Islam mengatur kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan agar manusia didalam kehidupannya dapat menjalin hubungan yang baik dengan manusia lain yang ada disekitarnya sekaligus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, ternyata didalam penyebarannya, masih banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui oleh para pendakwah, utamanya Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw bahkan diancam akan dibunuh. Nabi didalam dakwahnya pernah dilempari batu sampai keningnya berdarah. Bukan hanya itu, ternyata pada perang Uhud, Nabi sampai terkepung, sampai sampai gigi Nabi-pun tanggal akibat pukulan dari salah satu kaum kafir Qurays. Hal ini dikarenakan masih banyak manusia di saat itu masih bodoh, sehingga mereka lebih cenderung melawan ketimbang rasa ingin tahu mereka terhadap Islam.
Meskipun mendapat tantangan, ternyata Islam-pun mampu
melebarkan sayapnya sampai ke berbagai penjuru, termasuk Nusantara. Penyebaran Islam di Nusantara ternyata berbeda dengan penyebaran Islam di Jazirah Arab. Penyebaran Islam di Jazirah Arab identik dengan peperangan dan penaklukan, sementara penyebaran Islam di Nusantara berawal dari perdagangan orang-orang Arab dengan Cina. Orang-orang Arab yang akan ke Cina tentunya harus singgah di Malaka sebelum mereka Cina. Malaka pada saat itu terkenal sebagai pusat perdagangan yang ada di Nusantara.
Meskipun Malaka merupakan pusat perdagangan, akan tetapi pusat rempahrempah berada di Maluku. Hubungan Maluku dan Malaka pada saat itu sudah terjalin, sehingga banyak pedagang yang datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Oleh karena itu tentunya para pedagang yang ingin ke Maluku seharusnya singgah terlebih dahulu di wilayah kerajaan Makassar sebagai tempat pelabuhan transito antara Malaka dan Maluku.
Selain mereka datang ke Maluku, sebetulnya merekapun menyebarkan agama Islam. Maka Islampun tersebar ke berbagai penjuru Nusantara seraya tersebarnya para pedagang Muslim yang ada Nusantara. Bahkan para pedagang Muslim ada yang menetap di wilayah Nusantara oelh karena mereka menikah dengan orang pribumi.
Sebagai Bandar transito, tentunya para pedagang Muslim tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bedagang, akan tetapi merekapun menyebarkan agama Islam. Yang mula-mula mereka lakukan adalah mendakwai para penguasa pada saat itu. Oleh karena para penguasa tertarik dengan agama baru tersebut, akhirnya masuklah I Mangerangngi Daeng Manrabia sebagai raja pertama masuk Islam dengan gelarnya Sultan Alauddin serta raja Tallo, I Mallingkai Daeng Nyonri dengan gelarnya Sultan Abdullah Awalul Islam.
Namun demikian, Islam yang ada di Kerajaan Makassar belum terlalu dipahami, oleh karena terfokusya para Muballigh dalam mengusir penjajah yang telah datang pada saat itu. Namun demikian, dakwah sebetulnya masih berjalan, akan tetapi tidak terlalu intensif. Salah satu Muballigh terkenal di Sulawesi Selatan, bahkan sampai Ke Banten dan Afrika Selatan adalah Syekh Yusuf. Syekh Yusuf merupakan muballigh asli dari Sulawesi Selatan. Akan tetapi karena beliau merasa banyak mendapatkan tantangan di Sulawesi Selatan, utamanya di Kerajaan Makassar, maka beliau pun pindah ke Banten. Di Banten, beliupun menyebarkan agama Islam. Bahkan beliau menjadi kerabat Raja Banten. Namun karena beliau dianggap berbahaya oleh Belanda, maka iapun diasingkan Ke Afrika Selatan dan akhirnya beliupun wafat di sana.
