina, suatu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bone),
  11. La Pababbari To KAMPIRI ( kemenakan We Cudai’. Kampiri kini adalah Ibukota Kecamatan Pammana, Kab. Wajo),
  12. La Tenri Lutung Opu BARINGENG (kemenakan We Cudai’. Baringeng kini adalah suatu kecamatan dalam wilayah Kab. Soppeng yang tidak seberapa jauh jaraknya dari Pammana),
  13. La Maddanaca To CENRANA (kemenakan We Cudai’. Cenrana kini adalah termasuk dalam wilayah Kab. Bone yang bisa ditempuh dengan naik perahu sampan menyusuri sungai Cenrana dari Pammana),
  14. DaEng SiuttE To MAJANG (kemenakan We Cudai’. Majang kini adalah termasuk dalam wilayah Kab. Bone),
  15. Dan lainnya…
Mencermati nama-nama tokoh utama Kerajaan Cina beserta wilayah kekuasaannya dalam epos I La Galigo diatas, sungguh mengherankan ketika ada sebagian kalangan yang “bersikeras” berpendapat bahwa TANA CINA yang dimaksudkan itu terletak di daratan TIONGKOK. Hanya karena “Cina” adalah nama lain dari Tiongkok pada masa kini, sehingga MENGABAIKAN FAKTA bahwa Latanete, Lagosi, Tempe, Wage dan Kampiri adalah nama-nama kampung yang masih berada dalam wilayah Kecamatan Pammana sampai sekarang. Mungkinkah nama-nama wilayah yang TIDAK TERPISAHKAN dengan CINA dalam epos I La Galigo itu KINI adanya di Tiongkok sana ?.
Khususnya untuk Kerajaan Luwu yang memiliki perhubungan “tak terputuskan” dengan Cina setelah periode I La Galigo, bahkan pernah dipimpin 1 (satu) Datu yang sama, yaitu : Simpurusiang. Lontara Akkarungeng Luwu (hal. 40) menguraikan dengan jelas, sebagai berikut:
“Simpurusiyang; Asenna ana’na Sawerigading nangurusi I We Codai’ Daeng Risompa // Yina ripanurung ri Luwu // Naripatomporengna sapposisengna ri Ware’ riyasengngE We Patiyanjala // Ana’na We TenriabEng DaEng Manutte’ // NangurusiE Remmangrilangi Ri Coppo’mEru // Ripatompotoi Simpurusiyang ri Talettu’ // Napoasengni Tompo’E ri Talettu’ Pangarai ri Cina // Naparampaki panni ri Timurung // NapobainEi riyasengngE We DalakumaE // Nayi dEnrE Simpurusiyang manurungna ri Luwu // Naripatomporeng tona sapposisengna ri Watampare’ riyasengngE We Patiyanjala // Nalaona Simpurusiyang pobainEi sapposisengna // Najajiang ana’ orowanE riyaseng Anakaji “
(Simpurusiyang; Nama putera Sawerigading dengan I We Codai’ Daeng Risompa // Dia inilah yang diturunkan di Luwu // Maka dimunculkanlah sepupu sekalinya di Ware’ yang bernama We Patiyanjala // Puteri dari We TenriabEng Daeng Manutte’ // Dari suaminya bernama Remmangrilangi ri Coppo’mEru // Serta telah dimunculkan pulalah Simpurusiyang di Talettu’ // Maka digelarilah ia sebagai Yang Diturunkan di Talettu’ yang terletak di Cina // Serta Timurung yang berada dibawah sayapnya pula // Kemudian memperisterikan yang bernama We DalakumaE // Kemudian setelah Simpurusiyang diturunkan kemudian di Luwu // Hingga dimunculkan sepupu sekalinya di Watampare’ yakni yang bernama We Patiyanjala itu // Maka berangkatlah Simpurusiyang menikahi sepupu sekalinya itu // Hingga melahirkan putera bernama Anakaji).
