Langsung ke konten utama

ADE’ WARI MATTOLA DATU RI LUWU

Memenuhi permintaan Anrikku Petta KaraEng Andi Unding menyangkut perihal suksesi tahta kerajaan di Sulawesi Selatan pada zaman dulu, berikut ini antara lain diuraikan suatu contoh tata aturan penentuan seorang Datu Luwu, sebagaimana ketetapan Ade’ Puraonro di Tana Luwu yang diberlakukan sejak PajungngE Petta MatinroE ri Tompotikka dan belum ada ketetapan perubahan sampai pada saat ini. Uraian ini sesungguhnya bukanlah suatu rahasia atau dikhususkan sebagai Ade’ Maraja (adat istiadat khusus Allangkanang) bagi kalangan tertentu, melainkan dimaksudkan sebagai suatu upaya memperluas cakrawala pengetahuan pada masa ini.
…………………………………………………..

Bahwa sebagaimana dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, setiap bangsawan dituliskan kelahirannya dalam “panguriseng” (bab silsilah) dengan mencantumkan waktu kelahiran, peristiwa khusus pada masa itu dan kadar derajat darah kebangsawanannya. Menentukan derajat kebangsawanan senantiasa berdasarkan rumus : Derajat Ayah + Derajat Ibu = X/2. Hal ini didasari dengan suatu ketentuan di Luwu, yaitu : “AmbE’ pawata’ cappa’ passapu, Indo’ parEnrEng ikko’ simpolong” (ayah menarik dengan ujung destar, ibu menghela dengan ekor sanggul). Kemudian pada saat lain diperjelas dengan motto pula, yakni : “AmbE’ mappabbati, Indo’ mappattase’” (ayah menurunkan nazab, ibu menjadikan darah masak). Maka jelaslah bahwa kedua ketetapan tersebut merupakan suatu pengekalan bahwa masyarakat Luwu menganut system bilateral, bukan patrimonial ataupun matrimonial. Dengan demikian, seorang Datu Luwu adalah mutlak pemilik darah bangsawan paling murni yang ditimbang dari kadar darah ayah dan darah ibunya oleh para ahli lontara yang dikoordinir oleh AnrEguru Anakarung.
Sehubungan dengan topic bahasan ini, Datu Luwu yang dipilih berdasarkan musyawarah dan mufakat oleh Ade’ Seppulodua (Dewan Adat 12) memenuhi criteria, sebagai berikut :
1. Nakadoi Sara’
Seorang pangeran ataupun puteri yang lahir secara sah menurut syariat Agama Islam sehingga memiliki nazab yang baik sebagaimana dipersyaratkan Rasulullah saw. “Macinnong namapaccing wElareng ancajiengna, nalapi’ sebbukati sompa cEro dewatana” (jernih dan bersih cikal bakal kelahirannya, serta dilapisi mahar pemuliaan tertinggi terhadap turunan dewa-nya), demikian disebutkan dalam Lontara Pangadereng Luwu. Maka mutlaklah kedua ayah dan ibu yang melahirkannya dinikahkan dan dirayakan dengan tata upacara agung menurut Ade’ Allangkanang Luwu (adat istiadat Istana Kedatuan Luwu).

2. Ana’ Mattola Massusungeng (Ana’ Mattola Datu)
Seorang pangeran ataupun puteri yang dilahirkan oleh ayahnya yang seorang Datu Luwu dan ibunya adalah Opu Datu Luwu (permaisuri), dilahirkan ketika ayahnya sedang menduduki tahta selaku Datu/Pajung Luwu. Adapun saudara kandungnya yang lain jika terlahir sebelum ayahnya menduduki tahta, tidak terhitung dalam criteria ini, meskipun menurut timbangan derajat darah tetap terhitung “maddara bocco” (berdarah penuh/murni).

