Langsung ke konten utama

ALIANSI AJATAPPARENG

La Oddang

Ajatappareng dimaknai dari segi bahasa bugis berarti sebelah barat danau. Kemudian sekiranya dimaknai sebagai suatu kawasan (wilayah) persekutuan, maka dikenallah sebagai “LimaE ri Ajatappareng” (Lima Disebelah Barat Danau). Suatu aliansi regional yang mewujudkan suatu kekuatan politik yang disegani pada abad 15 di Sulawesi Selatan. Para kerajaan yang bersekutu itu adalah : Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang dan Alitta.
Kelima kerajaan tersebut terletak disebelah barat Tappareng KarajaE (Danau Besar). Danau besar yang dimaksud sesungguhnya adalah suatu danau yang tergabung dari 3 wilayah kerajaan, yakni : Danau Tempe (Wajo), Danau Batu-Batu (Soppeng) dan Danau Sidenreng sendiri. Danau ini merupakan suatu genangan air yang menjadi muara dari hulu sungai di wilayah pegunungan Massenrengpulu (Maiwa, Enrekang, Duri, Kassa’ dan Batulappa) disebelah utara dan pegunungan Nepo disebelah barat serta pegunungan Soppeng disebelah selatan. Maka pada sebelah barat danau besar inilah terhampar kawasan Ajatappareng hingga pesisir selat Makassar, teluk Parepare hingga sebagian menuju ke teluk Mandar.
Penduduk kawasan Ajatappareng pada umumnya merupakan masyarakat yang berbahasa bugis. Mata pencahariannya adalah petani, pekebun, nelayan danau, nelayan pantai, tukang kayu, pandai besi, pandai emas dan lainnya. Adapun masyarakat lainnya yang berbahasa selain Bugis adalah pada penduduk Kerajaan Sawitto sebelah utara, yakni : LEtta yang berbahasa Pattinjo atau kerap disebut pula sebagai bahasa LEtta sendiri. Kemudian pada 2 wilayah Kerajaan Sidenreng yang terletak di Tanah Mandar, yakni : Tonyamang dan Binuang adalah masyarakat berbahasa Mandar. Sementara pada perbatasan Kerajaan Sidenreng sebelah utara, yakni BEtao dan Barukku didapati masyarakat berbahasa setempat yang merupakan percampuran Bahasa Bugis dan EnrEkang.
Ajatappareng sebagai suatu kawasan yang kemudian mengkristal menjadi suatu wilayah persekutuan LimaE ri Ajatappareng pada awal abad 16, bagaimanapun adalah suatu kawasan strategis yang amat diperhitungkan oleh setiap kekuatan politik disekitarnya hingga 4 abad berikutnya. Selain sebagai lumbung beras yang mensuplai kebutuhan pangan kerajaan-kerajaan sekitarnya hingga mengekspornya ke pulau Kalimantan, juga merupakan titik sentral yang mempertemukan aliansi-aliansi kerajaan serupa seperti halnya TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng)dan MassEnrEmpulu (Maiwa, Duri, EndEkang, Kassa’ dan Batulappa). Kedua aliansi kerajaan tersebut senantiasa memiliki ketergantungan pada pelabuhan Parepare sebagai pintu gerbang utama yang memperhubungkannya dengan kerajaan-kerajaan luar pulau Sulawesi. Sementara itu, Kota Pelabuhan Parepare sesungguhnya adalah titik sentral yang menjadi Kota Bersama dibawah kedaulatan persekutuan kerajaan LimaE ri Ajatappareng.
Sejak dideklarasikan pada awal abad 16, persekutuan LimaE ri Ajatappareng yang aktif menjalani percaturan politik menurut waktu dan ruang kesejarahannya, kawasan ini mengalami perubahan peta kawasan pada masa pemerintahan Gubernemen Hindia Belanda dalam kurun permulaan abad 20. Namun sebelumnya, kawasan ini pernah pula mengalami kejayaannya dalam kurun waktu paruh ke-4 abad 17. Maka roda waktu terus bergulir meninggalkan jejak yang dalam pada permukaan sejarah kawasan yang adalah salahsatu komponen bangsa ini. Melalui waktu dan kesempatan yang baik ini, maka jejak sejarah yang perlahan dan pasti telah tertutupi debu dan lumpur zaman tersebut digali kembali melalui diskusi publik ini.