BIOGRAFI SYEKH YUSUF AL-MAKASSARY
A. Kelahiran
Yusuf (nama kecil Syaikh Yusuf) lahir di Makassar pada tahun 1626 M. Lontarak Syekh Yusuf[1] menceritakan bahwa Yusuf lahir di Istana Tallo pada 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dari Puteri Gallarang Moncongloe di bawah pengawasan raja Gowa. Menurut Da Costa dan Davis,[2] orang tua Syekh Yusuf termasuk kaum bangsawan. Ibunya memiliki hubungan darah dengan raja-raja Gowa, sedangkan ayahnya masih kerabat Sultan Alauddin. Gelar “syekh” diperoleh dari seorang mursyid tarekat yang membimbingnya, sesuai dengan tradisi ahli tasawwuf.[3]
Syekh Yusuf al-Makassary adalah buah perkawinan Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawi dengan I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung, putri pasangan Daenta Daeng Leyo’ dengan I Kerana Daeng Singara. Daenta Daeng Leyo’ yang nama lengkapya I Hama (Ahmad) Daeng Leyo’ adalah salah seorang pejabat Bate Salapang dalam kedudukannya sebagai Daenta Gallarrang Moncong Lowe yang juga merangkap sebagai pejabat Kare Bira Ke IV.[4]
I Tubiani Daeng Kunjung dipersunting oleh Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawy atas bantuan Dampang Ko’mara (Suatu jabatan pemerintahan setingkat Gallarrang di Gowa). Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawy sendiri konon bersahabat dengan Hatib Abdul Makmur Dato’ ri Bandang, disamping itu dikenal pula sebagai seorang sufi.[5]
Yusuf kecil dipelihara dan dibesarkan di lingkungan istana bersama Sitti Daeng Nisanga putri raja Gowa, dan bersama pula diajari mengaji beserta ilmu tajwid oleh Daenta Sammeng, seorang perempuan salehah dan luas ilmunya.[6]
Dalam Tuhfat al-Mursalah, karya Syekh Yusuf, tertulis nama al-Syekh Yusuf al-Taj Abu al-Harkani al-Majalawi. Nama ini menunjukkan seorang waliyullah yang mengetahui asal-usulnya, yaitu keturunan bangsawan Lili negeri Majalawi Makassar. Dalam al-Naba fi I’rab La Ilaah illallah, tertulis nama al-Syekh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al-Makassari, yang menunjukkah bahwa dia adalah wali sufi dari tanah Jawi dan Makassar.[7] Gelar “Syekh” diperoleh menurut tradisi tasawwuf setelah ia mendapat izin dari gurunya di Damaskus yang bernama al-Syekh Abu al-Barokah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalawaty al-Quraisy, karena Syekh Yusuf memiliki kemampuan dan penguasaan dalam tarekat. [8]
Syekh Yusuf al-Makassary belajar bahasa Arab, ilmu Fiqh, dan ilmu-ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan. Pondok ini diasuh oleh Syekh Sayyid Ba’ Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir sejak 1634, seorang Arab Qurais dari Makkah yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin. [9]
Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary, kemudian melanjutkan belajar ilmu hakiki pada dua orang ulama salaf pada waktu itu, yaitu: Lo’mok ri Antang, dan Dato’ ri Panggentungang yang bernama Sri Naradireja bin Abdul Makmur, putra Dato’ ri Bandang yang bertujuan untuk mencari ayahandanya di Makassar, akan tetapi sang ayah telah wafat. Oleh raja, beliau dibujuk agar dapat menetap dan melanjutkan da’wah islamiyah yang dilakukan oleh ayahnya kala hidupnya.[10]
Di Makassar Syekh Yusuf sejak kecil dibiasakan hidup menurut norm-norma agama. Kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Islam ketika itu, termasuk Gowa dan Tallo misalnya kewajiban belajar al-Qur’an sampai khatam. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran bahasa Arab, tauhid, Fiqh dan lain-lain.[11] Tradisi itu juga dijalani oleh Syekh Yusuf. Gurunya, I Daeng ri Tasammeng, melihat minat Syekh Yusuf pada ilmu tasawwuf, sehingga ia meminta Syekh Yusuf untuk mendalam ilmu tasawwuf di luar Makassar.[12]
Keinginan Syekh Yusuf al-Makassary untuk menimba ilmu disambut baik oleh semua kalangan dengan harapan agar kelak butta Mangkasara’ memilki seorang figur ilmu Islam yang cendekia dan handal.[13]
Saat sang guru menganggap pelajaran telah selesai, Syekh Yusuf diberi pesan untuk melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Makkah. Kebetulan pada saat itu kerajaan Gowa yang sedang berkembang membutuhkan seorang ulama yang mumpuni. Oleh karena itu beberapa pembesar kerajaan menganjurkan Syekh Yusuf untuk memperdalam ilmu ke negeri lain. Saat itu Syekh Yusuf berusia 18 tahun.[14]
Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Syekh Yusuf al-Makassary mempersunting Sitti Daeng Nisanga seperti pemberitaan Ince Nuruddin Daeng Magassing dalam karyanya berjudul Riwaya’na Tuanta Salamaka Syekhu Yusufu, th. 1933, namun tak ada tarikh yang menunjukkan kejadiannya.[15]
B. Jejak Perjalanan Syekh Yusuf dalam menuntut ilmu
a) Banten
Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Makassar dengan menumpang kapal Portugis yang bertolak di Galesong pada malam kamis, tanggal 20 Oktober 1644 Masehi bertepatan dengan tanggal 18 Saban 1054 Hijriyah sesuai penanggalan Lontara Bilang Gowa-Tallo, pada masa pemerintahan raja Gowa I Mannuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid.[16]
Syekh Yusuf tiba di Banten pada masa Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651.[17] Semangat merantau dan menuntut ilmu ini sepertinya dipengaruhi oleh hubungan antara Makassar dan Banten-Aceh, sebagai kerajaan-kerajaan Islam, yang sama-sama berjuang menghadapi Portugis-Belanda.[18]
Setelah menuntut ilmu, Syekh Yusuf pulang ke Banten dan menjadi ulama yang berpengaruh. Pada tahun 1660 M, Syekh Yusuf memimpin perang dan berkali-kali berhasil melumpuhkan musuh, baik melalui strategi kekuatan laut (melalui pelaut-pelaut ulung Banten) maupun kekuatan darat (pasukan gerilya yang berani mati).[19] Dibanten, Syekh Yusuf diterima dengan baik oleh Sultan Abdul Qadir. Selain menjadi ulama, Syekh Yusuf juga menjadi kerabat Kesultanan Banten.[20]
b) Aceh
Syekh Yusuf tiba di Aceh pada masa pemerintahan Sultan Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), putra Sultan Iskandar Muda. Di Aceh Syekh Yusuf menemui seorang ulama terkemuka yang menjadi mufti kerajaan, yaitu al-Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari al-Raniri, Syekh Yusuf belajar tasawwuf dan tarekat dan memperoleh ijazah dam Tarekat Qadiriyah.[21] Menurut Lubis, Syekh Yusuf belajar kepada ar-Raniri bukan hanya di bidang agama saja, melainkan juga filsafat kenegaraan. Ar-Raniri adalah pengarang kitab terkenal Bustan al-Salatin (taman raja-raja), yaitu kitab yang mengulas tentang sistem pemerintahan Islam.[22]
c) Yaman, Hijaz, Syiria, dan Turki
Syekh al-Haj Yusuf al-Makassary meninggalkan Aceh menuju Yaman pada tahun 1649, dan berkesempatan menemui seorang Syekh tariqat, yaitu Sayyid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsabandi dan belajar tariqat Naqsabandiyah, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Zubaid (masih Yaman) menemui Syekh Maulana Sayyid Ali dan belajar tariqat Baalawiyah.[23]
Dari Yaman, Syeh Yusuf menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Di Madinah, Yusuf bertemu dengan seorang Syekh tarekat Syattariyah, yaitu Syekh Burhanuddin al-Mulla bin Syekh Ibrahim ibnu al-Husain bin Syihab al-Din al-Kurdi al-Kurani al-Madani. Syekh Yusuf kemudian menimba ilmu dari Syekh Ibrahim dan mendapat Ijazah tarekat Syattariah.[24]
Merasa dahaga intelektual dan pengetahuannya belum terpenuhi, Syekh Yusuf kemudian menuntut ilmu ke Syiria dan berguru pada Syekh Abul Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.[25] Dari gurunya ini, Syekh Yusuf memperoleh gelar “Tajul Khalwaty Hadiyatullah” yang artinya: “mahkota khalwaty anugrah dari Allah.”[26]
Selain itu, Syekh Yusuf juga berkesempatan mendatangi Istanbul (Turki). Setelah kurang lebih 23 tahun mengembara, Syekh Yusuf kemudian kembali ke tanah air pada tahun 1668 M.[27]
C. Perjuangan Syekh Yusuf Melawan Belanda
Syekh Yusuf kembali ke tanah air tepat setelah terjadi perjanjian Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar, dan perlawanan raja Gowa tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, dari pada mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.[28]
Keadaan tersebut di atas menyebabkan masyarakat kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Syekh Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui raja Gowa saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan. Namun raja tidak memenuhi keinginan Syekh Yusuf. Kecewa atas sikap raja, Syekh Yusuf memutuskan untuk meninggalkan Makassar menuju Banten dan berharap dapat mengembangkan ajaran Islam di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebelum meninggalkan Makassar,, Syekh Yusuf telah menyiapkan beberapa kader, termasuk Abdul Qadir Karaeng Majenneng dan Abdul Bashir Dharir, agar tetap melanjutkan dakwahnya.[29]
Berbeda dengan buku Djamaluddin Aziz yang menjelaskan bahwa Syekh Yusuf tidak melanjutkan perjalanan ke Makassar pasca perjanjian Bongaya. Syekh Yusuf memutuskan untuk menetap di Banten dan menyebarkan Islam di sana. Sementara kedua kader Syekh Yusuf dijelaskan bahwa mereka datang ke Banten untuk belajar kepada Syekh Yusuf karena Syekh Yusuf sendiri tidak datang ke Makassar.
Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dinikahkan dengan putrinya sendiri yaitu ratu Aminah. Di Banten, Syekh Yusuf menjadi ulama berpengaruh karena pengetahuannya yang mendalam. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang. Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul mundur pasukan Belanda.[30]
Syekh Yusuf al-Makassary menjabat sebagai mufti selama 13 tahun yang berakhir setelah tertangkapnya Sultan Banten akibat pertikaian Belanda yang disulut oleh Sultan Haji, pendurhaka.[31] Syekh Yusuf al-Makassary melanjutkan peperangan dengan taktik perang gerilya bersama sang putra raja Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul.[32]
Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh sambil membangun serangan.[33]
Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur untuk menangkap Syekh Yusuf dan putra Sultan Ageng Tirtayasa yang memihak Syekh Yusuf, yaitu Pangeran Purbaya. Pengejaran itu berlangsung secara terus menerus, hingga Syekh Yusuf di tangkap dan diasingkan ke Tanjung Harapan atau Afrika Selatan hingga wafat.[34]
B. Karya-Karya Syekh Yusuf
Adapun naskah atau karya-karya Syekh Yusuf adalah sebagai berikut:[52]
1. Al-Barakat al-Sailaniyyah Minal Futuhat al-Rabbaniyyah.
2. Bidayatul Mubtadi.
3. Al-Fawaih al-Yusufiyyah fii Bayan Tahqiq al-Suffiyyah.
4. Hasyiah fi Kitab al-Anbah fi I’rabi Laa ilaaha illallah.
5. Kifiyat al-Munji wal itsbat bi al-Hadits al-Qudsi.
6. Matalib Salikin.
7. Al-Nafhah al-Saylaniyyah.
8. Qurratul Ain.
9. Sirrul Asrar.
10. Surah.
11. Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyarin al-Arifin.
12. Zubdat al-Asrar fi Tahqiq ba’dha Masyarib al-Akhyar.
13. Fathu Kayfiyyat al-Dzikr.
14. Daf’ul Bala.
15. Hadzihi fawaid azhimat al-Dzikr Laa ilaah illallah.
16. Muqaddimah al-Fawaid allati ma labudda minal aqaid.
17. Tahsilul Inayat wa al-Hidayat.
18. Ghayatul Ikhtisar wa Nihayat al-intizar.
19. Tuhfatul Amr fi Fadlilat ad-dzikr.
20. Tuhfat al-Abhar li Ahlil Asrar
21. Al-Washiyyat al-Munjiyyat an-mudahar al-Hijaib.
PENUTUP
Syekh Yusuf merupakan salah satu ulama Sul-Sel yang terkenal sampai ke Afrika Selatan. Hal ini merupakan keberhasilan Syekh Yusuf dalam membina umat. Karya-karyanya yang begitu mengagumkan seakan memberikan gambaran kepada kita semua tentang sosok Syekh Yusuf yang sebenarnya. Meskipun ia terlahir dari keluarga bangsawan, ia tidak pernah berfoya-foya, bahkan ia meninggalkan itu semua demi menuntut ilmu sampai ke tanah Arab. Sosok beliau sangatlah diagung-agungkan, bahkan sebagian masyarakat dating berdoa ke ke kuburannya hanya untuk memanjatkan doa agar mereka selamat. Meskipun hal itu merupakan kemusyrikan, tapi sesungguhnya beliau tidak pernah ingin dikultuskan demikian. Hal itu membuktikan bahwa kharisma beliau begitu memukau, sehingga sampai sekarang pun masih dipuja-puja oleh sebagian orang.
Selain sebagai ulama, beliaupun terkenal sebagai pejuang dalam membela tanah air dari penjajahan Belanda. Meskipun pada akhirnya beliau tertangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan dan akhirnya wafat di sana, akan tetapi perjuangan beliau akan selalu dikenang oleh setiap generasi muda.
Oleh karena itu, sepatutnya kita sebagai generasi muda mampu untuk mengikuti jejak beliau, mampu mengimplementasikan agama ini dalam kehidupan sehari-hari demi terwujudnya masyarakat madani yang berlandaskan al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
[1] Abd. Kadir Manyambeang dkk, Lontarak Syekh Yusuf Suatu Analisa Filologi Kultural, (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1990), h. 16.
[2] Dangor, S., Yusuf Da Costa, Ahmad Davis, The Foot Steps in the Companions: Sheikh Yusuf of Macassar 1626-1699) in Pages from Cape Muslim History (Cape Town: Cape Muslim Press, 1994), h. 19.
[3] Mustari Mustafa, Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari (Cet. 1; Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 19
[4] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, Syekh Yusuf Al-Makassary: Putra Makassar (Cet. 1; Makassar: Nala Cipta Litera, 2007), h. 20.
[5] Ibid., h. 21
[6] Ibid., h. 26
[7] Sultan, Sahib, Allah dan Jalan Mendekatkan Diri Kepada-Nya dalam Konsepsi Syaikh Yusuf, (Jakarta: Al-Quswa, 1989), h. 5.
[8] Mustari Mustafa, loc. cit.
[9] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, op. cit., h. 27
[10] Ibid.
[11] Sultan, Sahib, op. cit. h. 12.
[12] Mustari Mustafa, op. cit. h. 23.
[13] Djamaluddin Aziz Paramma Dg. Djaga, loc. cit.
[14] Mustari Mustafa, op. cit. h. 24
[15] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga. Op. cit. h. 27-28
[16] Ibid., h. 28.
[17] Sebagian pihak menyebut sekitar tahun 1598-1650. Lihat, Solichin Salam, Syaikh Yusuf “Singa dari Gowa” (Ulama Kaliber International) (Jakarta: Yayasan Pembina Generasi Muda Indonesia bekerjasama Gema Salam, 2004).
[18] Nabila Lubis, Syaikh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia (Bandung: Mizan, 1996).
[19] Mustari Mustafa, op. cit. h. 25
[20] Ibid.
[21] Sultan, Sahib, op. cit. h. 14.
[22] Mustari Mustafa, op. cit. h. 25-26.
[23] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 28-29.
[24] Mustari Mustafa, op. cit. 26.
[25] Ibid., h. 27.
[26] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 29.
[27] Mustari Mustafa, op. cit. h. 27.
