Langsung ke konten utama

Bone dari Kerajaan menjadi Afdeling

Afdeling Bone adalah salah satu wilayah administrasi afdeling di bawah Gubernemen Sulawesi dan Dependensinya, Gubernemen Groote Oost. Afdeling ini dibentuk pada tanggal 2 Desember 1905, saat Belanda berhasil menguasai Watampone sekaligus membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe yang terdiri dari Bone, Wajo dan Soppeng. Ibu kotanya terletak di Pompanua.

Afdeling Bone dibagi menjadi lima wilayah Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir atau pengawas dan dijabat oleh orang Belanda. Afdeling Bone terdiri dari Onderafdeling Bone Utara, Onderafdeling Bone Tengah, Onderafdeling Bone Selatan, Onderafdeling Wajo, dan Onderafdeling Soppeng. Pemerintahan dijalankan oleh Belanda, namun kerajaan lokal tetap berjalan sesuai adatnya masing-masing, meskipun tidak memiliki persenjataan perang.

Tata Pemerintahan:

Landschap Bone dianggap sebagai daerah taklukan raja vassal terakhir : La Pawawo Karaeng Segeri, yang pada tahun 1905 diturunkan dari tahtanya dan diasingkan, sedangkan posisi tersebut tidak digantikan.

Landschap adalah suatu wilayah administratif (setingkat distrik/kecamatan) pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang biasanya diperintah oleh seorang penguasa lokal pribumi setempat yang telah ditaklukkan.

Pemerintah Hindia Belanda umumnya membiarkan penguasa lokal tersebut menjalankan pemerintahannya sendiri (zelfbestuur) sebelum ditaklukkan, tetapi menjadikannya aparatur administrasi kolonial dan harus melapor kepada Kontroleur, yakni wedana bangsa Belanda dan Asisten Residen bangsa Belanda atas tugas-tugas yang diperintahkan kepadanya.

Sebagai ganti dari pemerintahan swatantra (otonomi) pada waktu itu, posisi ini ditempati pemerintahan Eropa, yang bersama-sama dengan Hadat Bone melaksanakan pemerintahan swantantra, sambil menunggu terwujudnya penyatuan kedalam pemerintahan langsung wilayah gubernemen.

Di Hadat Bone, yang dahulu terdiri atas Arung Pitu, posisi Tomarilaleng (pejabat pelaksana pemerintahan) yang kosong setelah pejabatnya yang terakhir yakni La Makurada daeng Matana meminta pengunduran diri karena usia lanjut, posisi ini tidak diisi kembali, (sesuai keputusan Gubernur Celebes tertanggal 16 Mei 1911 no. 4560/2), karena dianggap tidak lagi diperlukan.

Adapun yang termasuk anggota Hadat Bone adalah yang disebut di bawah ini sesuai kedudukan serta tingkat kebangsawanannya:

1. La Massakirang Daeng Patappa Arung Macege
2. La Matupung Daeng Masesang Arung Tibojong
3. La Pagore daeng Silele Arung Ponceng
4. Laju daeng Pawawo Arung Tanette Riawang
5. La Sahida Arung Tanette Riattang
6. La Mappasere Arung Ta

Para anggota hadat tersebut yang pada masa kerajaan Bone tinggal di Watampone atau daerah sekitarnya, dan hanya memiliki kekuasaan pemerintahan atas kampung-kampung di mana mereka menjadi Arung, semuanya diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi Kepala Distrik.

Jika pada masa kerajaan, wilayah Bone terdiri dari banyak landschap, negeri-negeri vassal/taklukan, banua dan kampung-kampung yang diperintah langsung oleh raja maupun oleh tuan tanah yang menjadi bawahannya, ataupun oleh kaum keluarganya maupun orang-orang pilihannya. Dari berbagai bagian-bagian itu digabungkan menjadi satu, yakni menjadi 16 distrik, di mana dalam pembentukan ini sedapat mungkin diperhatikan ikatan-ikatan histories yang ada di antara banua-banua tersebut.

Dalam keputusan Asisten Residen Bone tertanggal 23 Mei 1906 No. 229 dan 223 dan tanggal 10 Juli 1906 No. 287 telah dibentuk distrik-distrik (setingkat kecamatan) sebagai berikut :

1. Watampone : yang terdiri dari lalebbata Bone, yang dahulu adalah kampung-kampung : Bukaka, Ujung Tibojong, Ponceng, Tanette Riawang atau Lappobatue, Tanette Riattang, atau Tamausing, Ta, Bajoe, Lonrae, Bene, Tippulue, Panyula, dan yang dahulu merupakan Pabbate banua yaitu : Toro, Biru, Cellu, Pallengoreng, dan Maloi. Distrik ini diperintah oleh Arung Tanete Riattang.

