Langsung ke konten utama

Syaikh Abdul Rahman Petta Imang (Imam) Timurung, Ulama Kharismatik Sinjai (Sulawesi Selatan)

Syaikh Abdurrahman Puangta Imam Timurung, Ulama Kharismatik Sinjai (Sulawesi Selatan) yang Terlupakan

Syaikh Abdul Rahman disebut juga dengan nama Puang Cambang MattemmuE atau Petta Imam Timurung adalah seorang ulama yang diperkirakan hidup di akhir tahun 1700 an atau awal 1800 an. Dia adalah ulama yang sangat dekat dengan Raja Bone di masa hidupnya.

Tim Sisi Lain Radar Bulukumba cukup mengalami kesulitan dalam menggali tentang sejarah hidup beliau secara kronologik. Disamping karena sumber tulisan memang tidak ada, sumber yang masih bisa mengisahkan tentangnya pun sangat sulit ditemukan.

Konon, ketika Syaikh Abdul Rahman meninggal, langit sinjai menjadi merah saga bagaikan terbakar. Peristiwa tersebut menjadi perbincangan yang hangat oleh masyarakat Sinjai hingga Bulukumba. Saat jenazahnya dimandikan, banyak orang yang beramai-ramai mengambil air bekas mandinya dengan harapan karomah atau kesaktian beliau dapat menitis pada dirinya.

Pernah di suatu hari, Raja Bone mengumpulkan seluruh orang saktinya untuk diuji kesaktiannya. Syaikh Abdul Rahman pun turut diundang. Sang Raja menggali sebuah lubang di tanah dan memasukkan seekor bebek (?) lalu, satu persatu orang sakti itu pun ditanya tentang isi lubang tersebut. Ketika tiba giliran Syaikh Abdul Rahman, dia menjawab bahwa isi dari lubang tersebut adalah pahat. Raja pun memerintahkan untuk membuka lubang tersebut. dan ternyata isinya berubagh menjadi pahat, seperti yang disebutkan oleh Syaikh. semua yang hadir pun tercengang oleh peristiwa tersebut.
Peristiwa tersebut membuat Syaih Abdul Rahman semakin disegani dan dianggap bahwa ilmunya sangat tinggi dan apa pun yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Hal tersebut disebabkan karena dia sangat menjaga kesuciannya, baik dalam perbuatan maupun kata-kata.

Dikisahkan pula bahwa Syaikh Abdul Rahman pernah mengaji di Tanah Mekkah selama puluhan tahun untuk mendalami agama islam. Pengetahuannya yang dalam tentang islam mengantarkannya menjadi orang yang sangat dekat dengan Raja Bone di zamannya.

Dalam penelusuran Tim Sisi Lain Radar Bulukumba hingga ke Desa Timurung Bone beberapa waktu lalu, seorang sesepuh kampung (usianya diperirakan hampir 100 tahun), di rumah salah satu kepala dusun di Desa Timurung (Tim SL lupa mencatat namanya), Orang tua tersebut berkisah bahwa, Ketika masyarakat kampung di sini belum memeluk islam dan masih memakan binatang yang diharamkan islam, Syaikh Abdul Rahman diutus oleh Raja Bone untuk berdakwah di tanah ini. Dia datang bersama banyak pengawal dari Sinjai.

Masjid yang didirikan Oleh Syaikh masih berdiri hingga sekarang di kampung tersebut. Tak jauh dari sebuah situs sejarah penting di Bone yakni Tana Mewae. jika Bone hendak berperang, termasuk dalam kisah perang "Rumpaq Bone" pasukan yang dari Timurung akan berkumpul di Tana Mewae tersebut. Panglima perangnya pun berasal dari Timurung.
Karena Cambang Syaikh sangat tebal, dia disebut juga sebagai Puang Cambang Mattemue oleh masyarakat setempat. demikian juga karena posisinya sebagai Imam yang dipercaya oleh Raja Bone di Desa Timurung Bone, maka dia pun dinamakan juga Petta Imam Timurung.

Konon, karena karomahnya, jika Puaqta Imam Timurung ingin pulang ke Sinjai, dia hanya pergi ke tepi pantai dan memanggil ikan pari. Ikan pari tersebutlah yang akan ditumpanginya pulang ke Sinjai. dia hanya berdiri di atas punggung ikan peri tersebut hingga tiba di sinjai, tepat di belakang rumahnya yang merupakan sebuah sungai.

Makam Syaikh Abdul Ramhan terletak di Biring Ere pinggiran Kota Sinjai. Tepat di belakang Masjid yang konon didirikannya, di dalam sebuah bangunan khusus dan lumayan besar. Di dalam Bangunan tersebut bukan hanya satu kuburan tapi, terdapat juga kuburan lain yang merupakan kerabatnya. Masjid itu bernama Masjid Raayatul Hidayah. Barang-barang peninggalan milik Syaikh Abdul Rahman pun masih banyak yang disimpan di sebuah rumah tua bercorak Rumah Adat Sinjai yang khas, tepat di depan masjid tersebut.

Hingga kini, Tim Sisi Lain menemui jalan buntu atas `sal usul (keturunan) Syaikh Abdul Rahman. Tapi, dari berbagai sumber lisan, Syaik Abdul Rahman memiliki banyak istri dan salah satu anaknya ada yang menikah ke Tanete Bulukumba (salah satu anak Raja Bulukumpa) dan menjadi Kadi atau Kali Tanete Bulukumba. Ada juga yang mengisahkan bahwa dia juga memiliki Istri (keturunan bangsawan) dari Pompanua Bone dan memiliki beberapa orang anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A