Langsung ke konten utama

Misteri Pembunuhan Istri dan Anak Puangta La Padassajati To Appeware Sultan Sulaeman Petta ri JalloE Raja Bone XVIII

Tragedi Wellulang (Wilayah Luwu) Tahun 1728 M.

Peristiwa pembunuhan istri dan anak puangta La Padassajati Toappeware Sri Sultan Sulaiman Arumpone ke-18 (1715-1720) dan Datu Soppeng (1714-1720 dan 1724-1728). Dalam catatan Donald Tick dlm the special acknoledge....geneacology....disebutkan bahwa kedua istri dan anak-anak puatta dibunuh di Wellulang pada tahun 1728 atas perintah saudarinya (...?...) (Was killed by order her sister). Merujuk pada tahun peristiwa pembunuhan tersebut kurang lebih sama dengan tahun berakhirnya jabatan puatta sebagai datu soppeng yg kedua kalinya.
Kedua istri Puangta, yaitu:

  1. Sitti Zainab, lahir 2 Agustus 1693 M. anak dari La Pakkampi Daeng Mangewa Arung Matowa Tanete dari istrinya yang bernama Daeng Mattini Karaeng Bontorambu Bin Abdul Hamid Karaeng Karunrung
  2. Sitti Nafisah Karaeng Tabaringan (wilayah Tabaringan saat ini terletak disekitar jl. YOS. Soedarso, jl. cakalang, jl. Tinumbu, jl. Koptu. Harun dan disekitar wilayah gusung jl. sabutung), lahir pada tanggal 8 februari 1706, anak dari I Mappaurangi Karaeng Kanjilo Sultan Sirajuddin.

Melihat dari kedua istri beliau dapat disimpulkan, bahwa anak-anak La Padassaji adalah anak sengngeng/mattola perpaduan Bone-Gowa yang berpotensi untuk naik tahta.
Adapun nama anak-anak beliau, antara lain:

  1. I Matta Abdurrahman Mattawang (1709-1728)
  2. I Malliembasang Sitti Rahima (1711-1728)
  3. Muhammad Yusuf (1713-1728)
  4. I Mappasonri Majang (1715-1728)

Pertanyaannya:

  1. Apakah yang melatarbelakangi peristiwa tersebut?
  2. Bagaimanakah dinamika politik di Zaman tersebut sehingga berdampak pada tragedi pembantaian keluarga beliau?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai