Langsung ke konten utama

SEJARAH SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK AL-BUGIS AL-BUNI (BONE) SYAMS AL-ARIFIN DAN TAREKAT KHALWATIYAH SAMMAN

SYAEKHU SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK 
AL-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN
Syeikh Akbar Tarekat Khalwatiyah Samman

Maros populer sebagai tempat berkembangnya beberapa tarekat mu’tabarah yang ada di Indonesia. Turikale sebagai Ibu Kota Kabupaten Maros merupakan tempat “bermula” dimana beberapa Tarekat masuk dan dikembangkan. Tarekat Sammaniah atau Tarekat Khalwatiyah Samman mulai masuk dan berkembang di Kampung Pacelle, wilayah Regenschap Turikale. Tarekat Tajul Khalwaty atau yang populer sebagai Tarekat Khalwatiyah Yusuf juga masuk dan berkembang di wilayah Regenschap Turikale, yakni di Kampung Labuang. Tercatat bahwa Imam Turikale II, H.A.Muhammad Saleh Dg. Manappa adalah salah seorang khalifah dari Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Selain kedua tarekat tersebut, Tariqatul Muhammadiyah ( Tekolabbua ) dan beberapa tarekat lainnya seperti Tarekat Naqsabandiyah juga menjadi Tarekat yang cukup populer bagi masyarakat Maros.
Setiap tahun pada bulan Rabiul Awal di Dusun Patte’ne Maros, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, ribuan jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan dari Negara tetangga berdatangan untuk ikut merayakan haul salah seorang “Pelanjut” Tarekat Khalwatiyah Samman yakni Syeikh Muhammad Saleh (Puang Lompo) ibn Syeikh Abdullah ibn Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.
Tarekat Khalwatiyah Samman atau Tarekat Sammaniah dikenal sebagai salah satu Tarekat Mu’tabarah yang kebetulan berpusat di Kabupaten Maros. Tarekat yang dikenal memiliki jamaah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan orang ini sering menjadi perbincangan aktual dan seringkali pula menjadi obyek para politikus untuk mendapatkan dukungan politik dari para oknum pelanjutnya yang mengatas namakan Tarekat ini.
 Sebelumnya saya memohon semoga saya tidak kualat dan durhaka dengan menuliskan nama-nama beliau pada postingan sejarah tarekat ini dan saya juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pelanjut Tarekat ini bila ada yang merasa kurang sependapat dengan apa yang saya tuliskan.
Postingan sejarah ini saya maksudkan hanya untuk meluruskan Sejarah Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros sehingga tidak timbul pembelokan atau pengkaburan sejarah yang kerap dipaparkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan tanpa dasar pengetahuan yang jelas tentang sejarah Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros beserta Syeikh Akbarnya, yakni “Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin” atau “I Puang MatowaE”. Dan juga untuk menghindari timbulnya preseden negatif terhadap beberapa oknum pelanjut yang kebetulan tanpa menyadari menggiring tarekat yang mulia ini ke hal-hal yang sangat bersifat duniawi alias melenceng jauh dari ajaran tarekat ini sendiri.
 Terkadang kegiatan para pelanjut tarekat ini mendapat sorotan di media cetak dengan berbagai sebutan yang keliru, ada media yang menuliskan “Ketua” dan adapula yang menuliskan “Pimpinan Tertinggi”. Padahal tarekat ini bukanlah organisasi yang memiliki struktur baku seperti adanya ketua, sekretaris, bendahara dan seterusnya. Para pelanjut yang dituakan juga bersifat “kolektif” dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam pengembangan ajaran tarekat ini.

Prosesi untuk menjadi “pangulu” para pelanjut atau seorang pelanjut yang dituakan tidaklah mudah dan juga bukan karena faktor keturunan. Para pelanjut harus memiliki pengetahuan agama yang dalam/luas serta memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang ilmu tarekat ini sendiri. Dan yang paling utama adalah seorang pelanjut telah sampai pada maqam spiritual tertentu sehingga dapat menerima dan mengajarkan talqin zikir beserta silsilah tarekat ini yang kemudian mempertanggung jawabkannya kelak di akhirat.
Amanah Syeikh Abdullah ibn Syeikh Abdur Razak, “ Aja’ mupa’gurui tawwe massikkiri’ narekko de’ mupalettu memengi ”. Pesan  Syeikh Abdullah lewat seorang khalifah yang bernama Guru Lamedde’ tersebut menggambarkan bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk memikul tanggung jawab sebagai seorang pelanjut, apalagi untuk bertindak sebagai “pangulu” para pelanjut.
 Tulisan ini lebih kepada pemaparan sejarah dan tidak saya maksudkan untuk menonjolkan alur kebangsawanan dari Syeikh Abdur Razak, karena beliau sendiri menyembunyikan identitas alur keturunannya dengan maksud agar para pelanjutnya tidak memiliki  sikap sombong yang dapat menjadi dinding/sekat dalam mengamalkan ajaran tarekat ini.
Saya mengambil referensi dari arsip pribadi ayahanda tercinta, almarhum A. Burhanuddin Dg. Parani, yaitu “Kitab Merah” yang berisikan sejarah dan silsilah Kerajaan Bone, Gowa, Luwu, Wajo dan Soppeng yang ditulis oleh Ayahanda beliau sendiri yakni Syeikh Muhammad Zainuddin Puang Remma’ ibn Syeikh Abdur Rahman ibn Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.  Ayahanda beliau juga adalah salah seorang tokoh pelanjut Tarekat ini dengan sebutan “ I Puang Ri Solojirang” dan juga pernah menjabat sebagai Imam Turikale pada tahun 1943-1946 , dalam masa pemerintahan A. Abd. Hamid Dg. Manessa KaraEng Turikale VI. 
Saya juga mengambil referensi utama dari “Buku Harian Syeikh Abdur Razak” yang ditranslate oleh Daengku’ A.M. Makmur dari arsip Pamanda tercinta, puakku almarhum Syeikh M. Syattar Petta Tompo (dimakamkan di A’jalireng-Bone). Beliau juga adalah seorang tokoh Pelanjut Tarekat ini dan sekaligus sebagai pelaku sejarah/penerima amanah dari tiga tokoh Pelanjut Tarekat  Khalwatiyah Samman ( Puang TelluE ) untuk melakukan pembelaan terhadap Tarekat Khalwatiyah Samman pada saat “Peristiwa Wanua Waru”, yakni peristiwa yang terjadi pada tahun 1958 saat para Ulama dikumpulkan oleh gerombolan DI/TII di Hutan Wanua Waru yang terletak di perbatasan Maros-Bone. Pada peristiwa tersebut beliau ditempatkan satu bilik dengan almarhum “Teungku Daud Beureueh” dari Aceh dan dikondisikan berhadapan dengan gurunya sendiri yakni Anregurutta KH. Ambo Dalle’. Dan atas ijin serta kehendak Allah SWT, “Pledoi” beliau yang juga berjudul “Wanua Waru” dapat menjawab semua pertanyaan dari para Ulama yang hadir mengenai  Tarekat Khalwatiyah Samman.
Dengan penuh kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan yang saya miliki, saya berharap mudah-mudahan kupasan sejarah ini juga sedikit dapat menyentuh aspek yang berkaitan dengan ajaran yang terdapat dalam ilmu tariqat dan tassauf, serta dapat menambah wawasan pembaca tentang Tarekat Khalwatiyah Samman.

I.  PENDAHULUAN

A. Umum
Sejak awal masuknya Islam di Indonesia nuansa Tassauf sudah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat. Hal ini terlihat pada aspek ritual yang di lakukan secara kontinyu baik yang di lakukan oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan
Para pedagang Arab dan Gujarat serta Ulama yang khusus datang menyebarkan Agama Islam di Indonesia, banyak memberikan andil yang besar dalam tradisi tarekat Tassauf dalam menyiarkan Agama Islam. Sejumlah Tarekat yang dianut oleh masyarakat Indonesia antara lain seperti Tarekat Qadiriyah yang dinisbahkan pada Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Tarekat Naksabandiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Bahauddin Annaksyabandi, Tarekat Alawiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah ibn Alawi, Tarekat Syattariah yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah Syattar, Tarekat Khalwatiyah Samman atau Sammaniah yang di nisbahkan pada “Gauts Zaman Al Waly Qutbil Akwan Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Karim Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani” serta beberapa Tarekat Mu’tabarah lainnya.

B. Tassauf dan Tarekat
Pada jaman Rasulullah, tassauf adalah kenyataan tanpa nama dalam artian bahwa istilah tassauf belum dikenal, sama dengan Fikhi dan Ushuluddin. Namun demikian perilaku tassauf telah dilakukan oleh Rasulullah seperti ber-“khalwat” dengan bertafakkur di gua hira dan menjalani kehidupan zuhud yang tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Hal ini kemudian diikuti oleh para sahabat, antara lain Abu Bakar Assidiq, Ali Ibn Abi Thalib, Salman Al-Faris, Abu Dzar Al-Gifari, Husaifa Al-Yamaniy, Abu Darda dan para Tabi’in seperti Ali Zaenal Abidin dan Hasan Al-Basri.
 Memasuki abad ketiga hijriyah, mulai timbul perhatian kongkrit dari kepada kehidupan zuhud ke tassauf. Pada fase ini kajian tassauf di arahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sekaligus menandai terjadinya perkembangan moral agama. Tassauf “bukanlah doktrin tambahan” Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi merupakan inplementasi bagi kerangka Islam dalam praktik keserasian jiwa seorang hamba Allah yang beriman. Esensi tassauf sendiri secara sederhana sesungguhnya adalah upaya meneladani ahlak dan kehidupan Rasulullah serta bertujuan meraih pengetahuan hakiki (Ma’rifat) tentang pesan sentral Agama Islam yakni ke-Maha Esa-an Allah (Tauhid).
Dalam kehidupan agama, jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat menghimpun tiga pilar yang sangat menentukan yaitu Imam, Islam dan Ikhsan. Masing-masing dapat dicapai dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan tentangnya.
“Iman” dapat dipelajari melalui ilmu ushuluddin atau ilmu kalam atau ilmu tauhid.
“Islam” dapat dipelajari melalui ilmu fikhi atau sering di sebut dengan ilmu syariat.
“Ikhsan” cenderung hanya dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu tassauf.
 Dengan demikian Islam haruslah dipahami sebagai ajaran yang utuh tanpa memisahkan syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat dalam suasana yang terintegral antara Iman, Islam dan Ikhsan.
 Pada perkembangan selanjutnya, para sufi (pelaku tassauf) menyusun suatu formulasi zikir, wirid dan amalan lain yang di kenal dengan tatacara atau yang disebut dengan “kaifiat”. Kaifiat inilah yang disusun sedemikian rupa yang merupakan metode atau cara mendekatkan diri kepada Allah yang pada gilirannya disusun secara melembaga sehingga disebut tarekat.
Tarekat dapat juga dimaknai dengan dua pengertian:
  1. Tarekat adalah jalan spiritual (batiniah) yang terjal dan mendaki menuju hakikat.
  2. Tarekat dimaknai secara formal adalah suatu lembaga bagi seorang zalik untuk melaksanakan amalan-amalan tarekat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ilmu Tarekat disebut juga Ilmu Hati.  Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:

...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan. Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka ibnasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:

فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:

فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)

            Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
 Berdasarkan uraian sebelumnya dapat difahami bahwa Tarekat sebenarnya telah ada Sejak munculnya Islam yakni tatkala Rasulullah SAW melakukan Takhannus atau berkhalwat di Gua Hira. Apa yang dilakukan Rasullah ini selain untuk mencari ketenangan hati dan kebersihan jiwa juga yang terpenting adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan khusyu. Sebagaimana pula halnya para penganut Tarekat pada Umumnya yang berusaha memaknai hidup ini denganberusaha semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui Tarekat.

C. Tarekat Khalwatiyah Samman
Salah satu tarekat yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah tarekat Sammaniah yang didirikan oleh Gauts Zaman Al-Waly Qutbil Akwan Syeikh Sayyidi Muhammad Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani yang lahir di Madinah pada tahun 1132 H/1718 M dan  merupakan salah seorang keturunan (Ahlul bayt) Rasulullah SAW. Beliau mendirikan Zawiyah di Madinah dengan sejumlah murid yang berasal dari Indonesia, antara lain :
  1. Syeikh Abdul Samad Al-Palimbani dari Sumatera
  2. Syeikh Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan
  3. Syeikh Abdul Wahab Al-Bugis, putra Bunga Walie, Addatuang Sidenreng dari Sulawesi Selatan (beliau tidak kembali ke tanah Sulawesi setelah pernikahannya dengan adik dari Syeikh Arsyad Al-  Banjari. Beliau menetap dan wafat di Banjarmasin.)
  4. Syeikh Abdul Rahman Al-Batawi dari Betawi
  5. Syeikh Idris Ibnu Usman dari Nusa Tenggara
  6. Syeikh Abul Abbas Ahmad at-Tijani (pendiri tarekat Tijani)
  7. Syeikh Dawud Al-Fathani
Masyaikh inilah yang membawa dan menyebarkan Tarekat Sammaniah ke berbagai daerah di Indonesia.
Di Palembang - Sumatera, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Syeikh Abdul Samad Al- Palimbani. Beliau membaiat sejumlah tokoh masyarakat Sumatera, antara lain  Sultan Mahmud Badaruddin II (Sultan Palembang) yang membangun sebuah Zawiah Khalwatiyah Samman di Jeddah Arab Saudi sebagai wujud apresiasi dan keistiqamaannya dalam Tarekat Khalwatiyah Samman dan Teungku Cik Ditiro, Panglima Perang Aceh.
Syeikh Abdul Samad Al-Palimbani menyusun suatu epos perjuangan yang bernama hikayat perang sabil. Hikayat ini dibacakan pada pasukan perang aceh yang dipimpin oleh Teungku Cik Ditiro untuk membakar semangat para pasukan Aceh ketika akan berperang melawan pasukan penjajah Belanda.
Di Kalimantan, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Syeikh Arsyad Al-Banjari dan Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari. Salah seorang keturunan Syeikh Arsyad Al-Banjari mendirikan sebuah pesantren besar yang bernama Pesantren Darussalam di Martapura. Tiap tahun masyarakat Martapura dan Kalimantan pada umumnya memperingati haul Syeikh Samman Al-Madani dengan dihadiri dari berbagai lapisan masyarakat dan Tokoh Nasional.
Di Jawa Barat, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Abdul Rahman Al-Jawi. Di daerah  Bogor dan Bekasi, manaqib Syeikh Samman masih sering dibaca oleh sebahagian masyarakat betawi sebagai istigosah ataupun dalam berbagai hajatan lain.
Di  Nusa Tenggara, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Syeikh Idris Ibnu Usman dan di kembangkan lebih lanjut oleh Syeikh Abdullah Al-Munir. Syeikh Abdullah Al-Munir adalah kerabat Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bone. Ibunda Syeikh Abdullah Al Munir bernama Datuk Nelola, putri dari Sultan Sumbawa, sedangkan ayahandanya bernama  La Kasi Ponggawa Bone, putra dari La Temmassonge Datu Baringeng Sultan Abdul Razak Jalaluddin MatinroE ri Mallimongang, Raja Bone XXII dari isterinya yang bernama St. Sapiyah, puteri Arung Letta’.
 Tarekat Khalwatiyah Samman kemudian masuk ke Sulawesi Selatan melalui daerah Barru yang dibawa oleh Syeikh Abdullah Al-Munir dan kemudian dikembangkan oleh puteranya, yakni Syeikh Maulana Muhammad Fudail.