Seorang Ana’ Mattola Massusungeng tatkala dilahirkan ditiupkan bacaan “samparanE’” oleh AnrEguru Anakarung, yaitu lafaldz paling rahasia di Kedatuan Luwu. Tujuan peniupan SamparanE’ pada bayi agung itu adalah didoakan agar sehat, panjang umur serta memiliki wibawa keagungan yang diwarisinya dari ManurungngE sendiri. Selamanya paling banyak hanya 2 orang yang mengetahui lafaldz ini, yaitu AnrEguru Anakarung dan Pua’ CErEkang ataupun seorang personal yang ditakdirkan Allah SWT untuk mengetahuinya, antara lain Almarhum Andi Pangerang Opu TosinilElE Pabbicara Luwu (ayahanda AnrEguru Anakarung saat ini). Namun peniupan samparanE’ tidaklah mutlak kepada Ana’ Mattola Massusungeng semata. Pada beberapa kejadian, seorang Ana’ Mattola AngngilEng juga bisa ditiupkan SamparanE’. Satu-satunya yang pernah ditiupkan lafaldz SamparanE dan masih hidup saat ini adalah YM. Andi Sitti Huzaimah Opu Daeng Ripajung Cenning Luwu yang merupakan anak sulung Opu Cenning Luwu dan cucu pertama PajungngE Andi DjEmma kala itu.
Ketika seorang Ana’ Mattola Massusungeng menginjak usia remaja, biasanya ditempatkan pada beberapa posisi khusus dalam adat, antara lain : Cenning Luwu (putera/puteri mahkota), Mincara Ngapa, Mincara Burau dan SullEwatampare’.
3. Ana’ Mattola AngngilEng
Seorang pangeran ataupun puteri yang dilahirkan oleh ayahnya yang seorang Datu Luwu dan ibunya adalah Opu Datu Luwu (permaisuri) sebelum atau sesudah ayah/ibunya menduduki tahta ataupun seorang puteri maddara bocco namun bukan permaisuri (opu datu) yang dilahirkan pada saat ayahnya menduduki tahta selaku Datu/Pajung Luwu ataupun sebelum dan sesudahnya. Kemudian yang termasuk dalam criteria ini pula adalah pangeran/puteri saudara Datu/Pajung Luwu ataupun bahkan sepupu Datu/Pajung Luwu namun memiliki darah bocco (murni 100 %) ataupun sangaji (98 %-95%).
Ana’ Mattola AngngilEng atau kerap disebut sebagai Ana’ AngngilEng ini dipilih jika tidak ada lagi Ana’ Mattola Massusungeng di Luwu. Sebagai contoh dalam hal ini adalah ketika Datu Luwu ke-24 We Tenri LElEang Sultana Aisyah Yahyidin meninggalkan tahtanya dalam paruh pertengahan abad -18, dewan Adat Duabelas (Ade’ Seppulodua) bersepakat dengan dewan Adat Sembilan (Ade’ AsEra) menobatkan pamanda Sang Ratu yaitu La KasEng Tosibengngareng sebagai penggantinya. Puetta La KasEng adalah terhitung Ana’ AngngilEng karena beliau adalah saudara seayah lain ibu dari ibunda We Tenri LElEang (We Batari Tungke’ Petta MatinroE ri Pattiro) yang sebelumnya adalah Datu Luwu ke-23.
5. Tennatula Singkarume’
Seorang Ana’ Mattola Massusungeng ataupun Ana’ Mattola AngngilEng yang tidak pernah secara resmi mengundurkan diri ataupun diberhentikan pada jabatan sebelumnya dalam jajaran Ade’ Seppulodua, dimana Ade’ Puraonro Luwu mengganjar pelanggaran tersebut secara otomatis dengan sangsi “ripaoppangi tana lalengbata” (tidak boleh menginjak kaki di kawasan Istana).
Termasuk pula dalam kategori ini terlebih pada seorang Ana’ Mattola Massusungeng ataupun Ana’ AngngilEng yang telah melakukan pelanggaran adat yang sangat berat hingga mencapai kategori “nasapa tana, narumpu langi”.
6. Nasekko Tajang Manurung
Seorang Ana Mattola Massusungeng ataupun Ana’ Mattola AngngilEng yang ditakdirkan Allah SWT sebagai Datu Luwu senantiasa memiliki pertanda cahaya yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu yang ditakdirkan untuk mengetahuinya. Cahaya yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana wahyu Cakrabuana dalam diri setiap Sultan Yogyakarta.
