Langsung ke konten utama

MESIR DI MASA DINASTI FATIMIYYAH & BERDIRINYA DINASTI AYYUBIAH


Mesir merupakan negara di Afrika yang sangat merasakan kekuasaan dinasti Fatimiyyah. Karakteristik khas budaya mereka diteruskan secara turun-temuran kepada penerusnya Ubaydullah al-Mahdi. Meskipun begitu perdebatan dan intrik politik dengan provinsi-provinsi di barat laut Afrika dan Asia Barat membuat Kairo Mesir sulit untuk meletakan jejak sejarahnya di daerah tersebut.
Sejarah kebudayaan Mesir, Fatimiyyah dan dinasti-dinasti sebelumnya yaitu dinasti Iksidiyah dan dinasti Thulun merupakan dinasti yang berkebudayaan Arab-Persia. Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (2005), mengatakan bahwa pada periode Fatimiyyah kebudayaan yang mendominasi pada saat itu yaitu kebudayaan Persia. Terdapat elemen penting yang menjadi perhatian pada periode Abad Pertengahan dan masa modern yaitu orang - orang Kristen Koptik yang terarabkan, populasi tersebut bertahan di bawah kekuasaan rezim ultra-Syiah meskipun masyarakat pada umumnya beraliran Sunni.
Melanjutkan dari buku History of the Arabs (2005), pada periode Fatimiyyah menandakan munculnya perubahan baru bagi bangsa Mesir. Pada mulanya bangsa Mesir pada periode dua dinasti sebelumnya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip kebangsaan dan keagamaan. Pada masa dinasti Fatimiyyah, Mesir dikuasai kekuatan besar yang didasarkan pada prinsip keagamaan. Kemajuan tersebut berkat kekuatan militer dan posisi kekhalifahan abbasiyah yang semakin melemah.
Dua ratus tahun kejayaan dinasti Fatimiyyah mulai goyah dan melemah lantaran dipenuhi intrik politik. Kairo Mesir hampir jatuh ke tangan Kristen pada saat Perang Salib, lantaran penguasa Kairo yang mulai melemah dan dapat dengan mudah disingkirkan namun Salahudin Al-Ayyubi atau Saladin berhasil menghalaunya.
Semenjak peristiwa itu Saladin mendeklarasikan kekuasaannya atas Fatimiyyah di bawah bendera dinasti Ayyubiah. Saladin tidak menghancurkan Kairo, Ia melanjutkan semangat pembangunan di sana dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas sosial lainnya. Selain itu Saladin mengubah paham keagamaan di sana dari Syiah ke Sunni.

Sumber:
https://tirto.id/kairo-dan-dinasti-fatimiyah-kala-mesir-dikuasai-kaum-syiah-cKMH
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/04/27/p7tst2313-kairo-dari-dinasti-fatimiyyah-hingga-sultan-salahuddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A