II.   SEJARAH SYAIKHU SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK Al-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN

Syeikh Abdur Razak lahir di Maros pada tahun 1249 Hijriah (1827 M), Pasca Perang Marusu’. Syeikh Abdur Razak adalah anak ke tiga dari pasangan “La Mappangara Arung Sinri  Tomarilaleng Pawelaiye Ri Sesso’E – Maru’ ” dan “We Kalaru Arung Palengoreng”, putri dari Baginda "La Tenri Tappu Arung Timurung Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin MatinroE ri Rompegading, Raja Bone XXIII (1775-1812)" dari isterinya yang bernama "We Padauleng MatinroE ri Sao'Denrana Bontomanai' (Maros)".  
“La Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Pawelaiye Ri Sesso’E” bersaudara kandung dengan “La Mappaware’ Dg. Ngirate (Batara Tanralili), Karaeng (Raja) Tanralili I, MatinroE ri Tompo’bulu”. Keduanya adalah putera dari pasangan “La Tenri Tomarilaleng Pawelaiye Ri Kaluku BodoE” dan “I Manning (We Masi) Arung Weteng”.
“La Tenri Tomarilaleng Pawelaiye Ri Kaluku BodoE” sendiri adalah putera dari " La Tobala Jennang Bone Arung Tanete Riawang (plt. Raja Bone, 1643-1660)" dari isterinya yang bernama "We Maisuri" puteri dari Arung Paijo.
Ayahanda “I Manning (We Masi) Arung Weteng” (isteri La Tenri Tomarilaleng Pawelaiye Ri Kaluku BodoE)  bernama  “La Page’ Arung Tungke’ Ri Mampu, Arung Sijelling, Arung MaloloE Ri Bone” yang merupakan putera dari Baginda "La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu,Arung Amali, Arung Sijelling KaraEng Bisei Sultan Abdullah Mansur Tuminanga ri Bisei , Raja Bone XXIII (1721-1724)" dari isterinya yang bernama "Sitti Hawang, ana’na Opu To Juma Ponggawa Bone".
Ibunda “I Manning (We Masi) Arung Weteng” bernama “We Salloge Arung Weteng”, puteri dari  “La Maggametteng Arung Sinri” dari isterinya yang bernama “I Manggoro Arung Galung”.  La Maggametteng Arung Sinri sendiri adalah putera dari Baginda “La Patau Matanna Tikka Walinonoe To Tenribali MalaE Sanrang Sultan Idris Azimuddin MatinroE ri Nagauleng, Raja Bone XVI (1696-1714)”  dari isterinya yang bernama "Sitti Maemuna Dala Marusu", putri I Muhammad Adam KaraEng Marusu’ Angsakayai bnangana Marusu’.
La Mappangara Arung Sinri menjabat “Tomarilaleng” (Menteri Dalam Negeri) Kerajaan Bone pada era pemerintahan La Mappaselling Arung Panynyili Sultan Adam Nazimuddin, Raja Bone XXVI (1835-1845) dan La Parenrengi Arung Lompu Sultan Ahmad Saleh Muhiuddin, Raja Bone XXVII (1845-1858). La Mappangara Arung Sinri hijrah ke Maros setelah meletakkan jabatannya sebagai “Tomarilaleng” pada tahun 1849.  La Mappangara Arung Sinri dimakamkan berdampingan dengan sepupu satukalinya, yakni La Makkulau Arung Mampu di daerah Sesso’E, wilayah Kecamatan Bantimurung – Maros.
Syeikh Abdur Razak juga adalah seorang Ahlul Bayt (keturunan Nabi Muhammad SAW) di tanah bugis yang nazab Ibunya bersambung kepada Syeikh Maulana Jalaluddin ibn Syeikh Yusuf Abu Mahasin Al-Makassari Taj’ Al Khalwaty (Tuan Tasalama’) yang nazab ibundanya bersambung kepada Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang nazabnya kemudian sampai kepada Imam Alwi Ubaidillah (Hadramaut Selatan) yang kemudian nazabnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidina Husain. Dengan demikian Syeikh Abdur Razak adalah generasi ke-37 dalam ranji silsilah keluarga Nabi Besar Muhammad SAW.
Syeikh Abdur Razak semasa remaja bermukim di kampung Pappandangang dan mengaji serta menamatkan ilmu fikih dan ilmu alat (nahwu/saraf, mantiq dll.) pada zawiyah yang didirikan keluarga Assaqaf di Pappandangang.

Syeikh Abdur Razak menikah dengan I Kamummu KaraEng Cora (puteri La Baso Daeng Ngitung KaraEng Raja  ibn Lanrassang KaraEng Simbang Bukku’E matinroe ri Cidu’ sekaligus cicit dari I Malluluang Dg. Manimbangi, Karaeng Tanralili Matinroe Ri Cidu') pada tanggal 30 Dzulhijjah 1270 Hijriah dan dianugerahi beberapa orang anak, yakni:

1  Syeikh Abdullah, I Puang MallinrungE ri Leppakkomai, lahir pada hari kamis, 1 Syawal 1272 Hijriyah,
2  Asiyah, lahir pada hari Sabtu, 10 Dzulkaidah 1275 Hijriyah.
3  Abdul Karim, lahir pada tahun 1278 hijriyah
4  Adam, lahir pada tahun 1279 Hijriyah
5  Shaleh (wafat waktu kecil)
6  Harun, lahir pada tahun 1280 Hijriyah
7  Aisyah Puang Toa Sibo’, lahir pada malam Sabtu, 21 Sya'ban 1281 Hijriyah
8  Syeikh Abdur Rahman,I Puang mallinrungE ri Padaelo, lahir di Solojirang pada hari Sabtu, 30 Muharram 1285 Hijriyah
9  Abdul Rahim Al-Makki lahir di Mekah pada hari Sabtu, 16 Rabiul Akhir 1292 Hijriyah

Setelah Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni menamatkan ilmu fikih dan ilmu alat, beliau kemudian berguru dan mendalami Tarekat Khalwatiyah Samman pada "Syaekhu Syeikh Maulana Muhammad Fudail" di Barru. Syeikh Maulana Muhammad Fudail adalah Putra dari "Syeikh Abdullah Al-Munir", kerabat Kerajaan Bone dan Kerajaan Sumbawa seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Tercatat dalam sejarah tarekat Khalwatiyah Samman di Sulawesi Selatan bahwa Syeikh Abdur Razak menerima ajaran Tarekat Khalwatiyah Samman bersama-sama dengan beberapa tokoh kerajaan-kerajaan  yang ada di tanah celebes pada saat itu, yakni : 

1   I Mallingkaan Dg. Nyonri KaraEng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kala’biranna (Raja Gowa XXXIII, 1893-1895),
2   Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe’ (Arung Matowa Wajo),
3  Singkerru Rukka Arung Palakka Sultan Ahmad Idris Matinroe ri Tengngana Topaccing (Raja Bone XXIX, 1860-1871),
4  Topatarai Arung Berru,
5  Abdul Gani Petta Nambung Arung Ta', putra Syeikh Muhammad Fudail (Arung Ta’ adalah salah satu anggota Hadat Tujuh Kerajaan Bone yang mengepalai urusan Pendidikan dan Perkara Sipil. Beliau diangkat sebagai Arung Ta’ oleh Singkerru Rukka Arung Palakka, Raja Bone XXIX)
6  Baso Mattaliu, Watang LipuE ri Soppeng,
7  Katte’ La Dewang,
8  Katte’ Padaelo’
9  Kali Ma’doko
dan beberapa bangsawan tinggi lainnya.
  
Dalam hal tassauf, Syeikh Maulana Muhammad Fudail memberikan kaifiat-kaifiat dzikir dan wirid dari beberapa tarekat seperti Naqsyabandiyah, Syaziliyah dan Khalwatiyah Yusuf disamping kaifiat dan wirid Tarekat Khalwatiah Samman sendiri. Setelah murid-murid Syeikh Maulana Muhammad Fudail sudah mencapai maqam spiritual tertentu, maka Syeikh Maulana Muhammad Fudail kemudian mengijazahkan talqin dzikir Khalwatiyah Samman kepada semua muridnya untuk diajarkan pada keluarganya.
Sedang yang diamanahkan sebagai “Pelanjut” adalah Syeikh Abdur Razak. Proses ini terjadi saat beliau mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Beliau memasangkan jubah(khirkah) kepada Syeikh Abdur Razak sebagai simbol maqamnya disertai dengan pesan : “Siarkanlah tarekat Khalwatiyah Samman secara turun temurun oleh keturunanmu!”. Amanah ini berlaku bagi keturunan beliau yang telah mencapai Maqam Spiritual tertentutidak berlaku secara keseluruhan.
Syeikh Abdur Razak kembali ke Maros pada tanggal 10 Sya’ban 1283 H dan menetap di kampung PACELLE’  (bukan Paccelekang seperti yang pernah dituliskan salah seorang jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang juga seorang mantan Legislator Sul-Sel), yakni pada masa pemerintahan La Umma’ Dg. Manrapi KaraEng Turikale MatinroE ri Bonto Muloro’ (KaraEng Turikale III).
Di Turikale, Syeikh Abdur Razak mulai mengajarkan tarekat Khalwatiyah Samman di kalangan bangsawan lokal. Tercatat murid-murid beliau antara lain : La Umma’ Dg. Manrapi (KaraEng Turikale III), I Sanrima Dg. Parukka atau Syeikh Abdul Qadir Jailani (KaraEng Turikale IV, yang juga dikenal dengan gelar anumerta “KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na), I Patahuddin Dg. Parumpa (KaraEng Simbang), Abdul Wahab Dg. Mattuppu (Parengki) dan P. Mangung (Ipar Syeikh Abdur Razak) serta kedua puteranya, yakni Abdullah dan Abdur Rahman.
Pada hari Rabu, 21 Jumadil akhir 1288  Hijriyah (1866), La Umma DaEng Manrapi, KaraEng Turikale III wafat dan diberikan kepada beliau gelar anumerta “KaraEng Turikale MatinroE Ri Bonto Muloro”. Kemudian pada tahun 1289 H.(1867), I Sanrima Dg. Parukka dilantik menjadi KaraEng Turikale IV. Hal ini membawa pengaruh yang positif bagi perkembangan Tariqat Khalwatiyah Samman, karena I Sanrima KaraEng Turikale IV adalah salah seorang Khalifah dari Syeikh Abdur Razak yang banyak membantu dalam pengembangan Tariqat Khalwatiyah Samman.
Pada hari Kamis, 27 Jumadil akhir 1288 Hijriyah, Syeikh Abdullah, putera pertama Syeikh Abdur Razak berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menuntut ilmu. Kemudian pada hari Rabu, 20 Sya'ban 1291, Syeikh Abdur Razak beserta isteri dan putera puterinya berangkat menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci Mekah dan tiba di Mekah pada tanggal 20 Dzulkaidah 1291. Di Mekah, beliau menempati rumah berlantai dua bersama puteranya, Syeikh Abdullah yang telah bermukim dan menuntut ilmu selama dua tahun sebelumnya. Disamping menunaikan Ibadah Haji, beliau juga memantau perkembangan puteranya. Di Mekah, Syeikh Abdur Razak juga menyusun beberapa kitab Alfiah dan Tassawuf, dan bahkan beliau dikaruniai seorang putera yang lahir pada hari Sabtu, 16 Rabiul Akhir 1292 Hijriyah dan diberi nama Abdul Rahim Al- Makki. Setelah kurang lebih dua tahun di Mekah, Syeikh Abdur Razak beserta seluruh keluarga kembali ke Tanah Sulawesi.
Tidak berselang lama setelah kepulangannya, beliau kemudian menikahkan puteranya, Syeikh Abdullah dengan Aisyah (Isteri pertama, yang kebetulan namanya sama dengan nama puterinya) putri dari Daeng Mangngesa. Syeikh Abdullah menikah pada hari Jum'at, 12 Rabiul Awal 1293 Hijriyah. Dan pada tahun yang sama pula, Syeikh Abdur Razak mendapatkan cobaan dari Allah SWT., lima belas hari setelah pernikahan puteranya, seorang putrinya yang bernama Asiyah wafat pada hari Sabtu, 27 Rabiul Awal 1293 Hijriyah.
  1. Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin  “hijrah” ke Labu Bontong –  Pulau Sumbawa.
Tarekat Khalwatiyah Samman yang dibawa ke Maros oleh Syeikh Abdur Razak menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang demikian pesat tersebut juga tidak terlepas dari peran dan dukungan penguasa lokal yang ada pada saat itu, yakni KaraEng Turikale, KaraEng Simbang, Arung/Puwatta Cenrana, KaraEng Tanralili, serta beberapa Regent dan Bangsawan lainnya yang punya pengaruh di masing-masing wilayahnya.
Perkembangan tersebut terlihat dari peningkatan jumlah jamaah dan semakin banyak penguasa dari berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan yang singgah di kediaman Syeikh Abdur Razak untuk berguru dan mendalami Tarekat Khalwatiyah Samman. Kediaman beliau yang juga berfungsi sebagai zawiyah tersebut terletak di Kampung Pacelle’, wilayah Regentschap Turikale.
Pada masa keemasan ini Syeikh Abdur Razak mendapat cobaan dari Allah SWT. Pemerintah kolonial Belanda merasa sangat terusik dengan perkembangan Tarekat Khalwatiyah Samman dan kharisma dari Syeikh Abdur Razak. Belanda kuatir akan timbulnya kekuatan baru yang dianggap dapat menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga harus dicarikan solusi untuk menghilangkan sosok pemimpin agama yang sangat karismatik dan berpengaruh di Tanah Bugis-Makassar pada saat itu, yakni Syeikh Abdur Razak. Belanda sedapat mungkin menghindari penggunakan cara kekerasan dengan pengerahan pasukan. Pemerintah Kolonial Belanda berusaha mewujudkan tujuannya secara halus untuk  menghindari konsekuensi kemarahan dari jamaahnya yang dikenal sangat fanatik. Politik busuk belanda dilakukan dengan cara menebar fitnah yang ditujukan kepada Syeikh Abdur Razak. Sesosok mayat seorang seniman “pagesong-gesong” diletakkan oleh orang suruhan Belanda di halaman rumah Syeikh Abdur Razak.
Fitnah yang keji tersebut ternyata menuai hasil. Syeikh Abdur Razak menyadari ancaman pihak Belanda terhadap keselamatan jiwa jamaah dan keluarganya, sehingga beliau memutuskan untuk hijrah kembali ke tempat asal Tarekat Khalwatiyah Samman sebelum masuk ke Barru, yakni di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Keinginan beliau ini diutarakannya kepada I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV, dimana KaraEng Turikale sendiri tidak mampu untuk menahan keinginan Syeikh Abdur Razak yang sudah bulat untuk hijrah ke Pulau Sumbawa. Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin bermukim selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun di Turikale sebelum hijrah ke Pulau Sumbawa.
Sebelum Hijrah ke Sumbawa, Syeikh Abdur Razak terlebih dahulu memberikan izin kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani “ I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV” atau yang dikenal dengan gelar anumerta “KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na” untuk “mengangkat khalifah” dalam rangka pengembangan dan pembinaan Tarekat Khalwatiyah Samman secara meluas dan berkelanjutan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Syeikh Abdul Qadir Jailani menjalankan fungsi keummatan dibantu oleh dua orang putranya yaitu La Palaguna Dg. Marowa’ KaraEng Mangngento’ (Karaeng Turikale V atau juga dikenal sebagai “Puang KaraEng”) dan adiknya dari lain ibu, yakni La Page Manyanderi Petta Ranreng atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ Petta Hajji ” (Imam Turikale III).
Sebagai tindak lanjut dari amanah yg diberikan oleh Syeikh Abdur Razak, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani mengangkat putranya La Palaguna KaraEng Mangngento atau Puang KaraEng sebagai khalifah dengan gelar Syeikh Muhammad Salahuddin.
Pada bulan Rabiul Awal tahun 1293 H., Syeikh Abdur Razak hijrah ke “Labu Bontong” – Pulau  Sumbawa - NTB bersama keluarganya dengan menumpang kapal dagang belanda. Kapal dagang tersebut terlebih dahulu singgah beberapa waktu di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumbawa. Cobaan demi cobaan kembali diberikan oleh Allah SWT kepada Syeikh Abdur Razak. Sebelum berangkat, Abdul Rahim Al-Makki putera Syeikh Abdur Razak yang lahir di Mekah, wafat pada hari Selasa, 14 Rabiul Awal 1293 Hijriyah dan dimakamkan pada hari itu juga. Kemudian dalam perjalanan laut ke Singapura, isteri pertama Syeikh Abdullah yang bernama Aisyah meninggal dunia pada hari Ahad, 11 Jumadil Akhir 1293 Hijriyah. Dan setelah menempuh perjalanan laut selama beberapa bulan, Syech Abdul Razzaq tiba di Singapura pada hari Rabu, 12 Jumadil Akhir 1293 Hijriyah.
Selama di Singapura, Syech Abdul Razzaq menerima beberapa orang tamu yang transit di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Jeddah diantaranya Guru Maccading dan Katte Pagatan. Pada tanggal 18 Dzulqaidah 1293 Hijriyah, Syech Abdul Razzaq sekeluarga meninggalkan Singapura menuju Sumbawa. Setelah bermukim selama kurang lebih 5 bulan di Singapura dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pulau Sumbawa, maka akhirnya Syeikh Abdur Razak tiba di Pulau Sumbawa pada tanggal 10 Dzulhijjah 1293 H dan pada tanggal "14 Muharram 1294 H “, beliau mulai bermukim di daerah Labu Bontong. Daerah Labu Bontong merupakan daerah pesisir pantai yang masuk dalam wilayah Kerajaan Empang ( sekarang Kecamatan Empang Kabupaten Sumbawa ).
Setelah hampir setahun bermukim di Labu Bontong, Syeikh Abdur Razak kemudian pindah ke daerah “Jambu” yang juga masih dalam wilayah Kerajaan Empang-Sumbawa. Di daerah “Jambu” inilah, Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin beserta keluarganya berencana akan menetap. Beliau kemudian mendirikan rumah dan membuka ladang di daerah Jambu ini.

2. Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin memenuhi permohonan Syeikh Abdul Qadir Jailani “KaraEng Turikale MatinroE Ri Masigi’na” untuk  kembali ke Solojirang, Ibu Kota Turikale.

 Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin bermukim di Labu Bontong dan Jambu - Pulau Sumbawa, maka KaraEng Turikale MatinroE ri  Masigi’na merasakan kerinduan yang teramat dalam akan hadirnya kembali sosok Syeikh Abdur Razak ditengah-tengah ummat. Beliau sangat mengharapkan agar Syeikh Abdur Razak berkenan kembali ke tanah Maros. Dan pada saat itu timbullah niat besar beliau untuk berangkat ke Jambu – Pulau Sumbawa untuk menjemput Syeikh Abdur Razak.
Sebagai langkah awal, KaraEng MatinroE ri Masigi’na melakukan persiapan dengan mendirikan rumah panggung di Solojirang-Turikale untuk tempat tinggal Syeikh Abdur Razak beserta keluargannya dengan dilengkapi lumbung padi (kalampang) dan “Sumur” untuk kebutuhan wudhu dan minum. Setelah segalanya rampung, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani atau I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV atau KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na  bersiap untuk berangkat ke “Jambu” - Pulau Sumbawa untuk menjemput Syeikh Abdur Razak beserta keluarganya.

Sebelum berangkat ke Sumbawa, Syeikh Abdul Qadir Jailani terlebih dahulu memberi mandat kepada putranya, Syeikh Salahuddin “La Palaguna Dg. Marowa Karaeng Turikale V” untuk menjalankan pemerintahan ( ri Pasampeyangi ) sekaligus  memberikan izin kepada putranya tersebut untuk “mengangkat khalifah”. Hal ini dimaksudkan agar sepeninggal Beliau ke Sumbawa, Pemerintahan tetap berjalan dan Tarekat Khalwatiyah Samman tetap berkembang. Syeikh Abdul Qadir Jailani juga sudah mempunyai kebulatan hati untuk ikut menetap di Pulau Sumbawa  apabila Anre Gurunya, Syeikh Abdur Razak enggan kembali ke Sulawesi Selatan.
Setelah KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na tiba di Labuan Jambu, maka dengan penuh kesabaran beliau memohon agar Syeikh Abdur Razak berkenan menerima ajakannya untuk kembali ke Solojirang Turikale. Melihat ketulusan dan kesungguhan hati KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na, maka Syeikh Abdur Razak memenuhi ajakan tersebut untuk kembali ke Turikale. Syeikh Abdur Razak kembali terlebih dahulu ke Turikale bersama Syeikh Abdul Qadir Jaelani (Puang Karaeng Toa Turikale) beserta putera tertua beliau yakni Syeikh Abdullah
Di Turikale, Syeikh Abdur Razak menikahkan puteranya Syaikh Abdullah untuk kali kedua dengan St.Rugayah DaEng Tasa (putri Syeikh Muhammad Saleh, di Pulau Balang) pada 15 Sya'ban 1296 H. Selama berada di Turikale, Syeikh Abdur Razak menyempatkan untuk berziarah ke Makam Syaikh Maulana Muhammad Fudail di Barru pada 9 Ramadhan 1296 H. Dua bulan kemudian, pada 1 Dzulqaidah 1296 H beliau kembali ke Labuan Jambu untuk menjemput keluarganya dan tiba kembali di Turikale pada 15 Dzulhijjah 1296 H. 

3    AKTIFITAS DA’WAH SYEIKH ABDUR RAZAK DI DAERAH CENRANA

Setelah bermukim dan menetap di Turikale, Syeikh Abdur Razak kemudian memulai aktifitas da'wahnya dengan mengunjungi Cenrana/Camba (wilayah pegunungan) pada 2 Rabiul Awal 1297 H. Beliau berada di Cenrana selama beberapa puluh hari dan membaiat segenap kerabat Arung (Raja) Cenrana. Beliau tiba kembali ke Turikale 22 Rabiul Awal 1297 H. Pada tanggal 12 Dzulqaidah 1297, Syeikh Abdur Razzaq menuju Cenrana untuk kedua kalinya untuk melakukan da'wah selama 14 hari. Dari dua kali kunjungan Syeikh Abdur Razak di Cenrana, Thariqat Khalwatiyah Samman sudah melekat di hati kerabat Arung Cenrana dan sebahagian masyarakatnya, sehingga Arung Cenrana beserta kerabatnya datang ke kediaman Syeikh Abdur Razak di Turikale untuk berziarah pada 12 Jumadil Awal 1299 H. Dalam kesempatan tersebut, Arung Cenrana sekaligus mengundang Syeikh Abdur Razak untuk berkunjung ke Malaka, suatu wilayah pegunungan di wilayah Cenrana. Memenuhi undangan tersebut, Syeikh Abdur Razak bersama dengan Arung Cenrana menuju ke Malaka pada 23 Jumadil Awal 1299 H. Selama tujuh hari di Malaka, beliau melakukan da'wah dan membaiat beberapa orang kerabat Arung Cenrana, Arung Malaka dan masyarakat setempat. Syeikh Abdur Razak tiba kembali di Turikale pada 30 Jumadil Awal 1299 Hijriyah.

4    Leppakkomai dan petikan sejarahnya.

Setelah bermukim selama “29 (dua puluh Sembilan) tahun” di Solojirang - Turikale, Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin kemudian berniat untuk mencari permukiman baru yang letaknya agak jauh dari keramaian. Niat I Puang tersebut disampaikan kepada Karaeng Turikale MatinroE ri Masigi’na. Pada saat I Sanrima Dg. Parukka, Karaeng Turikale MatinroE ri Masigi’na berkunjung ke daerah Kuri untuk menjemput sima’ (Pajak) dengan menggunakan perahu menyusuri sungai maros, secara kebetulan beliau berjumpa dengan Haji Lolo yang sedang berdiri di tepian sungai dan secara spontan Haji Lolo meminta kesediaan Karaeng Turikale untuk singgah, “Leppakki’mae Karaeng,,,”. Karaeng Turikale beserta rombongan kemudian singgah dan diajak langsung oleh Haji Lolo menuju ke kediaman beliau. Pada saat berbincang-bincang, Haji Lolo kemudian mengutarakan niatnya untuk memaharkan tanahnya yang masih berupa hutan nipah dan semak belukar. Gayung bersambut, Karaeng Turikale juga menyampaikan bahwa kebetulan sedang mencari lahan untuk permukiman.
 Setelah tiba kembali di Solojirang, Karaeng Turikale kemudian menyampaikan perihal tanah yang akan dimaharkan Haji Lolo yang terletak di pinggir sungai sekitar daerah salarang. Selang beberapa hari, Syeikh Abdur Razzak beserta Karaeng Turikale dan Karaeng Simbang kemudian bertandang ke kediaman Haji Lolo untuk melihat langsung kondisi lahan yang dimaksud. Haji Lolo dan Syeikh Abdur Razzak ternyata telah saling mengenal pada saat beliau berdua berada di Mekkah. Haji Lolo adalah seorang pembimbing haji sewaktu berada di tanah suci Mekkah dan I Puang MatowaE-pun sempat menghadiri pernikahan puteri Haji Lolo yang bernama Khadijah sewaktu I Puang MatowaE bermukim di Mekkah. Setelah beliau berdua sepakat tentang mahar lahan tersebut, maka Syeikh Abdur Razak kemudian memutuskan untuk pindah bermukim ke daerah yang diberi nama “ Leppakkomai “
Pada tanggal “ 27 Dzulhijjah 1315 H. (1893) “, Syeikh Abdur Razak mendirikan rumah dan kemudian pindah dan menetap di Leppakkomai selama kurang lebih “5 (lima) Tahun” sampai akhir hayatnya.Kepindahan beliau juga dengan mengajak serta beberapa orang cucu Syeikh Maulana Muhammad Fudail untuk menetap di Leppakkomai sebagaimana yang diamanahkan Anre gurunya semasa hidup beliau. Di Leppakkomai, Syeikh Abdur Razak mempersiapkan kedua putera beliau untuk meneruskan amanah Da’wah dan pengembangan Tareqat Khalwatiyah Samman yang beliau emban bersama-sama dengan KaraEng Toa Turikale, Syeikh Abdul Qadir Jailani. Syeikh Abdur Razak Al Bugis Al Buni kemudian mengangkat kedua putera beliau selaku Khalifah sekaligus mengizinkan keduanya untuk mengangkat Khalifah.
Pada tahun ke empat beliau bermukim di Leppakkomai (1319 H.), Syeikh Abdur Razak kemudian membangun sebuah kubah (kalokko') sebagai tempat persiapan pemakaman beliau  kelak. Dan pada tahun ke empat itu pula salah seorang menantunya, I Potte Petta Baji, isteri dari Syeikh Abdur Rahman wafat dengan meninggalkan tiga orang putera yang masih kecil. I Potte Petta Baji dimakamkan disebelah utara Kubah dengan petunjuk langsung dari Syeikh Abdur Razak Al Bugis Al Buni. 
Pada hari "Selasa" tanggal “21 Muharram 1320 H.(1898)”, Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin “mallinrung”/wafat  dalam usia 71 Tahun dan dimakamkam di Kalokko'e - Leppakkomai. Setelah wafatnya, Syeikh Abdur Razak disebut dengan gelar anumerta “I Puang MatowaE MallinrungE ri Leppakkomai”. Komplek “Kalokko’e” tempat beliau dimakamkan berbentuk kubah dan di dalamnya saat ini juga terdapat makam istri beliau, yakni I Kamummu’ KaraEng Cora dengan gelar anumerta “Puang Towa Cora” dan kedua putera beliau, yakni Syeikh Abdullah, dengan gelar anumerta “Puang MallebuE Mesana MallinrungE ri Leppakkomai” dan Syeikh Abdur Rahman, dengan gelar anumerta “Puang ri Bolampare’na MallinrungE ri Padaelo’-Bone”.

5   TAREQAT KHALWATIYAH SAMMAN PASCA WAFATNYA SYAEKHU SYEIKH ABDUR RAZAK AL BUGIS AL BUNI 

Setelah Syaekhu Syeikh Al Haj Abdur Razak Al Bugis Al Buni I Puang MatowaE “mallinrung”, maka kedua putra beliau  melanjutkan da'wah sebagaimana amanah ayahandanya bersama dengan KaraEng Toa Turikale, Syeikh Abdul Qadir Djailani dan dua orang putranya yaitu Syeikh Muhammad Salahuddin, Karaeng Turikale V dan La Page Manyanderi Petta Ranreng (Petta Hajji).

Pada masa ini pula Syeikh Abdul Rahman I Puang ri Bolampare’na kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan We Cibang Petta Nurung, putri Syeikh Abdul Quddus Petta Nambung ibn  Syeikh Maulana Muhammad Fudail. Setelah walimah, Syeikh Abdul Rahman menuju Ke Kerajaan Bone dan bermukim di Padaelo yang berjarak kurang lebih 14 km dari Watampone.
Di Kerajaan Bone, kondisi Thariqat Khalwatiyah Samman boleh dikata sudah nyaris padam pasca wafatnya Singkerru Rukka Sultan Ahmad Idris, Raja Bone XXIX. Syeikh Abdul Rahman kemudian menghimpun murid-murid yang pernah dibina oleh Baginda Sultan yang rata-rata dari kalangan elit bangsawan Bone. Salah seorang diantaranya yang cukup menonjol bernama I Mattuppuang Petta Tangang (Dulung Ajang Ale) yang kemudian diangkat oleh Syeikh Abdul Rahman sebagai Khalifah dan beliaulah “Khalifah Pertama” di Kerajaan Bone pasca wafatnya Baginda Sultan Ahmad Idris. Pengangkatan Petta Tangang sebagai Khalifah berdampak positif bagi pengembangan Khalwatiyah selanjutnya, pengaruh Petta Tangang selaku Panglima Perang Kerajaan Bone membuat banyak kaum elit bangsawan Bone berbai'at menjadi Jema'ah Thariqat Khalwatiyah Samman. Syeikh Abdul Rahman kemudian mengangkat pula Abdul Rasyid (Puang Palakka) menjadi Khalifah, menyusul Guru Lama' di Lea, Guru Mappile di Salo’ Lampe’. Syeikh Abdul Rahman juga menuju ke Belo Kerajaan Soppeng dan mengangkat Daeng Pawawo selaku Khalifah di Lapajung (kakek buyut H.Andi Muhammad Hidayat Imam Turikale dari pihak ibu), Setelah itu, beliau ke Sinjai dan juga mengangkat Khalifah di sana, dan kemudian satu orang di Makassar.
Sementara itu, Syeikh Muhammad Salahuddin mengembangkan Khalwatiyah Samman sampai ke Kolaka, Sulawesi Tenggara dan beliau mengangkat H.Ismail (kakek mertua H.Syahruddin), mengangkat Khalifah di Lamatti Sinjai serta  Imam Palangga di Gowa. Syeikh Muhammad Salahuddin juga mengangkat Puang Tinri di Parengki selaku Khalifah dan H. Baco di Solojirang.

Putra KaraEng Toa Turikale yang lain, yakni La Page Manyandei Petta Ranreng (Petta Hajji) menuju ke wilayah Kerajaan Wajo. Beliau membina dan membai'at sejumlah jema'ah di Lagosi. Termasuk Arung Gilireng Cakkuridi Wajo (La Canno Petta Lampe Uttu). Selain itu, beliau juga membina jamaah di daerah Salo’ Jampu dan Liu sampai ke wilayah Kerajaan Soppeng.

6    PERIODE SYEIKH ABDULLAH DAN SYEIKH ABDUL RAHMAN

A.     SYEIKH ABDULLAH PUANG LOMPO IBN SYEIKH ABDUR RAZAK AL BUGIS AL BUNI

Syeikh Abdullah Puang Lompo lahir pada hari kamis, 1 Syawal 1272 Hijriyah. Beliau adalah putera tertua dari Syeikh Abdur Razak. Syeikh Abdullah menetap dan melanjutkan pengembangan tarekat ini di Leppakkomai yang kemudian bersama-sama Syeikh Muhammad Salahuddin KaraEng Turikale V membuka areal hutan untuk permukiman baru yang kemudian diberi nama “ Patte’ne”.

Pada tanggal 15 Sya'ban 1296 H. Syeikh Abdullah menikah untuk kali kedua di Solojirang-Turikale dengan St.Rugayah DaEng Tasa binti Syeikh Muhammad Saleh (Puang Sae’he’ ri Balang). Dari St.Rugayah, beliau dikaruniai tiga orang putera dan dua orang puteri yakni Syeikh Muhammad Saleh Puang Turu’ atau dikenal sebagai “Puang Lompo” atau Puang ri Patte’ne, Puang Ngona, Syeikh Muhammad Amin Puang Naba atau Puang ri NipaE/ri SumpangE, Syeikh Muhammad Ibrahim Puang Solong atau Puang ri Jala’terong dan Puang Bau’.

Syeikh Abdullah Puang Lompo ibn Syeikh Abdur Razak kemudian kembali mempererat ikatan kekeluargaan dengan keluarga Karaeng Turikale, yakni dengan menikahi putri dari Syeikh Abdul Qadir Jailani “I Sanrima Dg. Parukka, KaraEng Toa Turikale Matinroe ri Masigi’na”, yang bernama  I Gulmania Petta Baji yang juga adik kandung dari Imam Turikale III, La Page Manyanderi Petta Ranreng (Petta Hajji) dan I Dumpa Petta Lewa (Ayahanda A. Mardjan Dg. Malewa Arung Cenrana). Syeikh Abdullah ibn Syeikh Abdur Razak juga adalah ipar dari Syeikh Salahuddin “La Palaguna Dg. Marowa, KaraEng Turikale V” atau dikenal dengan sebutan Puang KaraEng Mangento’. Dari perkawinan ini, beliau dianugerahi seorang puteri yang bernama Hj.St.Rahmah Petta Sompa, yang kemudian walimah  dengan Petta Haji Dewa, kerabat Arung Ana’Banua.