Bahwa selain menjadi Datu Luwu, “To Manurung” yang merupakan ikon periode Lontara ini pula menjadi Datu Cina serta Datu Timurung, yakni suatu wilayah yang “bertetangga” dengan Pammana kini. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa “Cina” yang dimaksud dalam Epos I La Galigo adalah “Pammana”. Adalah suatu hal yang mustahil seorang KAISAR CINA (TIONGKOK) bisa merangkap DATU LUWU dan DATU TIMURUNG dalam waktu yang sama pada masa itu. Sekiranya tetap saja memaksakan pendapat bahwa Cina dalam Epos I La Galigo adalah Tiongkok adanya, maka sama saja “memustahilkan” Lontara Akkarungeng satu-satunya di Kedatuan Luwu. Maka jadilah Kedatuan Luwu menjadi satu-satunya kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak memiliki Lontara Akkarungeng.
Hingga kemudian dipertanyakan pula, bagaimana sehingga Kerajaan Cina berganti nama menjadi “Pammana?”. Tatkala Kerajaan Bone terlahir disebelah timur Kerajaan Cina pada kisaran Abad 14, maka CINA RILAU yang meliputi MALLIMONGAN, PATTIRO, LATIMOJONG, MANCAPA’E (Mancapai’) dan WELENRENG dicaplok menjadi wilayah kerajaan yang mulai maju pesat itu. Demikian pula disebelah barat dan selatan, SOPPENG RIAJA dan SOPPENG RILAU menyatukan diri menjadi 1 Kerajaan Soppeng. Maka wilayah-wilayah bawahan (Lili Akkarungeng) Kerajaan Cina seperti Soppeng riaja, Mario, Baringeng dan lainnya terlepas pula. Sementara itu Kerajaan Wajo mulai bangkit pula dengan lambat namun pasti akan menjadi ancaman terdekat bagi Kerajaan Cina. Tinggallah CINA RIAJA yang meliputi beberapa lili, antara lain: KAMPIRI, WAGE, TEMPE, LAGOSI, LIU, TIMURUNG, LATANETE, UGI dan beberapa lagi yang lainnya semakin lemah dari waktu ke waktu, dibawah kepemimpinan Rajanya yang mandul, yaitu: La Sangaji To Aji Pammana Datu Cina XXII.

AWAL MULA KEDATUAN CINA BERGANTI MENJADI KEDATUAN PAMMANA
Sehubungan dengan ini, Lontara Akkarungeng Luwu (hal. 115), menguraikan sebagai berikut :
“Nayi riwettu madodongna Puwatta DatuE ri Cina // Taniya upomabusung // RiyasengngE La Sangaji To Aji PAMMANA // Pattellarengna // Napasipulungni To CinaE napasengngi makkedaE // Yi kupasengekko iko To CinaE // Madodongna’E // NarEkko matEya’ baja sangadi // Asekku muwasengengngi Tanata // Podo iyatosa kuwala passompu tiniyo // Rimunrikku // ..”
(Tatkala pertuanan kita DatuE ri Cina sedang gering // Semogalah kiranya tidak menjadikanku kualat // Yakni ia yang bernama La Sangaji To Aji PAMMANA // Yaitu gelarannya // Dikumpulkannya segenap rakyat Cina lalu diwasiatkannya // Adapun wasiatku terhadap kalian wahai Rakyat Cina // Aku kini sedang gering // Sekiranya aku wafat besok ataupun lusa // Namakulah yang kalian namakan pada negeri kita ini // Semoga itulah yang kujadikan sebagai penyambung kenangan atas diriku // Dibelakang hari // ..)
Setelah beliau wafat, maka Kerajaan CINA berganti nama menjadi PAMMANA demi memenuhi wasiat akhir Raja Cina XXII tersebut. Selanjutnya dinobatkanlah kemenakan beliau, yaitu: We Tenri Lallo Arung Liu selaku Datu Pammana I.