Bahwa jabatan selaku Datu/Pajung Luwu adalah senantiasa berlaku seumur hidup, terkecuali jika berhenti atas kehendak sendiri. Maka berdasarkan criteria diatas, sejarah Kedatuan Luwu mencatat bahwa seorang Datu/Pajung Luwu tidaklah secara mutlak digantikan oleh putera/puteri kandungnya sendiri. Garis suksesi itu terkadang berpindah secara horizontal (digantikan saudara ataupun sepupu) ataupun vertical miring (digantikan oleh kemenakannya) dan bahkan beberapakali berlanjut keatas kembali (paman ataupun ibu kandung).
Sebagai contoh telah dikemukakan diatas yakni Datu Luwu ke-24 We Tenri LElEang digantikan oleh pamannya, yaitu La KasEng Tosibengngareng Datu Luwu ke-25. Kemudian atas kehendak Puetta La KasEng Tosibengngareng yang disetujui oleh segenap Dewan Adat agar We Tenri LElEang kembali menjadi Datu Luwu setelahnya, maka We Tenri LElEang dinobatkan kembali selaku Datu Luwu ke-26. Namun kemudian We Tenri LElEang lagi-lagi meninggalkan jabatannya pada tahun 1778, maka Dewan Adat 12 menobatkan sepupu sekalinya (putera La KasEng Tosibengngareng), yaitu La Tenripeppang Sultan Abdullah Petta MatinroE ri Sabbamparu menjadi Datu Luwu ke-27. Pelanjut tahta beliau setelah wafatnya adalah puteri kandungnya sendiri yaitu We Tenriawaru Sultana Hawa Datu/Pajung Luwu ke-28 (1818-1825).
Setelah PajungngE We Tenriawaru wafat dengan gelar anumerta Petta MatinroE ri Tengngana Luwu dalam tahun 1825, tahta Luwu selanjutnya diteruskan oleh putera tertuanya, yaitu La Oddang PEro Petta MatinroE ri Kombong BEru selaku Datu Luwu ke-29 (1825-1854). Adapun pelanjut tahta setelah wafatnya beliau dalam tahun 1854 adalah puteranya yang bernama Patipatau’ Toappanyompa Datu Luwu ke-30 (1854-1880). Hingga kemudian Datu Luwu ke-30 ini wafat dalam tahun 1880, tahta Luwu berpindah ke bibinya (saudari ayahandanya) yaitu We Sitti Hamidah Opu Addiguru Datu Luwu ke-31(1880-1883). Hanya kurang lebih 3 tahun duduk pada tahta Datu Luwu, Sang Ratu berpulang ke Rahmatullah dan digantikan oleh kemenakannya yang lain, yaitu Iskandar Opu DaEng Pali Datu Luwu ke-32 (1883-1891), putera PamadenglettE DatuE Watu Opu Cenning Luwu yang adalah adik kandung Datu Luwu ke-29 dan Datu Luwu ke-31. Maka disinilah dapat dilihat bahwa tahta Datu Luwu alurnya menjadi zig-zag disebabkan karena criteria persyaratan yang ditentukan oleh Ade’ Puraonrona Luwu.
Pada tahun 1891, Iskandar Opu DaEng Pali Datu Luwu ke-32 wafat dengan gelar Petta MatinroE ri Matekko. Selanjutnya tahta Datu Luwu ditakdirkan kepada anak dari sepupu sekalinya yang adalah puteri Datu Luwu ke-30, yaitu : We Kambo Opu DaEng Risompa Datu Luwu ke-33 (1901-1935). Tana Luwu dibawah pemerintahan Datu Luwu ke-33 mengalami pahit getirnya peperangan dengan Kerajaan Belanda yang memberlakukan era Pax Nederlandica. Hingga setelah beliau wafat dalam tahun 1935 dengan gelar Petta MatinroE ri Bintangna, tahta Datu Luwu diteruskan kepada puteranya, yaitu : Andi Djemma Opu ToappamEnE Wara-WaraE Petta MatinroE ri AmaradEkangna Datu/Pajung Luwu ke-34/36 (1935-1965). Inilah Datu/Pajung Luwu yang mengantarkan Tana Luwu pada babak kemerdekaan dan integrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara otomatis mengakhiri system pemerintahan Adat Kerajaan.
