Langsung ke konten utama

DEPOK TANAH WARISAN SAUDAGAR VOC



Penolakannya terhadap politik kompeni,membuat CHASTELEIN membangun koloni sendiri di selatan Batavia .

KENDATI sama-sama mendulang kekayaan di Hindia Belanda, Cornelis Chastelein bersilang jalan dengan VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur). Pada 1691, Chastelein memutuskan pensiun sebagai saudagar. Dia mengundurkan diri dari kongsi dagang Belanda itu karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan Gubernur Jendral Mr. Willem of Outhoorn. Chastelein menyadari bahwa sebuah koloni akan stabil dan makmur apabila penduduknya tidak ditindas.

Pada 1695, Chastelein membeli beberapa lahan partikelir di selatan Batavia di antaranya adalah Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Depok. Tanah di Serengseng dibangun menjadi rumah peristirahatan menikmati masa pensiunnya. Sementara itu, tanah Depok hendak dijadikannya sebagai lahan penghasil produk-produk pertanian.

 “Sebagai penguasa tanah Depok, Chastelein ingin mewujudkan cita-cita memerintah dengan pendekatan soft-power dan penyebaran nilai Kristen” ujar Lilie Suratminto, dosen Sastra Belanda FIB UI.

Membangun Negeri Depok
Cornelis Chastelein menjadi sosok penting dalam pembangunan tanah Depok. Dia lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam dari pasangan keluarga Prancis-Belanda yang berada. Ayahnya, Anthony Chastelein adalah anggota De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) dari kongsi dagang VOC. Ibunya, Maria Cruydenier putri walikota Dordrecht.

Chastelein memulai kariernya pada usia 18 tahun sebagai pemegang tatabuku kongsi dagang VOC yang bertugas di Hindia Belanda. Dia kemudian sohor sebagai pedagang tajir. Di masa senjanya, Chastelein membangun tanah koloninya sendiri.

Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714), Jan-Karel Kwisthout menguak sepak terjang Chastelein dalam mengelola tanah perawan yang kemudian dikenal dengan nama Depok. Untuk mengelola tanah Depok yang subur, Chastelein mendatangkan sejumlah budak yang berasal dari Bali, Makassar, Malaka, hingga Sri Lanka. Beberapa produk natura unggulan dihasilkan, seperti: indigo, coklat, sirsak, nangka, dan belimbing. Buah terakhir menjadi maskot kota Depok hingga saat ini.

Nama Depok sendiri merujuk dari bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen yang berarti Organisasi Kristen yang Pertama. Menurut Kwisthout, negeri Depok merupakan eksperimen dari Chastelein yang ingin melanggengkan kekuasaan lewat pendekatan humanis dan agama. Namun, dalam perkembangannya, nama Depok memiliki cerita lain.

“Ada istilah Padepokan, diambil dari bahasa Sunda yang berarti pertapaan, merujuk Depok sebagai tempat pertapaan. Depok ditafsirkan pula sebagai Daerah Pemukiman Orang Kota,” kata Lilie.

Tergilas Revolusi
Menjelang mangkat, Chastelein mewariskan tanah Depok kepada para budaknya. Dalam surat wasiat bertanggal 13 Maret 1714, tanah warisan itu diamanatkan dalam bentuk kepemilikan bersama. Wasiat itu menerangkan pula, setelah Chastelein meninggal, 150 orang hambanya yang mengerjakan tanah pertanian Depok akan dimerdekakan. Baik Kristen atau Muslim mereka memperoleh kebebasan.

Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok. Dua belas nama tersebut adalah nama marga keluarga yang menjadi penduduk asli tanah Depok. Bermula dari 150 budak yang dimerdekakan oleh tuan mereka, Cornelis Chastelein. Bagi yang telah memeluk Kristen, mereka diharuskan memilih salah satu dari 12 marga yang ditetapkan Chastelain, yang mengacu kepada 12 murid Yesus.

Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 di Batavia akibat wabah epidemi. Sejak saat itu budak kuli pertanian yang mewarisi tanah Chastelein hidup sebagai orang merdeka. Mereka kemudian menjadi penduduk asli Depok yang lebih dikenal sebagai Belanda Depok. Komunitas ini hidup secara turun-temurun dengan sistem pemerintahan yang diwariskan Chastelein.

Pemerintahan di Depok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut presiden dan dibantu tujuh anggota dewan penasihat. Mereka dipilih lewat mekanisme pemilihan umum yang dilangsungkan tiga tahun sekali.

Setelah dua abad lamanya hidup tentram dan makmur, petaka menerpa komunitas Belanda Depok. Mereka menjadi korban gejolak revolusi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka harus mengalami teror dan penjarahan yang dikenal dalam peristiwa “Gedoran Depok” karena dianggap sebagai sisa-sisa rezim kolonial.

Beberapa keluarga keturunan Belanda Depok ini masih ada hingga sekarang. Setelah melebur ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1952, mereka mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Yayasan ini mengelola situs sejarah Depok tempo dulu seperti gereja, pemakaman, sekolah, dan kegiatan sosial. YLCC berbasis di kawasan yang kini dikenal sebagai Depok Lama.

Sumber; historia.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A