Langsung ke konten utama

WE TENRI LELEANG, RATU AGUNG TANA LUWU

Pada negeri tempat kami dilahirkan, yakni : Belawa. Sekiranya ada yang bertanya, “PolE tEgaro turungengki’ ?” (dari mana yang menurunkan anda ?). Jika menyebut suatu negeri lain “dari mana asal muasal”, maka pertanyaan itu akan terus berkelanjutan, “Niga turungengki’ ?” (siapa yang menurunkan anda ?). Namun sekiranya pada pertanyaan awalnya dijawab : “PolE Tana Datu Poatangnga’..” (Datu yang memperabdikan saya dari Tana Luwu..), maka tiada lagi pertanyaan berikutnya..”. Bagaimana bisa Tana Luwu demikian diagungkan seperti itu ?, tanya salah seorang kemenakan kami penasaran. Maka salahsatu jawabannya adalah diuraikan dan dihaturkan berikut ini.
……………………………………………………….

Pada pertengahan abad XVIII, Catherine seorang puteri Kerajaan Jerman Minor dinobatkan “Tsarina” (kaisar) Rusia yang memimpin rakyatnya menuju keagungan Eropa. Maka pada belahan dunia lainnya dalam kurun waktu yang sama, Bangsa Luwu di Pulau Celebes terbit pula seorang pemimpin perempuan yang keagungannya tetap meninggalkan jejak-jejaknya hingga dimasa kini. Beliau adalah Ratu We Tenri lElEang "Sultana Aisyah" Datu TanEtE, Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu. Suatu bukti, bahwa : Luwu adalah Bangsa yang besar.

Terlahir pada paruh ketiga abad XVII dan wafat pada pertengahan abad XVIII (1750), kiranya tidaklah berlebihan jika penulis beranggapan bahwa tokoh perempuan yang satu ini adalah titik sentral silsilah yang memperhubungkan garis keturunan para Raja Besar di Sulawesi. Baginda Ratu melahirkan keturunannya yang terdiri dari para Raja dan Ratu perkasa, sehingga mendominasi percaturan politik di Asia Tenggara pada abad XVIII hingga kini.

Ratu We Tenri lElEang "Sultana Aisyah" Datu TanEtE, Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu adalah puteri We Batari Tungke’ Pajung Luwu dengan La Rumpangmegga’ To SappEilE Opu Cenning Luwu. Ibundanya, yakni : We Batari Tungke’ Pajung Luwu adalah puteri Laonrong Topalaguna Pajung Luwu X (1676-1704) dengan We PattEkEtana Datu TanEtE. Maka ke-datuan TanEtE dalam wilayah Kab. Barru pada masa kini yang diwarisi WE Tenri LElEang beserta segenap turunannya kemudian adalah berasal dari neneknya, yakni We PattEkEtana. Suatu nama gelar yang berarti : Membawa/mempertautkan dua Kerajaan.

Baginda Ratu adalah seorang pemimpin yang adil dan bermartabat. Hal ini dibuktikannya ketika salah seorang puteranya yang adalah Putera Mahkota (Opu Cenning Luwu) gemar melanggar adat, dijatuhinya hukuman "Ripaoppangi Tana na risorong rakko lopi-lopinna" (diusir dari wilayah kerajaan dan tidak boleh kembali selamanya). Kemudian salahseorang puteranya yang lain, yakni : Petta MatinroE ri Waniaga terpaksa bahkan harus menjalani hukuman mati dengan ditenggelamkan di Tanjung Bira atas kesalahan yang dilakukannya, dimana hukuman tersebut adalah dengan persetujuan Ibundanya sebagai Datu Luwu. Hal yang disetujui Sang Datu, walaupun tentunya dengan deraian air matanya. Tidak cukup sampai disitu, sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan puteranya, beliau mengundurkan diri sebagai Pajung Luwu.

