Langsung ke konten utama

Soerastri Karma Trimurti Menteri Wanita Pertama Indonesia

Soerastri Karma Trimurti Meredup dan Padam
Sungguh sangat kontras keadaan dan perhatian publik merespon kepergian SK Trimurti kala itu. Ketika ada selentingan bahwa wafatnya tak mendapat simpati dari para pejabat negara, maka sehari setelahnya berbondong-bondonglah pejabat-pejabat tinggi pemerintahan negara tercinta kita ini melayatnya. Bandingkan dengan suasana baik di rumah duka maupun lokasi pemakaman Bang Ali Sadikin, yang hiruk pikuk dan bersliweran pejabat tingkat tinggi, artis, dan orang-orang yang masih mengharap mendapat keuntungan dari melayat beliau, meskipun orangnya sudah tiada.

Soerastri Karma Trimurti, atau lebih dikenal dengan SK Trimurti, siapakah dia? Sedikit yang masih mengingatnya, apalagi mengetahui sosok dan sepak terjang kehidupannya. Di era generasi kelahiran 80-an seperti saya ini pun baru beberapa tahun terakhir saya mengenal nama beliau. Itu pun dari ketertarikan saya membaca beberapa buku dan jurnal tentang perempuan. Bukan dari buku pelajaran dan sejarah milik sekolah. Nama SK Trimurti tak pernah saya baca tertulis di buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) atau PPKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Situasi yang sebenarnya sungguh memprihatinkan.
SK Trimurti adalah menteri perempuan pertama di negara kita ini. Beliau pernah menjabat Menteri Perburuhan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada awal kemerdekaan. Kecintaannya pada bangsa tidak hanya sebatas menduduki posisi penting di kancah politik negara kita. Wanita hebat ini juga adalah wartawan tiga jaman. Yang dengan ketajaman kata-kata penanya sempat mengirimnya ke dalam penjara selama kurang lebih empat tahun. Tapi ini tak menghalanginya tetap menjalankan kodrat sebagai perempuan dan ibu. Beliau melahirkan dan menyusui anaknya dalam kungkungan jeruji besi. Situasi seperti ini tak pernah membuat ibu hebat ini kapok menulis, karena baginya menulis adalah satu-satunya alat perjuangan pada masa itu.
Perempuan kelahiran Surakarta 11 Mei 1912 ini bukan hanya dikenal sebagai jurnalis. Ia juga terlibat perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah istri dari Sayuti Melik, juru ketik teks Proklamasi Kemerdekaan RI. Meski tubuhnya kecil mungil, tapi dia mempunyai sifat yang sangat keras. Sampai-sampai tidak peduli ketika didiamkan Presiden Soekarno hanya karena SK Trimurti berani memprotes ketidak-sukaannya pada perilaku poligami. Rupa-rupanya Bung Karno tidak terima meski diprotes secara halus.
SK Trimurti telah memberikan contoh yang sangat patut diikuti oleh perempuan bangsa. Kemauan dan kerja kerasnya hanya ditujukan untuk tegak dan berdaulatnya Bangsa Indonesia yang ia cintai. Sayang, kecintaannya yang mendalam terhadap bangsanya hanya bertepuk sebelah tangan. Habis manis sepah dibuang. Pepatah khas yang sangat enak diucapkan bagi para opportunis yang lupa akan derita dan perjuangan sejarah. SK Trimurti meninggal pada kesederhanaan senjanya, 20 Mei 2008, pada usia 96 tahun karena pecahnya pembuluh darah, di RSPAD Gatot Subroto. Biaya rumah sakitnya ditanggung pemerintah. Jasa dan pengabdian seumur hidup yang hanya ditukar dengan pembiayaan rumah sakit. Beliau meninggal dalam kesederhanaan suasana dan simpati. Dalam senjanya yang meluruh mencari kehangatan empati dari Sang Khalik. Selamat jalan ibu…. Sekarang engkau tak perlu lagi bergumam, “kok ndak ada yang nengok aku ya…?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai