Langsung ke konten utama

CIKAL BAKAL PENGUASA BUGIS DI TANAH MELAYU

Raja Haji Fisabilillah & Daeng Kamboja


Foto Laruka Tanjungpinang I.
Engku Putri, Wanita Yang Melawan Dengan Seribu Kata
Ketika dilahirkan nama Engku Hamidah adalah Raja Hamidah, anak perempuan pertama Raja Haji. Ibu nya adalah Raja Perak, Putri Daeng Kamboja. Raja Haji Dipertuan Muda Riau Lingga IV (1778-1874) , sedangkan Raja Perak Dipertuan Muda Riau Lingga III (1748 -1777). Raja Hamidah dilahirkan di Ulu Riau pusat pemerintahan kerajaan Riau Lingga. Raja Hamidah diperkirakan lahir sekitar tahun 1774. Setelah pusat kerajaan pindah dari Johor. Ketika dia dilahirkan, ayahnya Raja Haji masih berstatus Kelana Putra Jaya, yaitu jabatan yang diberikan kepada calon yang Di Pertuan Muda.
Tugasnya menjaga teluk Rantau dan memerangi musuh yang datang. Raja Hamidah mungkin dilahirkan di istana Kota Piring, karena ayahnya telah membangun istana megah itu jauh sebelum dia menjadi Yang Dipertuan Muda. Mungkin juga dikawasan di istana Yang Dipertuan Besar (Sultan) di Ulu Riau. Karena dikawasan itu dahulunya baik Yang Dipertuan Besar maupun Yang Dipertuan Muda menetap bersama. Raja Hamidah masih mempunyai beberapa saudara yang lain. Yang seibu seayah adalah Raja Siti. Seayah tapi berlainanan ibu antara nya Raja Djafaar, Raja Idris, dan tentu saja Raja Ahmad sibungsu.
Sebagai putri seorang panglima perang Kelana Jaaya Putera yang Dipertuan Muda, maka Raja Hamidah tentulah dibesarkan dalam tradisi istana, tradisi kebangsaan, tradisi perang dan militerisasi. Tetapi Raja Haji juga seorang yang taat beragama, menghargai para ulama dan keistanaanya di Kota Piring, ia pun banyak mendatangkan banyak guru dan mengajarkan mereka tentang ilmu agama dan pengetahuan. Raja Hamidah pun dibesarkan dalam tradisi adat Melayu dari ibunya maupun pemuka adat dari garis Bugis. Tradisi ini tentu ikut membentuk karakter dan pemahaman Raja Hamidah tentang dirinya, posisinya sebagai putri bangsawan, sebagai ahli waris dari seorang yang Dipertuan Muda dan garis keturunan yang unggul, baik dari garis Melayu maupun Bugis. Proses pendidikan besar dalam istana yang dipertuan muda, pengembaraannya di tengah perang bersama abang sepupunya Raja Ali, dan konflik politik yang mewarnai masa muda nya tentulah akhirnya mewujudkan sosok Raja Hamidah yang anggun, kukuh, beradat istiadat, cerdas, dan bijaksana. Wanita anggun dan sangat beribawa.
Raja Hamidah telah masuk ke wilayah kekusaan dan politik begitu ia dewasa, dan kemudian dipersunting Sultan Mahmud lll dan menjadi Permaisuri kerajaan Riau Lingga. Saat menikah dengan Sultan Mahmud tahun 1803 Raja Hamidah sudah menjadi perempuan yang matang dan karena itu dinilai sanggup memikul berbagai masalah pelik bagi seorang perempuan istana, baik beban politik maupun tekanan kekuasaan lain dipundaknya yang di titpkan para pemuka adat dan pembesar negeri khususnya keturunan Bugis. Usianya yang sekitar 29 tahun, tentulah telah memberikan Raja Hamidah usia yang matang dan bijak sebagai seorang bangsawan dari pihak Bugis maupun sebagai permaisuri.