Sebagai pengganti kekosongan tahta Luwu pasca pengunduran diri We Tenri LElEang, dinobatkanlah pamannya sendiri (saudara seayah Ibunda We Tenri LElEang), yakni : La KasEng Tosibengngareng Petta MatinroE ri Kaluku BodoE. Namun tidak lama memerintah, Baginda wafat. Maka We Tenri LElEang diminta kembali untuk menduduki singgasana Luwu.
Suatu kejadian menarik telah terjadi pada masa suksesi kepemimpinan Tana Luwu pada waktu itu. Syahdan, Tana Luwu setelah kepergian We Tenri LElEang ke TanEtE, terjadilah kekosongan pucuk pemerintahan. Oleh para hadat Luwu, diutuslah beberapa orang kepercayaan untuk menjemput La KasEng Tosibengngareng (pamanda We Tenri LElEang) ke Bone, demi meminta kesediaannya untuk dinobatkan selaku Datu Luwu.

Walhasil, para utusan itu menemui To Sibengngareng di arena judi. Ternyata selama ini, tiada lain yang dilakukan oleh pangeran Luwu itu hanyalah bermain judi. Ketika utusan menghaturkan maksudnya, diluar dugaan siapapun ketika itu, ternyata To Sibengngareng menolaknya dengan santai. “Saya tidak butuh menjadi Raja Luwu atau dimanapun. Saya sudah senang dengan kehidupanku sekarang..”, jawabnya dengan acuh tak acuh. Maka dengan apa boleh buat, utusan itu memohon diri kembali ke Luwu.

Setibanya di Luwu, Hadat Luwu memerintahkan agar kembali menjemput  La KasEng To Sibengngareng. “Dia setuju atau tidak setuju, dia harus menjadi Datu Luwu. Kalau dia menolak, paksa dia dengan cara apapun !”, demikian amanat yang diterima oleh para utusan itu. Maka kembalilah para utusan itu ke Bone dengan misi yang sama namun dengan perintah yang lebih tegas. Pada akhirnya, setelah lelah membujuk dengan halus, para utusan itu menyergap To Sibengngareng lalu menelikung kedua tangannya dibelakang punggung, diikat lalu dinaikkan keatas kuda. Beliau dibawa paksa ke Luwu dan dinobatkan dengan paksa sebagai Luwu.

Selama hidupnya, We Tenri LElEang menikah sebanyak tiga kali. Pernikahannya dengan La Mappasiling (La Mappasali, La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE Duninna, melahirkan : La Mappajanci Datu SoppEng XXVII MatinroE ri Laburaung dan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu MatinroE ri PangkajEnnE. La Mappajanci Datu SoppEng XXVII menikahi sepupu sekalinya, yakni : I Sabong (puteri La Oddang Riu DaEng Mattinri' "Sultan Fachruddin" Datu TanEtE Datu SoppEng XXIII), melahirkan I MEnengratu Arung Lipukasi. Adapun halnya dengan We Tenri Abang DaEng Baji DatuE Watu, beliau dinikahkan dengan La Pallawagau' Arung Maiwa Datu Pammana Pilla ri Wajo, melahirkan 4 puteri dan 1 putera, yakni : I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana, We Tenri Balobo DaEng RiyasE Datu Pammana, I Mappanyiwi Datu Pammana, I BubEng KaraEngta PambinEang dan La Tenri Dolong Datu Pammana.

I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana telah menikah sebanyak dua kali pula. Dari suaminya yang bernama : La Settiang Opu Maddika Bua (La Sattiaraja Opu Dg. Cella), beliau melahirkan I Nomba Petta Mabbola SadaE Datu Pammana (isteri La Pasanrangi Muhammad Arsak Petta CambangngE Arung Malolo SidEnrEng) dan La Patarai Opu Lamunreng. Melalui garis inilah, keturunan We Tenri LElEang beranak cucu sebagai para penguasa Kerajaan Bone, Aja Tappareng, Gowa, SoppEng, Pammana hingga Arung Matoa Wajo. Adapun halnya dengan We Tenri Balobo DaEng RiyasE Datu Pammana telah dinikahkan dua kali pula. Pernikahannnya dengan La Tenrisamallangi Arung Baranti Arung Tellu Latte’ SidEnrEng, melahirkan : La Patombongi Daeng Pasolong KaraEng Bontotangnga (Petta Bombo). Kemudian pernikahan keduanya dengan La Sappo Petta Ogi Arung Belawa Petta Palireng MatinroE ri CempaE, melahirkan : La Tamang Petta Palla’E.

Kemudian puteri yang lainnya, yakni : I Mappanyiwi Datu Pammana menikah dengan La Canno’ Petta LampE Uttu Arung Gilireng Cakkuridi ri Wajo, melahirkan : La Makkulawu Arung Gilireng Cakkuridi ri Wajo (suami I Maddittana Arung Rappang). Kemudian I BubEng KaraEngta PambinEang menikah dengan La Wawo Addatuang SidEnrEng, melahirkan : La Pasanrangi “Muhammad Arsyad” Petta CambangngE Arung Malolo SidEnrEng dan I Ninnong Arung TEmpE.

Kembali pada We Tenri LElEang, dari pernikahannya dengan La Mallarangeng Datu Lompulle' Datu Marioriawa Datu TanEtE, melahirkan : La Maddusila Datu (KaraEng) TanEtE. Putera puterinya yang lain, yakni : We Batari Toja (I Wakkang) DaEng Matana Datu Bakke' (isteri La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVIII, anak La KasEng Tosibengngareng Petta MatinroE ri Kaluku BodoE Datu Luwu XXVII) maka dari garis inilah yang meneruskan trah kesultanan Luwu hingga kini.

Kemudian putera Sang Ratu yang lainnya, La Tenri Sessu' Arung Pancana Opu Cenning Luwu Petta MatinroE ri Belawa memperisterikan We Tenri Lawa BessE PEampo, melahirkan : La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa (ayahanda La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo XLI dan kakek dari La Passamula Datu Lompulle’ MatinroE ri Batu-Batu Arung Matoa Wajo XLII ). Pernikahan lain La Tenri Sessu' Arung Pancana dengan I Pada Petta Punna BolaE Datu Silaja (Selayar), melahirkan : We Asia Datu Lompulle’.

Adapun puteri lainnya, yakni : I Panangngareng Datu Marioriwawo menikah dengan La Sunra Datu Lamuru, melahirkan : La Mappaware’ Datu Lamuru. Tokoh inilah yang juga adalah titik sentral penebaran anak cucunya yang menduduki tahta di Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng, TanEtE, Berru, Tallo dan Gowa.

Hingga kemudian, pada jelang masa tuanya, Sri Ratu We Tenri LElEang bercerai dengan La Mallarangeng Datu Lompulle' Datu Marioriawa Datu TanEtE. Disinilah sejarah telah terekam lewat Lontara TanEtE, dimana seorang wanita bugis memiliki harkat yang sama dengan lelaki bugis, yakni We Tenri LElEang sendiri membuktikannya dengan “menceraikan” suaminya tersebut.

Bahwa ketika La Mallarangeng “menyindir” mantan isterinya itu bahwa “lebih baik meniduri gundik daripada seorang puteri bangsawan yang cantik jelita. Siapa lagi yang mau memperisteri seorang puteri bangsawan yang walaupun cantik jelita namun sudah tua ?”. Maka dibalas oleh We Tenri LElEang : “bagaimana orang lain berbuat, iapun bisa berbuat demikian. Jangan disangka tiada lagi bangsawan sepantaranku yang tidak mau kepadaku”. Hal yang kemudian dibuktikannya dengan mengikatkan ujung selendangnya pada hulu keris “Petta PonggawaE” (Panglima Besar Kerajaan Bone) pada suatu pesta keramaian. Selanjutnya, beliau dilamar dan menikah dalam suatu prosesi pesta pernikahan agung di Bone. Hingga wafatnya, Petta PonggawaE (Petta MatinroE ri Salassana) inilah yang merupakan suami terakhir beliau.