Terbentuknya LimaE ri Ajatappareng
Sebelum terbentuk sebagai wilayah persekutuan, kelima kerajaan yang terletak disebelah barat Tappareng KarajaE sesungguhnya telah ada dan rajanya memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Pada lembaran 42 Lontara Akkarungeng Luwu, perihal simpul kekerabatan raja-raja tersebut diuraikan sebagai berikut :
“Ripauwi makkedaE // Lisunna dEnrE ri Luwu WE Tappacina // Jajiyanni ana’ orowanE duwa // SEuwwa riyaseng TowappanangE // Nayi paccucuwangngE yina makkarung ri Kawu-Kawu // Yina lisu lao ri Mancapai mabbawinE // Wijannana mpukke’i akkarungengngE ri Ajatappareng “.
(Dituturkan kemudian // Sekembalinya WE Tappacina ke Luwu // Melahirkanlah dua anak lelaki // Seorang diantaranya dinamai TowappanangE // Adapun yang bungsu, inilah yang dinobatkan menjadi Raja di Kawu-Kawu // Inilah yang kembali ke Mancapai untuk beristeri // Turunannyalah yang membuka Negeri di Ajatappareng ).
Bahwa sesungguhnya We Tappacina yang disebutkan diatas adalah permaisuri Anakaji Pajung Luwu IV yang hidup dalam kisaran akhir abad 13. Keterangan ini dikuatkan pula oleh kronik terbentuknya Kerajaan Belawa, dimana disebutkan bahwa La WEwangriu Arung Belawa I sesungguhnya adalah putera ke-6 atau adik bungsu dari ke-5 Raja yang kelak mempersekutukan kerajaannya sebagai LimaE ri Ajatappareng.
Tinjauan lain terdapat pula pada Lontara Akkarungeng Sidenreng yang mengemukakan perihal ketokohan seorang eksplorer sejati, yakni : La BungEnge’ ManurungngE ri Bacukiki. Pada kurun masa yang sama dengan kemunculan Manurung di Soppeng dan Bone dalam paruh pertama Abad XIV, pada sebuah pemukiman pesisir teluk Parepare bernama Bacukiki, terbit pula seorang To Manurung. Tokoh yang digambarkan muncul secara luar biasa bersama perangkat perlengkapannya yang terbuat dari emas berkilauan beserta dengan ketujuh Istananya pada tempat lain bernama “Cempa”. Manusia dewa tersebut dinamai : ManurungngE ri Bacukiki. Sosok yang berbeda dengan To Manurung di Tana Bone dan Soppeng atau pada kronik To Manurung lainnya, bahwa beliau diketahui langsung memiliki “nama”, yakni : La BungEnge’ (La BangengE), namun tetap saja tidak diketahui dari mana asal usulnya.
Demikian pula dengan alur kisah selanjutnya, To Manurung yang satu ini tidak menetap di kawasan dimana ia manurung (diturunkan ?). Beliaupun tidak disambut dengan ikrar kesetiaan oleh para tetua negeri dimana ia diketahui telah muncul (Bacukiki). Puetta ManurungngE bahkan kemudian melakukan perjalanan ke utara hingga bertemu dan menikahi Tomanurung Perempuan bernama : WE Teppulinge’ ManurungngE ri La Waramparang (Suppa).
ManurungngE ri Bacukiki adalah seorang eksplorer, sekaligus seorang visioner. Beliau tidaklah serta merta menjadi Raja ditempat dimana ia manurung dan juga pada negeri dimana ia mempersunting Tokoh Manurung setempat. Beliau melakukan pengembaraan seputar kawasan LimaE ri Ajattappareng untuk mencari kawasan potensial bagi kehidupan anak turunannya dan pengikut-pengikutnya. Hingga perjalanannya tiba pada suatu negeri yang ia namai Sawitto dimana beliau menjadi Addatuang Sawitto I. Pada generasi berikutnya yakni dari pernikahannya dengan We Teppulinge’, terlahirlah La Teddunglompo Datu Suppa I yang merangkap Addatuang Sawitto II. La Teddunglompo dinikahkan dengan We Patoli Arung CEmpa, melahirkan :
  1. We Poncing Arung Arung Parangki,
  2. We Massi,
  3. La Bula Arung Bojo,
  4. La Bongo Arung NEpo,
  5. La Tuwa Arung Palanro,
  6. We Sumang Arung Bacukiki,
  7. La PutE Bulu LEmbanna Mallali’E Addatuang Sawitto (Datu Suppa).

Putera ke-7 inilah yang dinikahkan dengan MatinroE Kannana ri Sidenreng, melahirkan : La PalEtEang To RisompaE Addatuang Sawitto. Hingga kemudian La PalEtEang dinikahkan dengan puteri Arung Lowa, melahirkan La Cella’mata Addatuang Sawitto. La Cella’mata dinikahkan dengan sepupu sekalinya, yaitu : We LampEwEluwa’ Datu Suppa (puteri MakkarawiE Datu Suppa), melahirkan : We Cella’ Arung Alitta I.