[28] Ibid.
[29] Ibid. h. 28.
[30] Ibid.
[31] Djamaluddin Aziz Paramma Dg Djaga, op. cit. h. 32
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Mustari Mustafa, op. cit. h. 28-29.
[35] Mustari Mustafa, Dakwah Sufisme Syekh Yusuf al-Makassary (Cet. 1; Makassar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 51
[36] Ibid.
[37] Syekh Yusuf, “Al-Barakat al-Sailaniyyah minal Futuhat al-Rabbaniyyah”, dalam Tudjimah (ed.), Syekh Yusuf, Riwayat, Hidup, Karya dan Sejarahnya (Jakarta: UI Press, 1997).
Kebesarannama Syekh Yusuf sebagai penyebar agama dan pejuang menentang penjajah, bukan hanya termahsyur di Sulsel sebagai tanah kelahirannya, melainkan juga terkenal di daerah lain seperti di Banten, Madura, bahkan di belahan dunia lain seperti di Ceylon, Srilangka dan di Cape Town Afrika Selatan. Walaupun namanya mendunia, tetapi pada umumnya, masyarakat belum tahu siapa ayahanda Syekh Yusuf sebenarnya.
Syekh Yusuf lahir pada masa pemerintahan I Mangnga’rangi Daeng Manrabbiya Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV. 19 tahun setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan. Islam dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan pada hari Jumat, 9 November 1607. Syekh Yusuf lahir pada subuh hari Selasa 3 Juli 1626 di istana raja Tallo, I Mallingkaan Daeng Nyonri Sultan Awwalul Islam. Ibunda Syekh Yusuf bernama lengkap I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung, putri pasangan I Hama Daeng Leyo Gallarrang Moncong Lowe dengan I Kerana Daeng Singara. Tetapi tentang ayah Syekh Yusuf, ada beberapa pendapat yang masih harus ditelusuri kebenarannya.
menelusuri hal ini, menemukan beberapa pendapat tentang ayahanda Syekh Yusuf, diantaranya :
Pendapat Pertama
Pendapat ini mengatakan, ayah Syekh Yusuf adalah Nab Khidir As. Ini didapat dalam buku “Riwaya’na Tuanta Salamaka Syekhu Yusufu” yang ditulis Ince Nuruddin Daeng Magassing, dicetak dalam Lontara Makassar tahun 1933. Selain itu, juga cerita yang berkembang di masyarakat, yang isinya hampir sama dengan karangan diatas. Bahkan sangat disakralkan sebagian masyarakat dan diyakini sebagian pengikut ajaran tarikat.
Pada waktu itu terjadi kilatan cahaya yang terang di tengah kebun milik Dampang Ko’mara. Nampak setelah kilatan cahaya itu, sesosok tubuh lelaki tua muncul. Lelaki itu diyakini adalah Nabi Khidir, karena mukjizat yang dibawa pada saat kemunculannya. Disaat yang sama Gallarrang Moncong Lowe, Daeng Leyo yang memiliki seorang anak gadis yang telah cukup umur untuk menikah, tetapi belum mendapatkan jodoh yang cocok untuk putrinya tersebut.
Dampang Ko’mara mendatangi Daeng Leyo untuk meminang putrinya, untuk dinikahkan dengan lelaki tua itu. Melihat keagungan yang terpancar dari wajah lelaki itu, Daeng Leyo menerima pinangan. Maka diadakanlah acara pernikahan secara besar-besaran oleh Gallarrang Moncong Lowe.
Sementara di istana Raja Gowa, Sombayya melakukan pertemuan dengan pembesar kerajaan. Dalam beberapa kali pertemuan, daeng Leyo selaku Gallarrang Moncong Lowe tak pernah hadir, karena sibuk dalam acara menikahkan putrinya.
Mendengar berita iru, Raja Gowa mengutus menterinya menemui Daeng Leyo, perihal pernikahan tersebut. Setiba disana, utusan tersebut kaget melihat pernikahan yang tak sepadan antara lelaki tua yang tak dikenal asal usulnya, dengan seorang putri bangsawan.
