Langsung ke konten utama

Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Imperium Persia Sebelum Era Islam

Raja Yazdegerd III adalah penguasa Kekaisaran Sasaniyah di Persia (Iran) terakhir sebelum diambil-alih oleh pasukan muslim yang datang dari Arab.

Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam

Posisi Yazdegerd III sudah sangat terdesak pada 651 Masehi itu. Setelah kekalahan besar di Perang Nahawand yang terjadi pada 642 M silam, Kekaisaran Sassaniyah yang pernah sangat berjaya di Persia memang mulai menatap keruntuhannya, dan itu akhirnya terjadi juga.

Selama 10 tahun itu, Yazdegerd III sebagai penguasa Sassaniyah harus selalu berpindah tempat untuk menghindari pasukan muslim yang datang menyerang dari seberang teluk. Meskipun masih sempat melakukan perlawanan kendati secara gerilya, tapi tentara Arab terlalu kuat sehingga raja penganut Majusi ini terpaksa menjadi pelarian.

Hingga suatu hari di suatu tempat bernama Merv (kini termasuk wilayah Turkmenistan), Kaisar Yazdegerd III akhirnya terbunuh. Bukan oleh tentara Islam, tetapi dihabisi oleh bawahannya sendiri yang memberontak karena merasa sang raja sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Persia pun sepenuhnya jatuh ke pelukan Islam.

Persia Pernah Berjaya

Tanggal 16 Juni 632 Masehi atau tepat 1.385 tahun silam, Yazdegerd III dinobatkan sebagai penguasa Kekaisaran Sassaniyah di Persia yang ke-38 pada usia yang masih sangat belia, 8 tahun. Yazdegerd III dipilih sebagai jalan tengah untuk menyelesaikan perang saudara yang kala itu sedang melanda Dinasti Sassaniyah.

Yazdegerd III adalah cucu Khosrau II, raja Sassaniyah yang pernah dua kali memimpin. Periode pertama hanya bertahan beberapa bulan saja pada 590 M sebelum ia dikudeta, lalu naik tahta lagi pada 591 M. Periode pemerintahan Khosrau II yang kedua ini berlangsung lama hingga tahun 628 M (Saeed Alizadeh, et.al., Iran: A Chronological History, 2004).

Dinasti Sassaniyah sendiri berdiri sejak 224 M dan pernah menjadi kekuatan terbesar di Asia Barat, Selatan, dan Tengah. Shapur Shahbazi (2005) dalam buku Sasanian Dynasty menyebutkan, selama lebih dari 400 tahun, Kekaisaran Sassaniyah merupakan lawan sepadan bagi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menjadi simbol kekuatan Eropa.

Kejayaan Persia mulai sirna setelah akhir pemerintahan Khosrau II yang selanjutnya lebih kerap akrab dengan perang saudara. Sejak 628 hingga 632 M atau hanya dalam kurun waktu 4 tahun, Kekaisaran Sassaniyah telah berganti raja sampai 14 kali. Dan, yang menjadi raja terakhir Dinasti Sassaniyah sebelum Persia beralih-rupa adalah Yazdegerd III.

Serangan Dari Arab

Naik tahtanya Yazdegerd III yang masih bocah rupanya dimanfaatkan betul oleh kekhalifahan Islam yang berpusat di Madinah. Tahun 633 M, pasukan muslim menyerbu salah satu negara taklukan Kekaisaran Sassaniyah yang berlokasi di Irak, yakni Kerajaan Bani Lakhm, dan berhasil merebutnya (John Middleton, World Monarchies and Dynasties, 2015).

Sassaniyah tak tinggal diam. Yazdegerd III mengutus jenderal kepercayaannya, Rostam Farrokhzad, untuk memimpin pasukan menuju ke Irak. Terjadilah pertempuran pertama antara Dinasti Sassaniyah melawan pasukan muslim pada 634 M yang dikenal dengan nama Perang Jisr (Khalid Yahya, ed., The History of al-Tabari, 1993:188). Persia meraih kemenangan dalam perang ini.

Namun, situasi berbalik setelah Umar bin Khattab menjadi pemimpin Madinah, khalifah ke-2—setelah wafatnya Nabi Muhammad—sebagai penerus Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sejak awal kepemimpinannya, Umar memang berupaya untuk memperluas wilayah Islam (Irfan L. Sarhindi, The Lost Story of Kabah, 2013:208).

Khalifah Umar yang mulai memimpin di Madinah sejak 23 Agustus 634 M langsung menyusun strategi demi membalas kekalahan dari Sassaniyah di Irak. Pada 636 M, dikirimlah pasukan muslim dalam jumlah yang lebih besar di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqqash. Bentrokan pun terjadi di sebelah barat Sungai Eufrat. 

Pertempuran yang dikenang dengan nama Perang Al-Qadisiyyah ini dimenangkan oleh pihak muslim. Yazdegerd III bahkan harus kehilangan tiga panglima terpentingnya, yaitu Rostam Farrokhzad, Bahman Jadhuyih, dan Armenia Jalinus, yang tewas (Peter Crawford, The War of the Three Gods: Romans, Persians, and the Rise of Islam, 2013:140).

Kekalahan ini menjadi awal petaka bagi Dinasti Sassaniyah yang mengalami nasib serupa dalam pertempuran berikutnya Perang Jalula yang terjadi pada pada 637 M. Puncaknya, Persia menderita kekalahan terbesar pada 642 M dalam Perang Nahawand. Situasi ini memaksa Yazdegerd III terpaksa pergi dari istananya untuk menyelamatkan diri dan mencari bantuan.

Runtuhnya Kekaisaran Iran

Saat Dinasti Sassaniyah sedang menanti keruntuhannya, sejumlah referensi menyebut bahwa Yazdegerd III menerima surat dari Umar bin Khattab. Melalui surat tersebut, Khalifah Umar meminta kepada penguasa Sassaniyah itu untuk menyerah. Yazdegerd III akan diampuni jika bersedia meninggalkan agamanya, Zoroaster, dan masuk Islam.

Namun, kebenaran dari keberadaan surat itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah beredar luas. Salinan surat tersebut, beserta balasan dari Yazdegerd III yang menolak mentah-mentah tawaran Umar, disebut-sebut berada di Museum London, Inggris.

Umar bin Khattab sendiri wafat pada 3 November 644 M, dua tahun setelah Perang Nahawand yang merupakan kemenangan terbesar atas Sassaniyah. Umar tewas ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak yang mendendam gara-gara penaklukan Persia (Mazheruddin Siddiqi, Modern Reformist Thought in the Muslim World, 1982:147).

ang jelas, Yazdegerd III memang tidak pernah memenuhi permintaan Umar bin Khattab untuk menyerah dan memeluk Islam. Ia masih berusaha mencari bantuan kepada vasal-vasal taklukan kerajaannya, hingga berupaya mencapai Cina untuk meminta perlindungan dari Dinasti Tang yang memang bersahabat dengan Kekaisaran Sassaniyah.

Asa Yazdegerd III itu tidak pernah terwujud karena ia akhirnya mati di tangan anak buahnya sendiri dalam perjalanan menuju Cina. Kematian Yazdegerd III sekaligus menutup riwayat Kekaisaran Sassaniyah. Persia pun menyongsong era baru di bawah naungan Madinah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A