Perkawinan dengan Sultan Mahmud lll memang sebuah perkawinan politik bukan perkawinan yang bangkit dengan rasa cinta. Ketika perkawinan itu terjadi mereka berselisih 20 tahun lebih. Sultan Mahmud mendkati umur 50 tahun dan sudah mempunyai tiga orang istri. Yang pertama Encik Puan, putri Bendahara Pahang yang dianggap sebagai permaisuri gahara. Yang kedua adalah Encik Makoh keturunan Bugis. Yang ketiga adalah Encik Mariam keturunan Melayu. Tapi Raja Hamidah telah menerima perkawinan itu dengan ikhlas menjadi istri keempat, dan dari penafsiran catatan – catatan yang ada, tampak nya ia sadar saat menjalani perkawinan itu, paling tidak mengemban tiga tugas berat :
a. Pertama
Nikahul Siasah ( perkawinan politik ) yang tujuan utama nya untuk meredam konflik politik antara pihak Melayu dan Bugis, akibat perebutan kekuasaan dan jabatan yang dipertuan muda Riau Lingga antara Tengku Muda Muhammad ( putera Temenggung Abdul Jamal ) dengan Raja Ali ( putera Daeng Kamboja ). Konflik politik yang diwarnai perang saudara ini berlangsung lebih dari 8 tahun ( 1795-1803 ) dan menelan banyak harta dan nyawa.

Tengku Muda Muhammad melawan karena merasa dia lah yang berhak sebagai yang dipertuan muda, karena dialah yang ditugaskan dan di angkat oleh Sultan Mahmud sebagai Raja Muda ( sebutan jabatan dari pihak Melayu sedangkan pihak Bugis menyebutkan yang Dipertuan Muda ). Setelah Belanda menang perang melawan Riau (1784) sebagaimana isi perjanjian diatas kapal perang Utrecht mensyaratkan, bahwa jabatan Raja Muda tidak boleh diberikan keturunan Bugis. Sementara Raja Ali, juga merasa berhak, karena jabatan yang Dipertuan Muda itu hak keturunan Bugis dan sudah di ikrarkan dalam sumpah setia Melayu- Bugis, sejak tahun 1722, dan dia katanya sudah dilantik menjadi yang Dipertuan Muda Riau Lingga oleh Sultan Salahuddin Selangor, saudara Raja Haji, setelah Raja Haji tewas di Teluk Ketapang. ( inilah sengjeta politik yang unik, Raja Ali itu anak Daeng Kamboja, cucu dari Daeng Perani.
Sementara Tengku Muda Muhammad itu anak Raja Maimunah dan Raja Maimunah itu adalah anak Daeng Perani. Jadi yang berkelahi dan berebut kuasa itu adalah cucu- cucunya Upu Daeng Perani. Satu mewakili dinasti Bugis Luwu. Yang satu mewakili dinasti Melayu Johor. Tapi kedua kaum itu sudah bercampur baur. Konflik ini memang benar- benar konflik kepentingan dan nafsu politik mereka, karena setelah gugur nya Raja Haji yang Dipertuan Muda IV Riau Lingga tahun 1784 adalah : Tengku Muda Muhammad yang Dipertuan Muda Riau Lingga V ( 1795-1803 ), Raja Ali yang Dipertuan Muda Riau Lingga VI (1803-1805), Raja Djafaar yang Dipertuan Muda Riau Lingga VII (1805-1832), dan Raja Abdurrahman yang Dipertuan Muda Riau Lingga VIII (1833-1844) dan seterusnya).
Untuk meredam konflik ini, maka harus ada perdamaian dan penyelesaian politik yang menguntungkan kedua pihak. Dan orang di balik sekenario politik dan perdamaian ini, berdirilah Sultan Salahuddin atau Raja Limu, Sultan Selangor ( anak Daen Celak, saudara kandung Raja Haji Fisabilillah, ayah saudara sepupu kedua tokoh yang bertikai itu ). Raja Limu ini, dalam perjalanan sejarah Riau Lingga memang menjadi tokoh sentral pihak Bugis, yang sangat disegani dan di hormati para keturunan Bugis. Namun tentu saja yang sangat tidak disenangi pihak Melayu seperti Temenggung Johor, Bendahara Pahang, dan tokoh sentralnya pihak Melayu ini adalah Tun Dalam, Raja Terengganu.
