Langsung ke konten utama

Makna Dari (Pati OBONG) Dalam Hindu Kelasik

Ma Huan, juru tulis pribadi Cheng Ho pada kunjungannya ke Majapahit antara 1413 dan 1415. Ma Huan menuliskan kesaksiannya pada upacara kremasi dan ritual Sati:

"Tatkala seorang bangsawan atau pemimpin tertinggi meregang jiwa, selir dan para pelayan yang paling setia bersumpah:

“Dalam kematian kami akan ikut denganmu.”

Ritual Sati mengacu pada tokoh Daksyani dalam kitab Siva Purana, seb6ah kitab yang berisi kisah dan ajaran keagamaan yang ditulis sekira 300 tahun SM sampai abad ke-4 SM.

Dalam Siva Purana, dikisahkan bahwa Daksayani rela mengakhiri hidup demi menebus rasa hina terhadap suaminya, Siva. Penghinaan itu dilakukan Daksa, raja yang juga ayah Daksayani.

“Tindakan Daksayani adalah perwujudan sati. Dia telah menempuh satya-nya (kesetiaan), untuk sehidup-semati bersama sang suami,”

Dalam konteks suami-istri, satya wacana (bersikap benar dan setia) diucapkan mempelai perempuan kepada mempelai pria saat upacara pernikahan di hadapan api sebagai manifestasi Hyang Agni.

Dengan sumpah itu, sang perempuan bersungguh-sungguh menerima swami (suami) sebagai guru atau dewa. Tak heran bila praktik sati dimuliakan sebagai simbol kesetiaan tertinggi.

Sati biasanya dilakukan oleh para istri berbarengan dengan prosesi kremasi atau pembakaran jasad suaminya. Caranya sendiri macam-macam, tapi yang paling umum adalah dengan melompat pada bara api kremasinya. Dari sini kemudian si istri akan berdiam diri sampai api membuatnya meninggal dan menjadi abu.

Tetapi tidak hanya dengan melompat, dalam kasus tertentu Sati dilakukan dengan cara yang lebih manis tapi tetap ekstrem. Misalnya dengan memangku jasad suami kemudian api dinyalakan dan membakar keduanya sampai habis. Terlepas dari apa pun caranya, hal tersebut takkan mengurangi nilai kesetiaan seorang istri

Ritual Sati atau pati obong tidak hanya dilakukan perempuan di Jawa sebagaimana disaksikan oleh Ma Huan tetapi juga di Bali, terutama di India dimana ritual ini dilakukan oleh semua kasta dan strata sosial, kendati relatif lebih sering terjadi pada kasta atas dan keluarga kaya.

Ritual Sati mempunyai akar budaya yg sangat kuno sebagaimana dicatat sejarawan Aristobulus dari Cassandreia pada 326 SM yang ikut dalam rombongan ekspedisi Alexander Agung ke lembah Indus, telah menyaksikan ritual Sati di kota Taxila (kini wilayah Pakistan). Dan praktik ini terus berlangsung selama berabad-abad setelahnya.

Ada perbedaan dengan praktik di India. Di Jawa dan Bali, ritual Sati tidak hanya dilakukan oleh istri tapi juga selir atau pembantu paling setia. Selain itu, ada penggunaan keris untuk mengakhiri hidup sebelum melompat ke tumpukan api. Kata yang digunakan untuk merujuk tindakan itu disebut bela atau dalam bentuk mabela.

Praktik sati juga terekam dalam relief Candi Jago di dekat Malang, Jawa Timur, yang dibangun antara 1268 dan 1280 –kemungkinan dibangun kembali pada abad ke-14. Candi Jago memiliki enam relief yang menggambarkan kematian bunuh diri Satyawati, istri Angling Darma.

Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeolog Nasional, menduga tiga dari keempat istri Sri Kertarajasa Jayawarddhana, raja Majapahit, yakni Tribhuwaneswari, Narendraduhita, dan Prajnaparamita, melakukan bela. Pasalnya, sepeningal Kertarajasa, justru anak yang bungsu atau istri keempat Kertarajasa (Gayatri) yang berperan besar dalam mengurus putra mahkota dan menjadi Rajapatni.

Selain itu, “Setelah Kertarajasa meninggal dalam usia yang relatif muda, ketiga istrinya tidak pernah disebut lagi dalam sumber tertulis, baik prasasti maupun teks,” ujar Titi Surti.

Jan Oosterwijck seorang saudagar kepala (Opperkoopman) dalam Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), pada Februari 1633 diutus Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer ke Bali untuk membujuk raja Bali agar memerangi kerajaan Mataram, yang empat tahun sebelumnya mengepung Batavia. VOC khawatir Mataram akan menyerang lagi. Dan mereka butuh sekutu.

Misi Oosterwijck gagal. Bahkan dia tak bisa bertemu dengan Raja, yang tengah berduka atas kematian dua anak dan ibunya. Oosterwijck turut menyaksikan upacara kremasi tersebut.

Saat proses kremasi Ratu, 22 budak perempuan melemparkan diri ke kobaran api setelah menikam sendiri atau mendapat tikaman keris dari algojo. Sementara dalam prosesi pemakaman dua putra raja, 42 perempuan dan 34 perempuan ditikam dan dibakar, termasuk dua istri utama dari dua pangeran. Ini merupakan catatan kesaksian Belanda pertama mengenai pengorbanan perempuan di Bali.

Praktik ini kemudian dihapuskan secara bertahap. Di Bali Utara (kerajaan Buleleng dan Jembrana), praktik pengorbanan perempuan berlangsung sampai pertengahan abad ke-19; di Bali Timur (Karangasem) dan di antara penduduk Bali di Lombok pada akhir abad ke-19; dan Bali Selatan (Bangli, Tabanan, Mengwi, Gianyar, Badong, dan Klungkung) sampai awal abad ke-20.

Kasus sati terakhir yang terdokumentasi terjadi pada 1903 ketika dua perempuan dikorbankan saat kremasi Raja Ngurah Agung dari Tabanan,

Dan pada 1903, dengan alasan kemanusiaan dan terdorong apa yang dilakukan Inggris di India, pemerintah kolonial melarang praktik sati.

Setelah adanya pelarangan dari pemerintah kolonial, tidak ada catatan mengenai praktik pengorbanan perempuan di Bali. Menurut Alfons van der Kraan, dalam upacara kontemporer, praktik ini dilakukan dengan membakar sejumlah boneka jerami.

Menurut I Made Suparta, pengajar Jawa Kuna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, esensi kesetiaan dalam  bela di Bali masih tetap terjaga dan dilakukan saat upacara kematian.

Misalnya, pada upacara perabuan di Setra Tampuagan, Bangli, Bali pada pertengahan 2006, sang janda membuka gelung rambutnya, membiarkan rambutnya terurai, dan kemudian membersihkan patulangan (wadah tempat kremasi) dengan rambutnya sebelum jenazah sang suami diletakkan dan dikremasi.

“Itu adalah tanda dan peringatan bahwa dia akan menjanda dan tidak menikah lagi,” ujar I Made Suparta.

Disini bentuk kesetiaan perempuan menemukan bentuknya dengan lebih manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A