Raja Gowa memerintahkan Daeng Leyo segera membawa putrinya ke istana Raja. Daeng Leyo gelisah. Namun anak mantunya, lelaki tua itu berinisiatif mengantarkan sendiri istrinya untuk diserahkan kepada Raja.
Saat lelaki tua dan istrinya tiba di depan gerbang istana Raja. Didalam istana terjadi kegaduhan, karena semua dinding istana yang terbuat dari kayu, bergetar seperti sedang terjadi sebuah gempa.
Raja heran dengan peristiwa yang terjadi. Biasanya kejadian seperti itu menandakan seorang pembesar akan datang di istana. Belum habis rasa heran Sang Raja, tiba-tiba masuk menghadap seorang abdi kerajaan menyampaikan kedatangan Putri Gallarrang Moncong Lowe bersama lelaki tua yang menjadi suaminya.
Melihat aura yang terpancar dari wajah sang lelaki tua, Raja terkesima. Namun Raja lebih terpesona pada kecantikan putri Moncong Lowe. Dengan penuh hormat lelaki tua itu menyerahkan istrinya kepada Raja Gowa, lalu lelaki yang diyakini adalah nabi Khidir itu, kemudian meninggalkan istana. Lelaki tua itu menghilang entah kemana, sama seperti waktu kedatangannya yang entah dari mana.
Malam harinya, Raja masuk ke kamar sang putri Moncong Lowe. Betapa herannya Raja melihat apa yang terjadi diatas pembaringan. Di atas ranjang terlihat tubuh putri terangkat diatas pembaringan dan sekelilingnya diliputi cahaya yang bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAHU. Melihat ini, Raja mengurungkan niat mempersunting sang putri. Apa lagi setelah mengetahui Sang Putri telah mengandung seorang anak. Akhirnya Sang Putri dikirim ke Istana Tallo dan melahirkan seorang putra bernama Syekh Yusuf.
Ini adalah salah satu versi cerita rakyat tentang orang tua Syekh Yusuf, dan banyak lagi versi cerita rakyat yang lain, tetapi tetap menggambarkan sosok Nabi Khidir sebagai ayahanda Syekh Yusuf dengan alur cerita yang lain.
Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Abdullah Khayri Al-Munjalawy, seorang ulama sufi dari Banten, yang konon bersahabat dengan Khatib Tunggal I Dato Ri Bandang. Dia mempersunting I Tubiani Daeng Kunjung Siti Aminah, Ibunda Syekh Yusuf atas bantuan Dampang Ko’mara.
Menilik pendapat ini, yang menjelaskan bahwa yang bersama Dampang Ko’mara yang diyakini sebagai Nabi Khidir adalah keliru. Karena yang bersama dengan Dampang Ko’mara adalah seorang sufi yang bernama Abdullah bin Aby Khayri Al-Munjalawi.
Bukti-bukti mengenai kebenaran kisah ini dapat ditelusuri dengan kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Yusuf sendiri diantaranya :
Hasyiah Fii Kitab Al-Ambah Al-l’Rab Laa Ilaaha Illallah dalam kitab ini disebutkan bahwa kitab ini ditulis oleh Al-Arif billahi Taala Syekh Yusuf ibnu Abdullah al-jawi al-Makassari
Dalam sebuah risalah yang berbahasa Arab dengan terjemahan Makassar yang ditulis dalam “hurupu serang” (Arab-Makassar) bertuliskan sebagai berikut “Syekh al-Haj Yusufu Taji ibni Abdillahi ibni Aby Khayri al-Munjalawi” yang dalam konteks bahasa Indonesia berarti: “Syekh al-Haj Yusuf, anak dari Abdillah anak dari Aby Khayri yang bergelar al-Munjalawi”.
Pada naskah tersebut tepatnya di halaman 17, Syekh Yusuf mengulang pernyataan : “Berkata hamba yang fakir, penulis huruf-huruf, Syekh al-Haj Yusuf bin Abdillah bin Aby Khayri al-Taj al-Munjalawi.