Pelanjut dari Syeikh Abdullah ibn Syeikh Abdur Razak adalah ketiga putra Beliau, yakni :

1.      Syeikh Muhammad Saleh Puang Turu’ Puang Lompo “ I Puang Ri Patte’ne”
2.      Syeikh Muhammad Amin Puang Naba “Puang Ri NipaE”
3.      Syeikh Muhammad Ibrahim Puang Solong “Puang ri Jala’terong”

Ketiga masyaikh ini populer dengan sebutan Puang TelluE yang  bertindak selaku pelanjut ke-46 dan 47 dari silsilah tarekat Khalwatiyah Samman.

Pada masa “I Puang TelluE” (Syeikh M.Saleh P.Lompo,Syeikh M.Amin P.Naba,Syeikh Ibrahim P.Solong) Tarekat Khalwatiyah Samman mendapat tantangan yang cukup gencar dari beberapa kalangan Muslim sendiri, termasuk Raja Bone, La Mappanyukki Sultan Ibrahim. Pada Tahun 1931, beliau memprakarsai pertemuan ulama Sulawesi Selatan dengan mengundang Sayyid Abdullah ibn Sadaqah Dahlan untuk menentang ajaran Tarekat ini.


Dalam pertemuan itu, Sayyid Abdullah Dahlan mengeluarkan fatwa bahwa tarekat Haji Abdullah sebagai “bathil” karena berfaham Wahdat al-wujud dan Kalimat Al Abidu Wal Ma'budu Wahidun serta beberapa kalimat lain dianggap kafir. Fatwa itu dibacakan di Mahkamah Syariah Bone dan dihadiri oleh sejumlah ulama di tanah Celebes. Pada pertemuan tersebut, tarekat Khalwatiyah Samman diwakili oleh Syeikh Abd. Razak ibn Syeikh Abd. Rahman ibn Syeikh Abdur Razak Al Bugis Al Buni dengan didampingi oleh La Takka Petta Timusu, La Raung Petta Sanre serta Arung Kajuara (Ayahanda Alm.Jend.M.Yusuf). Sebelum pertemuan berlangsung, La Baso Dg. Sitaba Arung Ponceng (salah seorang anggota Hadat 7) menyarankan kepada Syeikh Abd. Razak “I Puang ri A’jalireng” agar Kitab Rujukan Khalwatiyah Samman disimpan di rumahnya (Arung Ponceng) utk menjaga keamanannya. Setelah Kitab2 rujukan tersebut disimpan di rumah Arung Ponceng, salah seorang ulama Bone yang bernama Guru La Husen yg kebetulan sempat melihat Kitab Rujukan Khalwatiyah Samman kemudian berkata : " Mangngatta masiri'i Puatta (Raja Bone), nasaba na asengi de' Kitta'na Khalwatiyah Samman ". Setelah Kitab referensi Tarekat Khalwatiyah Samman dihadirkan dalam pertemuan, maka Arung Kajuara (ayahanda Jend. M. Yusuf) bertanya kepada Raja Bone Mappanyukki tentang keputusan apa yg akan diambil oleh puatta (Raja Bone),,,Puatta Raja Bone tidak memutuskan apa dan bagaimana Tarekat Khalwatiyah tersebut, beliau hanya mengatakan bahwa masing2 kembali untuk berbuat kebajikan.

Setelah “Puang TelluE” mallinrung, maka dari generasi ke-3 (47 & 48) dan ke-4 (48) dari Syeikh Abdullah ibn Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin  yang bertindak selaku pelanjut adalah :

a.      Syeikh Amiruddin Puang Baso (Petta KaraEng) ibn Syeikh Muhammad Saleh “Puang Lompo” – Patte’ne
b.      Syeikh Muhammad Hamzah Puang Nippi ibn Syeikh Muhammad Saleh “Puang Lompo” – Patte’ne/Ulu Galung, Wajo
c.       Syeikh Abdullah Puang Rala ibn Syeikh Ibrahim Puang Solong – Patte’ne
d.      Syeikh Muhammad Sjajaruddin Malik Puang Tompo ibn Syeikh Muhammad Saleh “Puang Lompo” – Patte’ne
e.      Syeikh Abdul Rauf Puang Lallo ibn Syeikh Muhammad Amin “Puang ri NipaE” – Leppakkomai
f.        Syeikh Muhammad Ali Puang Turu ibn Syeikh Abdul Rauf ibn Syeikh Muhammad Amin – Leppakkomai

b.      SYEIKH ABDUL RAHMAN I PUANG RI BOLAMPARE’NA IBN SYEIKH ABDUR RAZAK AL BUGIS AL BUNI


Syeikh Abdur Rahman ibn Syeikh Abdur Razak lahir di Solojirang -Turikale pada tanggal 30 Muharram 1285 H. Syeikh Abdul Rahman yang dikenal sangat tak kenal lelah dalam  mempelajari berbagai ilmu dan Riyadah yang dilakukan-pun secara berkesinambungan, Hal ini yang mengantarkan Syeikh Abdul Rahman meniti maqam demi maqam yang lebih tinggi hingga menempati maqam tertentu dalam hirarki maqam ke-Sufian, lompatan kedepan yang cepat mengingatkan kita akan prestasi spiritual beberapa Ulama Sufi sebelumnya, antara lain Syeikh Abdul Qadir Jailani di Baghdad yang sudah menempati “Maqam Siddiqin” diusia 17 tahun, Syaikh Abdulllah Ibn Alawi di Hadramaut yang menempati “Maqam Quthub” diusia 26 tahun, Imam Nawawi dan Imam Al-Gazali yang juga menempati maqam Quthub di usia muda.

Berkenaan  dengan kemapanan pengetahuan dan kondisi maqam spiritual Syeikh Abdur Rahman, maka ayahnya memberikan ijazah Talqin Dzikir dan Silzilah Tarekat Khalwatiah Samman sebagaimana kakaknya, Syeikh Abdulllah.

Syaikh Abdur Rahman kemudian “diamanahkan” untuk kembali menyiarkan ajaran ini di Kerajaan Bone. Sebagai tindak lanjut dari amanah yang diberikan oleh ayahandanya, maka Syeikh Abdur Rahman hijrah ke Kerajaan Bone dan menetap di Padaelo’ yang letaknya sekitar 16 km dari Kota Watampone.

Pada masa tersebut, tarekat Khalwatiah Samman sudah mulai redup sejak wafatnya Baginda Singkerru Rukka Arung Palakka Sultan Ahmad Idris Matinroe ri Tengngana Topaccing (Raja Bone XXIX, 1860-1871). Semasa hidup Baginda Singkerru Rukka, tarekat Khalwatiah Samman sangat identik dengan “tarekat Arung”, hanya dianut oleh putra-putrinya dan kerabat kalangan bangsawan saja, sedangakan Khalifah yang diangkat oleh Baginda Singkerru Rukka juga dari kalangan bangsawan saja, termasuk “Arung Otting” yang pada masa itu juga sudah wafat.

Melihat kondisi ini, Syeikh Abdur Rahman mencari solusi yang tepat untuk menghidupkan kembali apa yang telah dirintis oleh Matinroe Ri Tengngana Topaccing. Syeikh Abdur Rahman kemudian menghimpun kembali jema’ah Tarekat Khalwatiah Samman yang masih ada, menggiatkan Majelis Dzikir dan menjalin secara intens tali silaturrahmi dengan tokoh-tokoh adat dari berbagai kalangan.
Dan untuk pertama kalinya Tarikat Khalwatiah Samman yang sebelumnya dikenal sebagai “ Tarekat Arung “ mulai diajarkan secara massal kepada kalangan awam.

Syeikh Abdullah dan Syeikh Abdur Rahman bersama-sama bertindak selaku Pelanjut ke-45 dari silsilah Tarekat Khalwatiyah Samman dengan mengedepankan prinsip sipakatau, sipakainge', sipakalebbi', sipakaraja dan sipakario-rio, dimana yang muda tetap menghormati yang lebih tua dan yang tua tetap menghargai yang lebih muda.