Upaya damai itu, akhirnya melahirkan apa yang disebut sebagai? Perdamaian Kuala Bulang ( menggambil nama sebuah pulau besar di sekitar Batam, tempat menetap pihak keturunan Mealyu, seperti Temenggung Johor dan Bendahara Pahang). September 1803. Inti kesepakatan politik itu, antara lain adalah : Sultan Mahmud, sebagai sosok keturunan Bugis, dan penerus Raja Haji Fisabilillah), dengan tujuan meluluhkan perseteruan Melayu dan Bugis. Bukannya hanya dalam politik, juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bayangan mereka, melalui percampuran darah itu kelak, jika di takdirkan, putera yang lahir dari perkawinan ini, akan menjadi Putera Mahkota ( Tengku Besar, begitu sebutan nya ) sebagai calon Sultan yang gahara, dan di tubuh nya darah Melayu dan Bugis bersatu, dan akan menjadi keturunan Bugis Melayu pertama di tahta kerajaan Riau Lingga ( karena sebelumnya semua Sultan Johor, Riau Lingga, harus berdarah Melayu yang sangat kuat, karena jabatan sultan itu memang menjadi hak nya orang- orang keturunan Melayu). Itulah beban politik dan sejarah yang di letakkan di bahu Raja Hamidah, perempuan bangsawan yang berusia 29 tahun itu.
Sementara itu, untuk mengeleminir konflik lainnya, anak Tengku Muda yang bernama Tengku Puan atau Tengku Buntat ( nenek nya adalah Raja Maimunah, anak Daeng Perani). Dikawinakan dengan putera sulung Sultan Mahmud, yang bernama Tengku Husin atau Tengku Long ( ibunya Encik Makoh, keturunan Bugis tetapi bukan permaisuri yang gahara). Inipun sekenario penyelesaian konflik melalaui percampuran darah. Kelak putera Tengku Husin dan Tengku Buntat, di harapkan akan menjadi Sultan .
Seterusnya, Raja Ali, tokoh Bugis itu mendapat kembali jabatan yang Dipertuan Muda, Dan dia akan menjadi Yang Dipertuan Muda VI Riau Lingga. Sedang Tengku Muda Muhammad, tokoh Melayu itu yang meskipun anaknya menjadi calon permaisuri kerajaan Riau Lingga, tapi dia menolak ketika ditawarkan jabatan jadi Temenggung Johor mengganti ayahnya Temenggung Abdul Jamal yang meninggal. Tengku Muda Muhammad memilih menyingkir ke Temasek ( Singapura sekarang ) dan kemudian menetap di pulau Bulang, meniggal disana. Jabatan Temenggung, diberikannya kepada anak saudaranya Tun Abdurrahman.
b. Kedua
Sebagai putri bangsawan yang darah Bugis nya lebih besar, dapat diperkirakan pihak pembesar Bugis, ingin Raja Hamidah sebagai permaisuri dapat menjaga kepentingan pihak Bugis di puncak kekuasaan. Baik dalam mengatur jabatan, maupun kepentingan ekonomi dan kekuasaan lainnya ( dalam Tuhfat An Nafis, ada kutipan kata bersayap yang diucapakan oleh Raja Ali, ketika Raja Hamidah hendak di kawinkan dengan Sultan Mahmud : Akhirnya hinggap juga elang itu ke sarang ).

Raja Hamidah diharapkan menjadi kekuatan dibelakang layar yang ikut mengatur peraturan kekuasaan yang menguntungkan pihak Bugis, sampai kepada penetapan siapa pengganti Mahmud kelak sebagai Sultan, jika Mahmud mangkat. Karena itu, masuk akal lah kalau Tengku Husin, disebut-sebut sebagai pilihan utama untuk dijadikan pengganti Mahmud, jika perkawinan Mahmud dan Raja Hamidah tidak menghasilkan keturunan ( malang nya memang begitulah takdirnya, meskipun menurut satu catatan Raja Hamidah pernah melahirkan seorang putri namun meniggal ). Karena selain darah Bugis nya lebih besar, dia juga putera yang sulung. Bukan Tengku Abdurrahman,putera mahkota kedua sultan yang darah Melayunya lebih besar, karena ibunya Encik Mariam adalah keturunan Melayu, dan juga bukan putera dari permaisuri gahara. Itulah beban yang agaknya di panggul Raja Hamidah, yang setelah menjadi permaisuri.