Selain dari naskah diatas suatu informasi dari A.G.H Abdul Rahim Assegaf Daeng Makka: “Dalam sebuah naskah tua milik habib Alwi bin Yahya di Pekalongan memberitakan, bahwa seorang auliya asal Banten yang bernama Syekh Abdullah, berjalan kearah matahari terbit dan kawin dengan putri bangsawan negeri tersebut”.
Pendapat Ketiga
Pendapat ini mengumpulkan berbagai pendapat yang berbeda dari kedua pendapat diatas diantaranya:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Sultan Alauddin. Pendapat ini tertuang pada salah satu tulisan dalam buku “Syekh Yusuf seorang ulama, sufi dan pejuang” tahun 1994 karya Prof. Dr. Abu Hamid.
2. Pendapat ini mengatakan bahwa ayah Syekh Yusuf adalah salah seorang kerabat Raja Gowa yang bernama Khaidir. Terdapat dalam buku “Syekh Yusuf seorang ulama, sufi dan pejuang” tahun 1994 karya Prof. Dr. Abu Hamid.
3. Pendapat ini mengatakan bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Karaentta Barombong, saudara Sultan Alauddin yang wafat pada tahun 1642 dalam usia 70 tahun, dua tahun sebelum
keberangkatan syekh Yusuf ke Mekkah.
4. Fakta yang mengatakan bahwa Nabi Khidir adalah ayah Syekh Yusuf sangat lemah dari sudut penelusuran sejarahnya, serta fakta yang tertulis. Karena naskah yang tertulis hanya merupakan cerita rakyat yang pada pembukaan kisahnya adalah kalimat ‘konon kabarnya’ dan akhir ceritanya adalah wallahu alam.
5. Mengenai pendapat yang berkata bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Sultan Alauddin juga tersanggah dengan keberadaan Siti Daeng Nisanga yang merupakan istri dari Syekh Yusuf dan putri dari Sultan Alauddin.
6. Pendapat yang dapat diterima akal adalah pendapat yang mengatakan bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Abdullah Bin Aby Khayri al-Munjalawi ini berdasarkan fakta yang tertulis pada kitab yang ditulis sendiri oleh Syekh Yusuf, yang menjelaskan tentang nasabnya. Ini membuktikan bahwa Nabi Khidir bukan Ayah Syekh Yusuf
Pendapat ke Empat; “Pendapat ini sangat lemah dan membingungkan”
Riwayat Hidup Syekh Yusuf al-Makassari
penulis oleh: Dr. Zainuddin Hamka
penulis oleh: Dr. Zainuddin Hamka
Menurut Lontara warisan kerajaan kembar Gowa dan Tallo, masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan.[3] Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang.[4]
Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.
Oleh karena nama Abdullah sebagai ayah Syekh Yusuf tercatat dalam risalahnya yang berjudul Hâsyiyat fî Kitâb al-Anbâ’ fî I‘râb Lâ Ilâha Illallâh, Hamka menetapkan ayahnya yaitu Abdullah.[5] Namun, anak cucunya di Sulawesi Selatan menamakannya Abdullah Khaidir sebagai bapak Syekh Yusuf. Tetapi nama yang terakhir ini menimbulkan kontroversi di mata masyarakat umum, karena ada yang menyangka bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Nabi Khaidir, tetapi informasi yang kuat adalah sebagaimana yang tertuang dalam silsilah keturunannya yang diwarisi turun-temurun para Raja Bugis di Sulawesi Selatan, yang dalam lontara itu dijelaskan bahwa ayahnya adalah Gallareng Mongcongloe, yang telah diberi nama Islam yaitu Abdullah Khaidir.[6] Ia adalah saudara seibu dengan Raja Gowa, Sultan Alauddin. Menurut tradisi raja-raja di tanah Bugis, tetapi karena sifat tawadhu dan perhatiannya yang sangat besar terhadap Islam yang baru saja dianutnya, maka ia memilih untuk tidak menjadi raja. Dengan demikian, ia diberi gelar oleh masyarakat sebagai Gallarang sementara Moncongloe adalah nama kampong yang dijadikan sebagai tempat tinggalanya.
Komentar
Posting Komentar