2. Awangpone : yang terdiri dari Bone tengnga yaitu landschap Awangpone dan federasi dari lili Limampanua rilau ale’, yaitu : Jaling, Paccing, Matuju, Unra, dan Cumpiga. Distrik ini dipimpin oleh Arung Ta

3. Palakka : yang terdiri dari yang dahulu merupakan wilayah Bone Tengnga, yaitu landschap Palakka, yaitu kampung-kampung mandiri seperti: Macege, Anrebiring, Majang, Tanete Buang dan banua-banua pabbate yaitu : Panyili, Maduri, Melle, dan yang dahulu merupakan Banua Jowa : Lemoapa dan Jampu. Distrik ini ditempatkan di bawah Arung Macege, yang didampingi oleh seorang wakil kepala distrik yang digaji, dengan gelar Sulewatang Palakka.

4. Tanete Riawang : yang terdiri dari federasi lili terdahulu Limampanua ri Ajangngale, yaitu : Palongki, Tajong, Otting. Landschap Distrik ini dipimpin oleh Arung Tanete Riawang.

5. Cenrana : Terdiri dari yang terdahulu Pitu teddung Tanre, landschap Mampu atau yang juga disebut Patangkae, yaitu banua-banua Mampu Riaja, Mampu Riawang, Kung, dan Sijalelling, serta kampung-kampung yang dahulu mandiri seperti : Ta, Watu, Pallime, Langkero, Latonro, Laopo, Laoni, Nagaulang Kae, dan daerah Joa Cenrana. Distrik ini dipimpin oleh Arung Cenrana.

6. Sailong : terdiri yang dahulu adalah : Pitu Teddung Tanre (ke tujuh payung tinggi), lanndschap Sailong, ke dalam mana ditambahkan sejumlah kampung mandiri, yakni : Melle, Tawaroe, Unynyi, Uloe, dan Tuallewo, dan Lea. Distrik ini dipimpin oleh Sulewatang Sailong.

7. Timurung : ( dahulu Pitu Teddung Tanre)
Distrik yang di dalamnya termasuk juga pusat pemerintahan Pampanua, berada di bawah kepemimpinan Sulewatang Timurung.

8. Amali : dahulu landschap Pitu Teddung Tanre, di mana ditambahkan banua Calaganrang. Distrik ini berada di bawah kepemimpinan Sulewatang Amali.

9. Ulaweng : dahulu merupakan Pitu Teddung Tanre, lanschap Ulaweng, di mana ke dalamnya ditambahkan kampung-kampung mandiri Ulue, Tanete, Paijo Tamusu, Sura dan Alinge. Distrik ini berada dibawah kepimpinan Sulewatang Ulawang.

10.Ponre : terdiri yang dahulu disebut Pitu Teddung Tanre, lanschap Ponre, di mana ikut digabungkan kampung-kampung mandiri seperti: Bakungnge, yang dahulu adalah federasi ‘lili’ Sepuluh banua, kini termasuk onderafdeling Bone Riattang. Distrik ini dipimpin oleh Sulewatang Ponre.

11. Barebbo : terdiri dari yang disebut Bone Tengnga, landschap Barebbo, dengan Federasi ‘lili’ Awang Alau yaitu : Bacu, Wollangi, Lampoko, Menegalung, Cinnong, di mana ditambahkan kampung-kampung yang mandiri seperti: Ujung Laliddong, Paroto, Parippung, Cempaniga, Teko-Teko, Jampu, dan banua-banua pabbate, yaitu: Pajakko, Apala, Bulu, Lempang, Cirowali. Distrik ini ditempatkan di bawah pimpinan Arung Tibojong, dengan dibantu seorang wakil kepala distrik (yang digaji pemerintah) yang berjabatan Sulewatang Barebbo.

12. Cina : terdiri dari yang disebut Bone Tengnga, landcap Cina, dimana ditambahkan banua-banua mandiri seperti: Teko, Lompo Talaga, Lerang dan banua-banua pabbate, yakni : Kawerang, Karella, Awo, Soga, Distrik ini berada di bawah pimpinan Arung Ponceng, dengan wakil kepala distrik (yang digaji pemerintah) yang berjabatan Sulewatang Cina.