Dalam perjalanan kepermaisuriannya, memang dapat di mengerti seperti beberapa catatan yang menyatakan Raja Hamidah memang sangat menyayangi dan memanjakan Tengku Husin, anak tiri nya itu. Memang tidak lah ada kutipan atau fakta eksplisit yang menyebutakan itulah memang perujudan dari beban politik yang di pikulakan oleh petinggi pihak Bugis kepadanya, dan Engku Puteri telah menjalankan nya sebagai strategi pihak, dan itulah pula sebab mengapa ketika Raja Djafaar memilih Tengku Abdurrahman sebagai pengganti Mahmudsyah, dan bukan Tengku Husin, maka Engku Puteri begitu marah, dan nyaris berpatah orang dengan saudara kandungnya itu.
Namun, dari berbagai catatan lain, sebuah kenyataan yang juga tercatat dengan baik adalah, ternyata Raja Hamidah telah meletakan dirinya, benar- benar sebagai permaisuri dan istri yang setia, dan bukan sebagai personifikasi kepentingan politik keturunan Bugis sementara. Dia benar- benar seorang istri, seorang permaisuri, tempat Sultan Mahmud meletakan kasih sayang dan kerinduannya. Tempat Sultan bertanya, tempat Sultan bertanya, tempat Sultan mencurahkan kerisauannya. Kecantikannya, kecerdasaannya, keteguhan hati, dan pemahamannya yang luas tentang politik, adat istiadat, dan kebiasaan negeri-negeri yang besar ( Engku Puteri banyak belajar dari pamannya Sultan Selangor tentang pemerintahan, dan belajar membangun negeri dengan sering berkunjung ke Selangor, Malaka, dll di semenanjung Malaka ) membuat pengetahuan sangat luas, dan arif dalam bersikap.
Engku Puteri telah menjadi Think Thanknya Sultan Mahmud. Menjadi penasehat ( bukan pembisik ), dan pengawal adat istiadat dan budaya kerajaan Melayu itu pulalah agaknya, kemudian Sultan Mahmud, memberi dua tugas menjadi penjaga dan pemegang Regelia kerajaan, berupa tanda dan panji kebesaran, pangkat nobat, sirih besar ( cogan, gendang, nafiri, dll ). Sebuah kedaulatan tidak akan sah dan berdaulat seorang Sultan, jika pelantikannya tidak menggunakan Regelia ini, karena itu pemegang Regelia itu, sekaligus jga adalah penjaga adat istiadat, dan tradisi. Didalam kesatuan anatara Regelia dan adat istiadat kebesaran budaya kerajaan itu, melekat marwah ( kehormatan ), harkat dan martabat kerajaan. Jika rusak dan binasa kedua kekuatan spritual ini, maka hancur dan runtuhlah harkat dan harga diri bangsa itu.
Bagi kerajaan- kerajaan Melayu itu, sebuah kerajaan boleh saja takluk, direbut dan dikuasai oleh pihak lain. Raja dan Sultannya bisa saja terusir dan melariakan diri ke kawasan lain, mencari perlindungan. Tetapi, selagi Regelia kerajaan tidak di rampas, tidak di rebut, selagi Regelia sakti dan keramat itu masih dipegang san rajanya, maka selagi itulah kedaulatan negeri itu masih tegak. Sultannya tetap punya daulat, dan dia bisa bekerjaan dimana saja, dan dirajakan dimana saja. Karena sukma yang sakti itu, belum di taklukkan.karena itulah, siapa pun yang memegang dan di beri tugas menjaga Regelia itu, adalah seorang yang kuat dan perkasa. Seorang yang kuasa nya jauh di atas kekuasaan lain, termasuk sultannya sendiri.