Adapun halnya kemudian adik La Teddunglompo yang bernama We Pawawoi To Panaungi Arung Bacukiki dinikahkan dengan SukkumpulawengngE Addaowang Sidenreng I. Pernikahan tersebut melahirkan La Batara Addaowang Sidenreng II. ManurungngE ri Bacukiki berhasil mewujudkan visinya dengan mendudukkan anak-anaknya sebagai Raja dan Ratu pada negeri-negeri yang kemudian beraliansi dalam suatu persekutuan LimaE ri Ajattappareng.
Kawasan Persekutuan LimaE ri Ajatappareng sebagai suatu kenangan peninggalan sejarah mestilah memiliki kronology dan periode yang melatarbelakangi terbentuknya aliansi regional tersebut. Stephen Charles Druce (2005) mengemukakan pada thesisnya :
“The analysis of the genealogis and oral tradition in chapter four suggest that it was in the early sixteenth century that Sawitto became allied with the four other Ajatappareng kingdoms” (The Lands West Of The Lakes : The History of Ajatappareng, South Sulawesi, AD 1200 – 1600, 2005 ; 296).
Analisa yang dikemukakan oleh Druce tersebut didasari dari penemuan situs dan artefak diseputar wilayah Suppa, Alitta dan Sawitto yang dikuatkan dengan keterangan masyarakat setempat dalam penelitiannya tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menemukan beberapa keterangan dalam Lontara, antara lain disebutkan pada Lontara Sukkuna Wajo dan Lontara Atoreng Toriolo (inhoud lontara’ No. 130), dimana periode waktu berdirinya yakni pada awal abad 16.
Berbeda halnya dengan analisa Druce yang mendasari temuannya pada peninggalan arkeology, penulis mendasari analisa ini dari kronik kerajaan-kerajaan yang masuk dalam persekutuan tersebut. Bahwa terbentuknya suatu wilayah persekutuan kerajaan senantiasa kronologinya berawal dari situasi dan kondisi berat yang dialami kerajaan-kerajaan tersebut. Sebagaimana halnya dengan penindasan yang dialami oleh Kerajaan Wajo oleh Kerajaan Gowa dalam kurun waktu penghujung abad 16, sehingga menggugah solidaritas Kerajaan Bone dan Soppeng. Kedua kerajaan bertetangga tersebut turun tangan membantu Kerajaan Wajo lalu membentuk suatu persekutuan TellumpoccoE (Tiga Penuh) dalam suatu piagam perjanjian bernama LamumpatuE ri Timurung (penanaman batu di Timurung) pada tahun 1582.
Pada penghujung abad sebelum terbentuknya persekutuan TellumpoccoE di kawasan timur dan selatan Tappareng KarajaE (Danau Besar) tersebut, terjadi peperangan besar antara kerajaan Sidenreng dengan Kerajaan Luwu. Peristiwa itu diabadikan Lontara Wajo sebagai “Rirumpa’na SidEnrEng” (Penyerbuan Di Sidenreng). Kemurkaan Datu/Pajung Luwu XVI yang bernama La Dewaraja To Sengereng Dangkelalik Petta MatinroE ri Bajo pada La Pateddungi Addaowang Sidenreng mencetuskan peperangan diantara kedua negeri besar yang berpengaruh itu. Peristiwa yang mengubah peta politik Sulawesi Selatan sejak itu melibatkan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Kerajaan Luwu bersekutu dengan kerajaan Wajo dibawah kuasa rajanya yang terkenal, yakni La Tadampare’ Puang Rimaggalatung Arung Matoa Wajo IV. Adapun halnya dengan kerajaan Sidenreng sebagai pihak "bertahan" mendapat dukungan dari 4 kerajaan tetangganya, yaitu : Belawa, Rappang, Bulu Cenrana dan Otting. Maka untuk beberapa waktu mampu bertahan dari gempuran pasukan Luwu yang sebenarnya lebih besar. Namun pada akhirnya, perang besar tersebut berujung pada kekalahan dipihak Sidenreng beserta sekutunya. Maka akibat dari kekalahan tersebut, Sidenreng dibawah taklukan Luwu dan keempat kerajaan sekutunya dilebur menjadi kerajaan bawahan Tana Wajo.