13. Sibulue: terdiri dari yang dahulu adalah federasi ‘lili’ Rilau, yaitu : Pattiro, Kaju Balieng, Bulu Sampubia, Kalibong, Maroangin, dan Panyili. Distrik ini berada dibawah kepemimpinan Arung Salampe Pattiro. Mula-mula ia adalah kepala onderdistrik yang digaji pemerintah, yang diperbantukan pada tomarilaleng, di mana distrik ini dijadikan sebagai pusat/resort.

14. Bengo : dahulu disebut PituTeddung Tanre, lanschap Ponre, Distrik ini di bawah kepemimpinan oleh Sulewatang Bengo.

15. Lamuru : termasuk Tellu Limpoe dan banua Bua. Distrik ini dipimpin oleh Sulewatang Lamuru.

16. Attang Lamuru : semula sebagai federasi Lili Asera Bate di bawah kekuasaan Lamuru. Distrik ini berada di bawah kepemimpinan Sulewatang Attang Lamuru.

Selanjutnya mengenai pembagian distrik-distrik ini menjadi onderdistrik, banua dan kampung dapat merujuk pada lampiran terkait .

Kepala-kepala distrik ini bergelar arung atau Sulewatang (sule = menggantikan/pengganti tempat, sedang watang artinya batang/pokok)

Pada masa lalu para matowa semuanya adalah adalah kepala-kepala keluarga besar. Setelah keluarga-keluarga ini menyatukan diri dalam kelompok-kelompok (federasi ) menjadi negara-negara atau landschap, para matoa ini memilih “datu atau arung” sebagai pejabat di atas mereka.

Di tempat-tempat di mana para arung atau raja-raja negeri dapat mempertahankan kemurnian darah mereka, keturunannya dapat terus menggunakan gelar itu.

Anak-anak berdarah campuran (ana cera’) tidak akan pernah dapat memperoleh gelar kerajaan ayah mereka, namun mereka dapat berfungsi sebagai Sulewatang.

Jika raja-raja negeri ini keturunan murninya punah dan tidak ada keluarga dekat dengan darah kebangsawan yang sama, gelar ini akan dikembalikan kepada raja Bone, yang kemudian akan memberikan pendapatannya dari tanah ornamen kepada keluarga terdekatnya, untuk memperkuat pengaruhnya di landschap-landschap yang jauh terpencil.

Para kepala distrik dan onder-distrik memakai gelar Arung atau Sulewatang, kepala banua atau kepala kampung menyandang gelar Matowa, kepala, mado, anreguru (dulu kepala dari suatu golongan masyarakat seperti Joa, Pakkawalieng epu, to Angke Pasossong), pabbicara, sulewatang, Arung, Jennang (dahulu pemungut pajak). Pawang (dahulu juru damai dalam kasus-kasus perikanan dan kehutanan), mandarang, gala, mangepa.

Mengenai para kepala-kepala ini menurut pembagian kewilayahannya, telah dibuat daftar-daftar yang setiap waktu dilengkapi.

Hadat (Dewan para Kepala daerah) dari landschap-landschap yang semula kini sudah dihapus, karena telah menjadi perubahan-perubahan sehingga mereka tidak dapat lagi difungsikan. Hanya mereka yang saat itu memimpin kampung-kampung tetap dipertahankan dengan gelar adat mereka sebagai kepala kampung, atau kepada mereka yang bisa difungsikan diberi kepemimpinan atas sebuah kampung.

Di bawah pemerintahan eropa langsung terdapat posisi kepala distrik, di bawah kepala distrik langsung terdapat kepala onderdistrik, dan bawah mereka adalah para kepala yang berada di bawahnya lagi, yaitu Kepala Banua dan Kepala Kampung.

Para kepala kampung ini dengan persetujuan pemerintah, dibantu oleh Paranung atau Sareang (penyuluh atau pembawa pesan) yang langsung bertanggung jawab kepada kepala kampung.

Pengangkatan dan pemutusan hubungan kerja dengan para kepala, berlangsung menurut peraturan yang berlaku, yaitu berdasarkan surat keputusan Gubernur Celebes tertanggal 18 Juni 1912 No : 3418/136, yang diubah dan disempurnakan dengan SK tanggal 23 April 1913 No. 2281/57.

Menurut peraturan ini, maka berkaitan dengan asas hukum menurut pasal 5 alinea 2 dari format Kontrak Celebes tahun 1904 mengenai pembesar-pembesar di wilayah ini, dan khususnya mengenai Arung Pitu yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur. Sementara kewenagan untuk mengangkat dan memberhentikan para kepala yang lebih rendah posisinya berada di tangan pemerintahan swatantra.

Pengangkatan dan pemberhentian yang dilakukan harus mendapat persetujuan Gubernur atau Kepala Afdeling, hal ini berkaitan dengan kepala distrik atau onderdistrik atau kepala-kepala yang lebih rendah kedudukannya, jadi kepala banua atau kampung.