c. Ketiga
Sebagai keponakan Sultan Selangor ( Raja Lumu ), Raja Hamidah diharapakan menjadi sosok yang menjadi simbol dari eksitensi keturunan Bugis yang ada di Riau, tempat kaumnya berlindung dan hidup terjaga di negeri orang. Sebagaimana beban yang di panggul pamannya itu untuk keturunan Bugis yang ada di semenanjung. Ini beban yang tak kurang beratnya. Apalagi begitu selesai pesta perkawinannya dengan Sultan Mahmd, maka sang Sultan telah memaklumkan bahwa dia menganugerahakan Raja Hamidah, sebuah pulau yaitu pulau penyengat inderasaksi, sebagai mas kawin dan tempat kediaman, tempat istana permaisuri. Dengan penganugerahan itu, maka Mahmud juga memaklumkan, bahwa sejak hari itu dia membagi wilayah kuasa ekonomi antara pihak Melayu Bugis.

Raja Hamidah, dengan para saudara- saudara dan pihak Bugis lainnya, akan memiliki pulau Penyengat dan kawasan sekitarnya ( sampai ke Batam, Natuna dan sekitarnya )sebagai “ daerah permakanan “. Sumber ekonomi, pendapatan, dan biaya hidup mereka, dan pihak Melayu tidak boleh menggangu gugat.
Karena itulah kelak di pulau Penyengat itu pula lah, misalnya Dipertuan Muda Riau Lingga, sebagai sosok Bugis dan kuasanya, akan beristana dan mengendalikan pemerintahan, seperti yang dilakukan Raja Djafaar, seperti urusan pertahanan, ekonomi, poitik dan hubungan luar negeri. Sedangkan Lingga ( Daik dan sektarnya, termasuk singkep, dll ) menjadi kawasan “ permakanan “ pihak Melayu, melalui sosok Tengku Abdurrahman ( tampaknya, memang sejak awal Sultan Mahmud telah menetapkan penggantiannya, adalah Tengku Abdurrahman atau si komeng atau Tengku Jumat ), putera kedua Sultan Mahmud, dan pihak Bugis tidak boleh menggangunya ( di singkep ketika ia sudah di temukan dan di produksi timah ).
Beberapa penulis sejarah tentang jatuh bangun kerajaan Melayu Riau Lingga, kemudian menganggap keputusan Sultan Mahmud membagi wilayah permakanan ini sebagai keputusan politik yang luar biasa dampak dan pengaruh nya di kemudiankan hari bagi kedua kaum itu dan kerajaan itu sendiri. Dan sebagai salah satu strategi untuk mengakhiri konflik politik di kerajaan Riau Lingga.
Engku Puteri memang gagal menjadi permaisuri yang mewariskan putera mahkota dan membangun zuriat dari darah nya untuk menjadi sultan dipuncak kekusaan Riau Lingga. Ia memang gagal merajakan anak tirinya Tengku Husin sebagai sultan Riau. Tapi, dia berhasil menjadi benteng yang tangguh sebagai pemegang, pemelihara, dan pengawal kebesaran dan kedaulaatn kerajaan, yang bernama Regelia itu. Dia berhasil menjadi kekuatan yang senantiasa menjaga kesucian Sirih Besar dan perangkat kebesaran dan lambang kekusaan itu, sebagai kekuatan suci dan semua yang di bawah nya harus tunduk dan berlutut.
Itulah sebab mengapa dia rela berselisih paham, dan nyaris memutus hubungan darah dan persaudaraan dengan abangnya Raja Djafaar, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga, ketika Raja Djafaar justru menetapakan Tengku Abdurrahman sebagai pengganti Sultan Mahmud yang mangkat, dan bukan memilih putera sulung Sultan, Tengku Husin, Engku Puteri menetang pemilihan itu, dan menganggap penetapan Tengku Abdurrahman itu, melanggar adat dan kebiasaan, apalagi ketika itu Bendahara dan Temenggung, dua pejabat teras kerajaan tidak berada di tempat dan belum memberi persetujuan.