Sebagai kerajaan yang kalah perang, Sidenreng mengalami masa keterpurukan selama beberapa waktu. Istana Addaowang Sidenreng yang bernama Sao LocciE dibakar dengan semena-mena oleh pihak Luwu. Harta benda kerajaan Sidenreng dirampas dan yang paling utama adalah martabatnya yang terinjak-injak. Namun pendudukan pasukan Luwu dan Wajo pasca Ri Rumpa’na Sidenreng tersebut tidak berlangsung lama. Lontara Sukkuna Wajo memberitakan bahwa pendudukan tersebut tidak berlangsung lama disebabkan selisih paham antara Arung Matoa Wajo La Tadampare’ dengan Datu Luwu La Dewaraja. Selain itu, Datu Luwu beserta pasukannya bertolak menuju Kerajaan Bone untuk merebut kembali wilayah Cenrana.
Alasan berbeda diuraikan pada Lontara Attoriolong Sidenreng, bahwa Addaowang Sidenreng yang dibantu oleh AnrEguru Arukkurung berhasil mengkonsolidasi lasykar Sidenreng yang tercerai berai lalu melancarkan serangan balasan pada pasukan Luwu dan Wajo. Hal yang kemudian dimenangkan oleh pihak Sidenreng. Terlepas dari benar atau tidaknya salahsatu sumber yang berbeda tersebut, namun hikmah penyerbuan aliansi Luwu dan Wajo ke Sidenreng menggugah solidaritas ke-4 kerajaan kerabatnya yang lain untuk bersatu. Keempat yang lain itu adalah : Sawitto, Suppa, Rappang dan Alitta. Maka tampillah seorang tokoh cendekiawan yang merupakan penasehat utama Addaowang Sidenreng, yaitu : La Pagala NEnE Mallomo To PammulaiyyE DEcEng ri SidEnrEng.
La Pagala pada masa itu sesungguhnya adalah seorang cendekiawan muda. Uniknya, beliau adalah murid cendekiawan Luwu, yakni To Ciung To Tongeng MaccaE ri Luwu yang adalah penasehat utama Datu Luwu. Tokoh muda inilah yang berkat pandangan-pandangan ketatanegaraannya yang brilliant sehingga menginspirasi ke-5 Raja berkerabat untuk bersatu dalam satu kawasan politik bernama : LimaE ri Ajatappareng. Pada Lontara Pau-Paunna Nene Allomo, diuraikan wejangan beliau kepada segenap raja Se-Ajatappareng yang baru dibentuk, sebagai berikut :
“Tania assiturusetta massilollong ri Yajatappareng enrengngE ri yajang Pammana // MallusE salo’E TanEtE ri wawo bulu matteddo Sikalla // Mangkau’ mawatang // MakkEulaweng sipurukeng // Sisumpun akkeda”
(Bukanlah persetujuan kita bersama yang ikut serta di Ajatappareng dan disebelah barat Pammana // MallusE salo’E dan TanEtE ri Wawo serta Bulu Matteddo Sikalla // Untuk saling bertindak sewenang-wenang // Atau saling mengecoh dengan mengeruk keuntungan untuk negeri masing-masing // Serta saling berdebat)
Kemudian wejangan tersebut dikuatkan dengan ikrar :
“Tessitajengeng lilu // Rebba sipaoto’i // Malilu sipakainge’ // Mali siparappe’ // Siatutuiyangngi’ wanua // Tessisappareng bola akkeanungngi // Temmattajengngi bicaraE ri Tanana sEajingna // Engkamui nalangengngi bola tudangna ri LangkanaE // Napobicarai bicaranna ElE arawEng // Nakkuwa poada-adai assiturusetta massEajing // Palaloangngi bicara ri laletta // Iyyana rapang tettabbuwangngi bicaraE // TennaElota tennatopa bicaratta // Pettu ri pappettui // Ritawa’ pettutoi”
(Tidak saling menunggu kekhilafan // Jika jatuh saling membangunkan // Khilaf saling mengingatkan // Hanyut saling meraih // Saling menjaga negeri kita // Tidak saling mencarikan rumah tempat berbuat kejahatan // Tidak saling mencampuri urusan keluarga masing-masing // Lebih baik diberikan tempat tinggalnya di Istana // Untuk saling menerapkan hukum aturan masing-masing dari pagi hingga sore // Serta disana pulalah dipertemukan pendapat secara kekeluargaan // Saling mengeluarkan pendapat menurut pemikiran masing-masing // Maka itulah pedoman yang tidak menjatuhkan peraturan // Bukan kehendak kita // Bukan pula peraturan kita yang telah diputuskan itu // Keputusan yang telah dibagi bersama )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A