Peristiwa perubahan nama Kerajaan Cina menjadi Kerajaan Pammana dicatat dan diuraikan banyak Lontara, termasuk Lontara Akkarungeng Luwu sendiri. Antara lain yang pernah dibaca dengan seksama oleh Prof. Mr. H. Andi Zainal Abidin ( 1985;15-25), sebagai berikut:
  1. Mak 115, nomor baru : 69, berisi Sejarah Singkat Pammana (h. 18 – 19),
  2. Mak 273 setebal 603 halaman, salinan Lontara H. Andi Makkaraka Paddanreng Bettempola, memuat antara lain asal mula Negeri Cina, perubahan nama Cina menjadi Pammana dan susunan Datu Cina I hingga Datu Pammana terakhir,
  3. Lontara Sukkuna Wajo milik H. Andi Makkaraka Paddanreng Bettempola setebal 698 halaman, memuat antara lain : Susunan nama dan cerita singkat Datu Cina, dimulai dari La Sattumpogi’ sampai La Sangaji Laji’ Pammana, kemudian Datu Pammana I We Tenri Lallo Arung Liu sampai La Cincing Akil Ali KaraEng MangEppE Datu Pammana XIV (h. 3 – 9). Pada bagian lainnya menguraikan kembali riwayat pembentukan Negeri Cina oleh La Sattumpogi’ sampai habisnya Raja-Raja yang disebut dalam buku Galigo ; Masyarakat kacau balau dan munculnya Tomanurung di Tampangeng bernama Simpurusiang yang menjadi Datu Cina (h. 19 – 23), Diriwayatkan lagi pembentukan negeri Cina oleh La Sattumposi’, susunan Datu Cina mulai dari Simpurusiang sampai Datu Pammana terakhir Andi Pallawarukka (h. 589 – 597),
  4. Lontara Paliheng di Sinjai (LP-II), terdiri dari 161 halaman. Menguraikan antara lain ; Kisah Datu Cina terakhir Laji’pammana dan perjanjian We Tenrilallo Datu Pammana I dengan orang-orang Pammana (h. 4-6), Cerita tentang anak-anak We Tenrilallo Datu Pammana I yang kawin di Ujung LohE dan Gantarang KEkE (h. 23 – 34),
  5. Lontara Hj. Andi Ninnong Paddanreng Tuwa Wajo (LHAN) yang terdiri dari 221 halaman, antara lain menguraikan : Riwayat La Mallala’E Datu Pammana (h. 179-181)) dan Susunan Datu Pammana (182),
  6. Lontara H. Andi Sumange’rukka Datu Pattojo (LHAS) terdiri dari 407 halaman, memuat antara lain ; Sejarah Kerajaan Cina yang berubah menjadi Kerajaan Pammana (h. 139-150).
Semua Lontara diatas meriwayatkan perihal perubahan nama kerajaan Cina menjadi Pammana. Maka sekali lagi, sekiranya Kerajaan Cina yang dimaksudkan dalam I La Galigo adalah Tiongkok, maka semua kumpulan Lontara diatas adalah salah semua. Bagaimana mungkin HANYA dengan asumsi nama "CINA" beserta nama Sattumpogi dan Cudai yang "terdengar" agak mirip Tionghoa bisa "menimbun" semua fakta itu ?.
Jikalau benar CINA versi I La Galigo itu adalah Tiongkok adanya, bagaimana mungkin Bangsa Terbesar Di Dunia itu tidak mencatatkan nama Sawerigading sebagai salahsatu "Kaisar" mereka ?.
Bukankah CINA telah ditaklukkan oleh beliau ?.
Pada suatu ketika seorang sahabat yang berasumsi bahwa Kerajaan Cina dalam I La Galigo memang Tiongkok adanya bertanya : Jika Kerajaan Cina itu ternyata adalah di Bone dan Pammana adanya, lalu bagaimana mungkin Sawerigading melayarinya sampai 30 hari dari Luwu ?.