Raja Djafaar dianggap melanggar tradisi dan menjatuhkan marwah kerajaan Riau Lingga. Karena itu pula, dia tidak mau menyerahkan Regelia kerajaan itu ke tangan Tengku Abdurrahaman sebagai simbol pelantikan. Dia membawa pusaka keramat itu keistananya di Penyengat, dan membiarkan Raja Djafaar melantik Sultan Abdurrahman (1812) tanpa Regelia. Membiarkan peristiwa pelantikan itu menjadi sebuah peristiwa sejarah yang sumbang dan memalukan.
Dan membiarkan Sultan Abdurrahman merasa belumlah sebagai sultan, dan membiarkan Raja Djafaar sang yang Dipertuan Muda, berduka dan terluka. Perseteruannya dengan abangnya itu, menjadi konflik baru Bugis Melayu yang Famulasinya sudah makin sulit di terjemahkan. Konflik itu tidak lagi konflik darah dan keturunan, tetapi menjadi konflik kepentingan, kekuasaan,dan rasa tidak puasan lainnya yang rawan untuk di tanggapi oleh tangan tanagan politik yang keji dan jahat.
Begitu marah nya Engku Puteri kepada abang nya itu, membuat dia nyaris tidak pernah lagi mengijakan kaki ke Lingga. Sementara Raja Djafaar pun begitu kecewa pada adiknya sehingga tidak lagi mau beristana di Penyengat, dan tetap memilih tinggal di Daik, Lingga. Perseteruan ini begitu melukakan ( meskipun akhirnya Regelia itu berhasil diambil Sultan Abdurrahman dengan bantuan Belanda secra paksa, 1821 ) dan terus berdarah.
Hanya, ketika datang kabar Raja Djafaar gering dan hampir naza, maka Engku Puteri akhirnya pergi juga ke Lingga. Dia memaafkan abangnya, agar abangnya dapat menghadiri maut dengan tenang dan tanpa beban. Raja Djafaar pun demikian seakaan hanya rela meniggalkan dunia fana itu setelah berdamai dengan adiknya ( crita ini dengan bagusnya ditulis oleh Raja Ahmad, adik bungsu mereka dalam syair: syair Engku Puteri pergi ke Lingga ). Engku Puteri ingin membawa abang nya yang sedang sakit itu ke Penyengat, dan merawat nya, tetapi abangnya menolak. Akhirnya, setelah sakt abangnya hampir pulih, dia pun kembali ke Penyengat.
Tetapi kesembuhan itu ternyata hanya permainan perasaan, untuk menyenangkan hati mereka yang ditinggalakan. Tak lama Raja Djafaar pun meniggal dengan tenang di Daik. Di kebumikan disana, dan baru beberapa tahun kemudian, jenazahnya dibawake Penyengat dan di makamkan di sana. Dan Engku Puteri, membawa luka itu yang secara tak terasa menggerogoti usianya. Wanita Ranggi, peri sejarah ini, meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844, di istananya, di pulau Penyengat. Jika benar dia lahir sekitar tahun 1744, maka saat dia meniggal, wanita perkasa itu dan berhati baja ini meninggal berusia 70 tahun. Dia memang hidup lebih lama dari abang nya Raja Djafaar, yang saat meninggal di perkirakan berusia 66 tahun.
Keduanya meniggal dengan memendam rasa pedih dan kecewa atas takdir politik, meski keduanya merasa telah mengemban tugas di pundak masing-masing dengan rasa kuat. Mereka harus memendam luka persaudaraan yang lama dan berdarah. Sepak terjangnya sebagai permaisuri, sebagai ibu suri, sebagai pemegang Regalia kerajaan, telah membuat namanya ditulis dan di catat dalam berbagai buku kronik dan sejarah. Orang mengaguminya sebgai perempuan yang tegar, keras, dan tak kenal menyerah atas prinsip hidup dan amanah yang dilimpahkan kepadanya, dan juga seorang permaisuri yang kesepian.
Raja Hamidah di makamkan di pulau Penyengat. Kini makamnya yang terawat baik dalam komplek pemakaman para bangsawan kerajaan Melayu Riau Lingga, banyak di kunjungi terutama para penziarah yang ingin melihat dan mencatat jejak perjuangannya yang menggetarkan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A