Dari pihak pemerintah hanya perlu dijaga bahwa pemilihan seorang kepala harus dilaksanakan dengan jujur dan bahwa jumlah anggota pengurus kampung jangan ditambah jumlahnya tanpa ada suatu kepentingan yang jelas.

Di tempat-tempat dimana sejak dahulu dilakukan pemilihan, hal ini harus dipertahankan, namun pemilihan itu tidak boleh memiliki tujuan lain, selain pemilihan seorang calon kepala. Jabatan ini juga dapat berlanjut melalui garis keturunan perempuan. Yang tertua tidak berhak secara mutlak atas gelar tersebut. Karena pengangkatan dari pejabat yang baru selalu dilakukan berdasarkan pemilihan, di mana pada umumnya pemilihan ini dilaksanakan oleh Hadat, dengan memperhatikan keinginan Petta Mangkau (Raja yang berkuasa).

Meskipun dahulu, sesuai dengan adat Bugis para wanita juga diberi jabatan pemerintahan, namun setelah kedatangan Belanda, secara berangsur-angsur jabatan-jabatan di daerah ini hanya dipegang oleh kaum lelaki. Tidak ada lagi usulan untuk mengangkat kepala-kepala pemerintahan perempuan, sementara para arung wanita yang menjabat fungsi pemerintahan yang berlangsung sejak zaman kerajaan Bone kini digantikan fungsinya oleh suami atau anak laki-lakinya.

Beberapa arung wanita masih memiliki gelar mereka dan masih memperoleh pendapat dari tanah ornamen, seperti misalnya Aru Ajjalireng, Arung Teko, Arung Melle, Arung Cinnong, Arung Lalidong, Arung Kalibong, Arung Pattuku dan Arung Paccing.

Para anggota pemerintahan swatantra, kepala distrik, dan sejumlah kepala onderdistrik menerima gaji/tunjangan tetap dari kas landschap. Penggajian ini ditetapkan sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan pemerintah mengenai hal itu, di mana diusahakan bahwa jumlah penggajian itu kurang dari ½ bagian dari total anggaran kas landschap.

Selain gaji/tunjangan tetap, para kepala tersebut dibiarkan tetap memiliki pendapatan yang berasal dari kepemilikan tanah ornamen mereka (tanah jabatan, kebun, sawah, empang, dsb).

Menurut hasil pendapatan kepemilikan ornamen, diambil tolak ukur bahwa para kepala distrik harus mendapatkan 1000 hingga 2000 ikat padi. sebagai hasil dari sawah jabatan mereka, sedangkan kepala onderdistrik 800-1000 ikat, kepala banua 300-600 ikat dan para kepala kampung 200-300 ikat, di mana persawahan itu dikerjakan secara rodi oleh penduduk yang tinggal di wilayah para ketua tersebut.

Para kepala yang masa kerajaan memegang jabatan dan memperoleh pendapatan dari tanah-tanah jabatan, setelah tidak difungsikan lagi, perlu dikurangi jumlah tanah jabatannya, sementara kebanyakan kepala, karena memperoleh tanah yang lebih banyak telah memperoleh peningkatan pendapatan.

Para kepala banua dan kepala kampung kesemuanya ada SK pengangkatan, jadi mereka yang memungut pajak atau “sima’ assapareng atuong”, serta yang pada dasarnya harus mempertanggung jawabkan uang ini secara langsung kepada kolektor (pengumpul) pajak, menerima masing-masing 8% dari jumlah yang mereka setor sebagai jasa pemungutan.

Para kepala yang menerima sedikit pendapatan dari jasa palawatan (hadiah uang pada saat perkawinan), sesuai yang diatur dalam surat keputusan Asisten Residen Bone tertanggal 25 Desember 1909 No. 2266/7.

Selanjutnya, di beberapa tempat mereka juga menerima uang pada pemakaman seseorang (pangelli tana) dan pendapatan dari pungutan pajak pasar (sessung pasara). Dan menurut peraturan pemerintah, seorang penjual di pasar yang membawa dagangannya dengan dipikul, membayar 1 duit, sedangkan yang membawa dagangannya dengan kuda beban : 2 duit.

Peranung dan Sareang adalah para kepala yang tidak bertanggung jawab atas pemungutan pajak dan mereka tidak mempunyai SK pengangkatan. Mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, namun tidak menikmati pendapatan dari pemerintah. (Memori serah terima jabatan onderafdeeling Bone Riattang 1912-1915).

Sumber: Teluk Bone

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A