Syeikh Abdur Rahman menjalankan protokoler prosesi pengangkatan Khalifah dan mewajibkan para khalifah yang diangkat oleh beliau untuk berziarah kepada Syeikh Abdullah sebagai “Pelanjut yang dituakan” dan untuk menyampaikan pesan kepada Syeikh Abdullah bahwa mereka telah ditalqinkan sebagai Khalifah oleh Syeikh Abdur Rahman. Hal seperti ini juga dilakukan sebaliknya oleh Syeikh Abdullah sebagai bentuk penghargaan kepada adiknya, Syeikh Abdur Rahman.


Syeikh Abdur Rahman ibn Syeikh Abdur Razak ( I Puang ri Bolampare’na ) semasa hidupnya menikah beberapa kali. Yang pertama beliau dinikahkan oleh ayahandanya sendiri dengan I Potte Petta Baji, putri dari pasangan La Pattekkong Petta Lallo Arung Malaka dan Petta Nenre’ (Puteri dari La Pakanna Arung Cenrana). La Pattekkong Arung Malaka adalah putra  dari La Mappaleppang Petta Tone’ Arung Majang MatinroE ri Makuring yang merupakan  putra dari La Pajarungi Arung Majang. La Pajarungi sendiri adalah putra dari La Makkarodda Arung Majang ( putra dari pasangan We Tenri Pakkemme’ Arung Majang binti La Temmassonge Raja Bone XXII  dan La Muanne Arung Panciro ri Gowa ibn La Parepai Tosappewali Raja Gowa XX/Raja Bone IX.

Setelah walimah, Syeikh Abdur Rahman memboyong istrinya, I Potte Petta Baji ke Leppakkomai. Salah seorang pengikut Arung Malaka yang telah lama tinggal di Sao’ RajaE yang bernama “Sojo” diperintahkan oleh Petta Lallo Arung Malaka : “ Iko maccoeki puangmu Sojo! “. Sosok “Sojo” tersebut ternyata mampu mencapai maqam spiritual yang tinggi. Hal ini nampak dengan “karamah” yang juga terdapat dalam diri “I Sojo” sehingga makamnya seolah memiliki magnet untuk diziarahi oleh jamaah yang datang ke Leppakkomai.

Dari isteri beliau, Petta Baji, Syeikh Abdur Rahman dikaruniai tiga orang putera yakni, Syeikh Muhammad Quddus, Syeikh Muhammad Zainuddin dan Syeikh Abdul Razak.

Pertalian keluarga Syeikh Abdur Razak “Puang matoaE” dengan kerabat Syeikh Abdul Qadir Jaelani “KaraEng Turikale MatinroE ri masigi’na” kembali terjalin dengan pernikahan putra kedua dari Syeikh Abdur Rahman ibn Syeikh Abdur Razak, yakni Syeikh M. Zainuddin dengan putri dari La Page Manyanderi Petta Ranreng “Petta Hajji” yang bernama Petta Hj. Khalawiyah Dg. Kumala. Dari pernikahan ini lahir :

1    A.Abd. Rahman P. Mangung, yang kemudian menikah dengan putri Syeikh Muhammad Amin “Puang ri NipaE” yang bernama St. Rugayah P. Tayo.
2    Syeikh Muhammad Syattar Petta Tompo, beliau ditalqinkan sebagai pelanjut (47) oleh Syeikh Muhammad Amin Puang ri NipaE dan Syeikh Muhammad Saleh Puang Lompo. Beliau merupakan tokoh tarekat Tarekat Khalwatiyah Samman yang diamanahkan menghadiri pertemuan dengan ulama2 se-sulawesi selatan oleh “Puang TelluE” untuk melakukan pembelaan terhadap Tarekat Khalwatiyah Samman di Hutan Wanuawaru, perbatasan Maros-Bone. Beliau walimah dengan sepupu satu kalinya yakni Hj.A.Tassakka binti Syeikh Abd. Razak I Puang ri A’jalireng.
3   Hj.A.Gulmania P. Baji, yang kemudian walimah dengan A. Padduppa, kerabat Arung Macege’ dan Arung Cenrana. Dari pernikahan ini lahir A.Azhar Paduppa (Ka.Diknas Maros).
4  A.Ahmad P. Tuju (mantan Ka.Bangdes Maros diera 1980-an). Beliau menikah dengan sepupu satu kalinya yang bernama St. Maryam Krg. Bau, putri dari  A. Amrullah Petta Ranreng dan KaraEng Manneng (Putri dari KaraEng Tompo’Bulu-Bantaeng).
5  A.Burhanuddin P. Rani (ex. Ka.Kandep Dikbud Maros 1981-1989).  
6. A.Fudail P. Bone

Setelah isteri beliau, Petta Baji wafat, maka Syeikh Abdul Rahman menikah lagi untuk yang kedua kalinya dengan We Cibang Petta Nurung, Putri dari Syeikh Abd. Quddus Petta Nambung ibn Syeikh Maulana Muhammad Fudail. Isteri kedua Beliau memberikan perhatian dan kasih sayang kepada ketiga orang putra Syeikh Abdul Rahman sebagai mana anak kandungnya sendiri, mengingat antara  isteri pertama dan isteri kedua  Syeikh Abdul Rahman masih kerabat dekat. Dari pernikahan kedua tersebut beliau dikaruniai seorang putri yakni St. Maemunah. Kemudian Syeikh Abdul Rahman menikah lagi dengan St. Naimah dan memperoleh seorah puteri yang bernama St. Rahana yang kemudian walimah dengan Karaeng Sau’, kerabat Karaeng Tanralili. Syeikh Abdur Rahman kemudian menikah dengan Dg. Tasabbe, namun tidak mempunyai keturunan.

Syeikh Abdul Rahman wafat di Padelo Bone pada hari jum’at, 29 Jumadil awal 1338 H. Jenazah Syeikh Abdul Rahman dibawa dari Padaelo (Bone) ke Leppakomai (Maros) dengan menggunakan usungan besar. Usungan tersebut diantar oleh ratusan orang secara estafet dari padaelo menuju kampung lainnya sampai ke Leppakomai selama 7 hari 7 malam. Jenazah beliau diikuti oleh 3 orang puteranya dan 2 orang keponakannya, putra dari Syeikh Abdullah yaitu Syeikh Muhammad Saleh (Puang Lompo) dari Patte’ne dan Syeikh Muhammad Amin dari Leppakomai. Pada saat iringan Jenazah memasuki wilayah Camba, jenazah beliau sempat disemayamkan untuk memberikan kesempatan kepada jemaah khalwatiyah Samman dan masyarakat luas untuk membacakan do’a atas permintaan Arung Cenrana. Hal yang sama dilakukan saat memasuki wilayah Bantimurung. Karaeng Simbang menjamu para pengiring jenazah beliau dan terakhir jenazah beliau disemayamkan di Solojirang Turikale untuk memberikan kesempatan pada para jemaah khalwatiyah Samman untuk memanjatkan do’a. Selanjutnya jenazah diusung ke Leppakomai untuk dimakamkan di Kalokko’E , dekat Ayahanda beliau, Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.

 Penutup

"Pelanjut"  tarekat Khalwatiyah Samman bersifat kolektif, seperti yang nampak pada masa Syeikh Abdullah dan Syeikh Abdur Rahman yang berada pada posisi pelanjut ke-45 dari silsilah Tarekat Khalwatiyah Samman .

Pelanjut dari Syeikh Abdullah adalah putra-putranya yakni Syeikh Muhammad Saleh (Puang Lompo), Syeikh Muhammad Amin (Puang Ri NipaE) dan Syeikh Muhammad Ibrahim.
Sedang Pelanjut dari Syeikh Abdur Rahman adalah juga putra-putranya, yakni Syeikh Abdul Quddus, Syeikh Muhammad Zainuddin (Puang Ri Solojirang/Imam Turikale VI) dan Syeikh Abdul Razak (Puang Ri A'jalireng).

Demikian sedikit petikan sejarah tentang Syeikh Akbar Tarekat Khalwatiyah Samman, yakni Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin (gelar ini diberikan oleh Imam Masjidil Haram pada waktu beliau bermukim di tanah Suci Mekkah). Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman tentang perjalanan Tarekat Khalwatiyah Samman yang berpusat di Maros dan meluruskan pemahaman tentang para “pelanjut” Tarekat Khalwatiyah Samman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A