Setelah sekian lama menjalankan amanahnya sebagai Ratu Kerajaan TanEtE, pada suatu hari datanglah Opu BalirantE Luwu (Menteri Kesejahteraan Kerajaan Luwu) menghadap beliau. “Pamandamu (La KasEng Tosibengngareng) sudah tua renta. Beliau mengutusku untuk menghadapmu, kiranya anda bersedia menghadap beliau di Luwu. Beliau sedang sakit keras dan berharap kiranya bertemu dengan anda”, ujar Opu BalirantE. Maka bertolaklah Sang Ratu TanEtE bersama dengan suaminya menuju Luwu melalui perjalanan laut dengan menumpang kapalnya sendiri yang bernama “Pao JengkiE”. Pada akhirnya, setelah seminggu tibanya di Luwu dan bertemu dengan pamannya, Datu Luwu yang tua renta itu wafat dengan tenang karena terlebih dahulu telah memintai dan menerima kesediaan We Tenri LElEang untuk kembali dinobatkan sebagai Datu Luwu sepeninggalnya.

Ditengah kondisi berduka itu, tanpa diduga, suami tercinta Sri Ratu wafat pula. Datu Luwu La KasEng Tosibengngareng wafat pada jam 7.00 malam dan Petta PonggawaE wafat pada jam 4.00 subuh. Maka pada hari penguburan mereka, rakyat Luwu mengusung 2 keranda untuk dikebumikan di Lokko’E, komplek Makam Raja-Raja Luwu di Palopo. La KasEng Tosibengngareng diberi gelar anumerta : “Petta MatinroE ri Kaluku BodoE” dan Petta PonggawaE Bone diberi gelar : “Petta MatinroE ri Salassana”.

Sri Baginda Ratu We Tenri LElEang selanjutnya menjalankan pemerintahan Tana Luwu dengan amat berdisiplin pada aturan dan tatanan adat istiadat. Aturan dan tatanan itu ditegakkannya tanpa memandang bulu. Salahsatu tindakannya yang terkenal adalah ketika menghukum salah seorang puteri kandungnya dengan menggunduli rambutnya dan dijemurnya dihalaman istananya karena dipandang menolak perintah Hadat Luwu.

Sepanjang menelusuri silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan dari abad XVIII sampai abad XX hingga kepada turunannya yang bertebaran pada masa kini, maka didapati bahwa hamper semua Raja-Raja Penguasa TelluE ri Cappa’gala (Luwu, Bone dan Gowa), TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng), LimaE ri Ajattappareng (SidEnrEng, Sawitto, Suppa, Rappang dan Alitta), TanEtE, Berru, PangkajEnnE (Pangkep), EnrEkang dan Maiwa adalah turunan We Tenri LElEang MatinroE ri SorEang beserta anak cucunya diatas. Hal yang sesungguhnya amat mencengangkan karena eksistensi Luwu pada zaman itu sesungguhnya bukanlah sebagai “Kerajaan Penakluk” dengan kekuatan militernya sebagaimana Gowa dan Bone.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa Luwu berhasil menanamkan pengaruhnya yang meluas itu berkat “adab kemuliaannya” sebagai “Luwu Tana Mappabati Alebbireng na Ade’ Maraja” (Luwu tanah kemuliaan dengan adat kebesarannya). Luwu dengan keberagamannya adalah satu-satunya Kerajaan di Sulawesi yang memimpin suatu Bangsa, yakni : Bangsa Luwu.

Wallahualam Bissawwab
By. La Oddang Tosessungriu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A