Hidup sebagai seorang Raja sekaligus pemimpin pejuang melawan agresi Belanda di Luwu dijalani hingga lebih dari separuh hidupnya yang penuh kesederhanaan, jauh dari gambaran kemewahan sebagai seorang Raja Besar. Kiranya itulah gambaran sekilas dari sosok Raja Pahlawan Andi Djemma. Tatkala beliau menjalani pengasingan oleh tentara pendudukan NICA, tahta Datu Luwu sempat berpindah ke pamannya (saudara seayah Datu Luwu ke-33), yaitu Andi Djelling Datu Luwu ke-35. Namun kemudian setelah kemerdekaan, Andi Djemma dikembalikan ke tahtanya semula selaku Datu/Pajung Luwu ke-36. Setelah wafatnya dalam tahun 1965, puteranya yang bernama Andi Bau Alamsyah ditunjuk secara bulat oleh Dewan Adat Duabelas dan Dewan Adat Sembilan selaku Datu Luwu ke-37 (1965-1987). Beliau merupakan Ana’ Mattola Massusungeng yang terlahir dari Opu Datu Luwu (permaisuri) Andi Tenripadang (puteri ArumponE Andi Mappanyukki dengan Petta MakkunraiyyE). Namun kuasa Allah Menghendaki jika Sribaginda tidaklah berumur panjang hingga wafat pada tahun 1987 dengan gelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona. Selanjutnya para Dewan Adat Kedatuan Luwu bersepakat menobatkan ibunda Almarhum Sribaginda, yaitu : Opu Datu Andi Tenripadang selaku Datu Luwu ke-38 hingga wafatnya beliau pada tahun 1994.
Setelah Datu Luwu ke-38 wafat, segenap Dewan Adat Kedatuan Luwu kemudian bersepakat sesuai criteria Ade’ Puraonro untuk menobatkan Datu Luwu selanjutnya, yaitu : Andi Addiluwu Opu DaEngna Patiware’ Datu Luwu ke-39 (1994-2012). Sribaginda Ratu adalah puteri Andi Mackulau Opu DaEng Parebba Cenning Luwu (putera Andi Djemma Datu/Pajung Luwu ke-34 dengan Opu Andi Kasirang) dari pernikahannya dengan Andi Bau Mannennungeng Arung SErEang (puteri Datu Pajung Arung Tellu Latte’ SidEnrEng dengan Andi Bau Pancaitana BungawaliE). Hingga kemudian pada bulan Desember 2012, Datu Luwu ke-39 Andi Addiluwu wafat dengan gelar Petta MatinroE ri Alebbirengna. Selanjutnya dinamika pergantian Datu Luwu berlanjut menurut kesepakatan Dewan Adat 12 Kedatuan Luwu menunjuk adik kandung Datu Luwu ke-39 yaitu H. Andi Maradang Mackulau Opu Tobau’ selaku Datu Luwu ke-40 hingga pada saat sekarang ini.
Bahwa salahsatu tradisi yang mengakar dalam lingkup Kedatuan Luwu dan senantiasa terpelihara sejak didirikannya, yaitu : Seorang Datu Luwu yang wafat tidak dimakamkan sebelum menunjuk penggantinya. Kemudian Kedatuan Luwu lestari disebabkan Dewan Adatnya yang berkesinambungan pula seiring dengan perjalanan sejarah kerajaan ini. Demikian pula dengan azas penegakan hukum adatnya yang berpangkal pada “massolompawo mangelle’ waE pasang” (air yang tercurah dari atas akan melimpah dan menggenang hingga permukaannya mencapai tempat tercurahnya diatas = penegakan supremasi dan kesetaraan hukum yang tak pandang bulu) adalah senantiasa mewarnai kehidupan beradat dan berbudaya lembaga Kedatuannya hingga kini. Semoga Allah Melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita sekalian, Amin Yaa Robbal Alamin.


by La Oddang Tossengsiru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A