Bahkan pula sampai melewati Maloku (Maluku), Buton, Wadeng (Gorontalo) dan kepulauan lainnya ?.
Bukankah Bone dan Pammana adalah daratan yang sama dan tidak terlalu jauh diseblah selatan Luwu ?.
Maka jawabnya, adalah : Sawerigading tidak memiliki Peta Pulau Sulawesi. Beliau tidak tahu pula bahwa ternyata Cina Rilau’ dan Cina Riaja itu ternyata berada pada Pulau yang sama dengan Luwu. Maka berlayarlah beliau kemana-mana keseberang laut yang jauh disana dengan dipandu rasi bintang, hingga berbelok kembali menuju Bone dan Wajo. Ibaratnya saya yang saat ini di Pelabuhan Parepare hendak berlayar ke Pelabuhan Makassar. Namun saya tidak memiliki peta dan kompas. Lalu mengikuti pengalaman “hanyut” beberapa waktu yang lalu hingga “kebetulan” sampai di Makassar. Maka saya berlayar dulu ke Majene, menyisir hingga Mamuju, kemudian memotong ke Samarinda, terus menuju ke banjarmasin, hingga kemudian menyeberang Surabaya, menyisir terus ke Semarang, lalu menyeberang ke Makassar. Jika menggunakan perahu layar, agaknya saya harus menempuh waktu selama ± 60 hari.
Adapula yang konon pernah “melihat” sosok We Cudai’ secara gaib. Maka dideskripsikanlah We Cudai (Daeng Risompa) sebagai WANITA TIONGHOA yang mungil, cantik berkulit halus nan bermata sipit. Kemudian dilihatnya pula We Tenri Abeng Daeng Manutte’ sebagai wanita pribumi yang anggun. Suatu asumsi penglihatan yang pada akhirnya KELUAR dari konteks I La Galigo. Bahwa Sawerigading pada akhirnya “luluh” oleh bujukan We Tenri Abeng, tatkala dikatakannya : “Menurutlah wahai kanda Dukkelleng. Berangkatlah ke Cina, temuilah We Cudai’ puteri La Sattumpogi’ Datunna Cina. Ia itu adalah satu indung telur dengan penciptaanku (SEddi ulawu uwadduai). Parasnya persis dengan parasku. Potongan tubuh yang persis denganku. Bahkan rambut kamipun sama panjangnya. Ambillah selembar rambutku ini. Bandingkan dengan panjang rambutnya. Jikalau tidak sama panjang, kembalilah ke Luwu lalu nikahilah aku. Ambil pulalah hiasan kuku ini. Masukkan di jarinya. Jika tidak cocok dijemarinya, kembalilah ke Luwu untuk menikah denganku..”.
Jikalau We Cudai adalah Wanita Tionghoa, bagaimana mungkin berwajah kembar dengan We Tenri Abeng yang peranakan Luwu dan Tompotikka itu ?. Kalaulah memang leluhur kita We Cudai’ adalah puteri Kaisar Tiongkok, bagaimana mungkin kita tidak mewarisi technology maju dari Bangsa Berperadaban Tinggi itu sejak dulu ?. Andai Sawerigading benar dari Tiongkok, semestinya aksara penulisan Lontara I La Galigo tidak menggunakan huruf Lontara yang tanpa huruf mati ini. Bahkan jika andai demikian, semestinya TIDAK ADA LAGI penulisan kronik pada Daun Lontar yang “primitive”. Bangsa Tiongkok bernama “Tsai Lun” telah menemukan KERTAS jauh sebelum Sawerigading lahir. Jika Puetta We Cudai' adalah benar leluhur kita dari Tiongkok, semestinya pula leluhur kita yang menjadi keturunan setelahnya tidak lagi membangun rumah kayu yang sangat sederhana. Bukankah kita berasal dari Negeri yang membangun Tembok Besar itu ?.

Malilu Sipakainge’, Ejaji mainge’ laloki’ bEla.
Wallahualam Bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai