Langsung ke konten utama

KEDUDUKAN WANITA DALAM BINGKAI PRANATA SOSIAL BUGIS


By. La Oddang Tosessungriu
…………………………………………………………… 

Lontara Attoriolong Luwu menyebut gender perempuan sebagai : “Awiseng” (Yang Berbusana AWI) dan gender laki-laki sebagai “Sawungeng” (Yang dipersiapkan untuk disabung). Bahwa “awi” adalah sejenis sarung yang telah dijahit sebagaimana sekarang ini, hal mana jika dikenakan oleh perempuan dengan cara melilitkan dipinggang lalu ujungnya diselipkan, itulah yang disebut “makkawi”. Berbeda halnya jika dikenakan oleh laki-laki, pinggiran atasnya dieratkan dipinggang lalu ujungnya itu digulung (dilinting), maka itu disebut “mappangerre’”.

Kedudukan laki-laki dan wanita menurut pandangan Pangadereng Luwu adalah sama menurut kodratnya masing-masing. Olehnya itu, model pranata sosialnya dinyatakan secara tegas sebagai Bilineal ataupun Bilateral. Maka dalam Lontara Pangadereng Luwu (koleksi Istana Kedatuan Luwu) terdapat dua statement yang berkaitan dengan hal ini, sebagai berikut :

1. AmbE’ mappabbati, Indo’ mappattase’
(ayah yang mewariskan nazab, ibu yang menjadikan derajat darah turunan menjadi “masak”)

2. AmbE’ pawata’ cappa’ passapu, Indo’ parEnrEng ikko’ simpolong
(ayah yang menarik dengan ujung destarnya, ibu yang menghela dengan ujung sanggulnya)

Kedua pokok pikiran diatas inilah yang menjadi azas utama dalam hal “mattimbang darah” (menakar derajat kebangsawanan) di Luwu yang juga sama halnya diseluruh kerajaan-kerajaan Bugis seperti : Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, Sawitto, Suppa’, Rappang, Alitta, Berru dan TanEtE. Bahwa rumus utama dalam hal penentuan derajat itu adalah :

Derajat Darah ayah (A) + Derajat Darah Ibu (I) = “X” lalu dibagi 2 = Darah Anak. Uraian tersebut disingkat : A + I = X/2 = ?. Maka dari rumus “Timbang Darah” inilah, jelaslah jika pengaruh statement “AmbE Mappabbati, Indo’ Mappatase’” berlaku dalam hal ini. Semisalkan ayahnya berderajat darah 100 % menikah dengan ibunya yang berderajat darah 50 %, maka anak-anaknya berderajat darah 75 %, hal mana pada Wari Pangadereng Luwu, anak-anaknya itu dikategorikan sebagai “Ana’ Massalangka” ataupun “RajEng Lebbi”.

Terkhusus dalam hal pengkategorian derajat darah bocco 100 % pada khazanah Wari Pangadereng Luwu, didapati 4 kategori yang sama-sama berderajat 100 %, yaitu :

- Ana’ Mattola Massusungeng adalah : Anak yang dilahirkan oleh ayah/ibunya darah yang sama, tatkala ayah/ibunya sedang menduduki tahta selaku Datu/Pajung Luwu,

- Ana’ Mattola Massalangka adalah : Anak yang dilahirkan oleh ayah/ibunya darah yang sama, namun ia terlahir tatkala ayah/ibunya belum menduduki tahta sebagai Datu/Pajung Luwu,

- Ana’ AngngilEng Sengngempali adalah : Anak yang dilahirkan oleh ayah/ibunya darah yang sama, terlahir ketika ayahnya sedang menduduki tahta selaku Datu/Pajung Luwu, namun ibunya bukanlah “Opu Datu” (permaisuri) meskipun berdarah “bocco” (100 %) ataupun puteri seorang Ade’ Seppulo Dua ataupun Ade’ AsEra,

- Ana’ AngngilEng adalah : Anak yang dilahirkan oleh ayah /ibunya darah bocco namun keduanya tidak menduduki tahta selaku Datu/Pajung Luwu (saudara atau sepupunya Datu/Pajung Luwu).

Keempatnya tidak dibatasi oleh gender sehingga putera maupun puteri dengan memiliki hak dan sebutan yang sama. Namun kemudian, meskipun derajatnya sama tapi tetap harus ditunjang pula oleh factor lainnya, sebagaimana disebut : “Malebbi Ajajiang, Nakadoi Sara’” (kelahirannya dimuliakan dan di”iya”kan oleh syariat Islam). Kedua factor inilah yang amat menentukan dalam hal pemenuhan haknya sebagai Tomaddara Bocco yang “Mattola Datu, Nasekko Pajung MaEjaE” (mewarisi tahta Datu, dinaungi Payung Kebesaran berwarna merah).

Istilah “Malebbi Ajajiang” adalah bagi anak yang dilahirkan oleh kedua orang tuanya, dimana ayah ibunya itu dirayakan pernikahannya dengan seluruh ritual adat kebesaran. Ibunya disembah dengan mahar “Sebbukati” sehingga anak-anaknya dipersebutkan sebagai “Sebbukati”. Sebagai contoh disini adalah pernikahan antara Opu Cenning Luwu Andi Mackulau Opu Daeng Parebba (Putera sulung Opu Topapoatanna PapoataE Andi Djemma Opu ToappamEne’ Wara-WaraE Datu/Pajung Luwu dengan Opu Andi Kasirang) dengan Andi Bau’ Mannennungeng PettaE SErEang (Puteri DatuE Andi Pajung Arung Tellu Latte’ Sidenreng dengan Andi Pancaitana BungawaliE) dirayakan di Palopo maupun di Massepe (Sidenreng) dengan amat meriahnya serta dihadiri segenap raja dan ratu dari kerajaan-kerajaan sekelilingnya. Attoriolong Sidenreng (lbr. 38) memberitakan bagaimana meriahnya pesta di Massepe sehingga diadakan “MassErE Datu” yang diprakarsai oleh DatuE H. Andi Mangkona Arung Matoa Wajo (Datu Marioriwawo) dan DatuE Andi Makkulawoe Cakkuridi Wajo, dimana para Raja itu menari bersama dengan raja-raja lainnya. Maka putera puteri yang dilahirkannya dikategorikan : “Malebbi Ajajiang” yang secara otomatis “Nakadoi Sara’” pula.

Kemudian sehubungan dengan topic utama uraian ini, timbullah pertanyaan : “Bagaimana hak seorang anak jika ibunya lebih berat timbangan darahnya daripada ayahnya ?”. Berdasarkan statement kedua (AmbE’ pawata’ cappa’ passapu, Indo’ parEnrEng ikko’ simpolong), maka hak gelar derajat darahnya tetap sama, termasuk pula hak kedudukannya sebagai Dewan Adat. Hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat berpandangan seperti demikian, termasuk dalam hal ini adalah Kerajaan Gowa sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa Sombangta ri Gowa I Mallombassi Daeng Mattawang “Sultan Hasanuddin” Tumenanga ri Balla’ Pangkana adalah putera I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papan Batunna dengan I SabbE Lo’mo Tokontu. Bahwa sebagaimana ketentuan yang secara umum disepakati oleh para “Panguriseng” ataupun Pallontara’ Gowa, bahwa seseorang yang tidak diketahui secara jelas garis salahsatu orang tuanya, ditabalkan baginya derajat darah “Ana’ SipuE’” (anak setengah) ataupun “CEra’ Seddi”. Berhubung karena I SabbE Lo’mo Tokontu tidak diketahui nazab ibunya, sehingga pada umumnya Pallontara’ membubuhkan symbol “bate sEddi” (bendera satu) dengan angka 50 %. Olehnya itu, Sultan Hasanuddin diberi angka derajat darah 75 %. Namun kemudian, memperhatikan wasiat Sombangta Tumenanga ri Papang Batunna dan kesepakatan bulat BatE Salapang Gowa beserta pertimbangan lainnya, sehingga beliau dinobatkan menjadi Somba Gowa XVI (baca ; Sagimun MD, Sultan Hasanuddin Menentang VOC, Dep.Dikbud – Jakarta, 1985).

Pada kebanyakan Lontara di Sulawesi Selatan dan Barat, Sultan Hasanuddin dituliskan memiliki “KaraEng BainEyya” (permaisuri) yang berderajat “Ana’ KaraEng Tinno’” (100 %), yaitu : I BatE Daeng Tommi karaEng PambinEang. Pernikahannya dengan puteri yang tertulis berderajat lebih tinggi ini melahirkan Sombangta ri Gowa I Mappasomba Daeng Mangngurangi “Sultan Amir Hamzah” Somba Gowa XVII (1669 -1674). Kemudian Sultan Hasanuddin menikahi pula Petta Daeng Nisau yang dituliskan pula sebagai berdarah Bocco (100%), melahirkan : I Mappasossong KaraEng BisEi “Sultan Muhammad Ali” Tumenanga ri Jakattara Somba Gowa XVIII (1674 – 1677) dan I Mappadulung “Sultan Abdul Jalil” Tumenanga ri Lakiung Somba Gowa XIX (1677 – 1709). Maka bukti sejarah yang terurai dalam Lontara ini membuktikan bahwa bahkan pada Kerajaan Gowa yang sedemikian “ketatnya” hingga hari ini berpatokan pada garis bapak juga tidak selamanya bersikukuh pada system Patrilineal itu, melainkan amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ruang sejarahnya kala itu. Bahwa ketiga Somba Gowa yang disebut terakhir diatas, kenyataannya memiliki darah “matase’” (Makassar  : Tinno’) yang terpokus dari nazab ibunya.

Bagaimana halnya dengan Luwu ?. Lontara Wari Pangadereng Luwu (lbr 12) menyatakan : “REkko ana’ arung awiseng naddutai sawungeng ritonra sebaliyawana, napoatai ritu” (jika puteri bangsawan yang dilamar oleh bangsawan lelaki yang derajat darahnya dua kali lipat lebih rendah dari puteri itu, maka dijadikanlah ia budak puteri bangsawan itu). Sebagai contoh sekiranya seorang lelaki berderajat 50 % (RajEng Matase’/Ana’ Arung Tenritawa) berani melamar secara “Wari Ade’” (prosesi tatanan adat) kepada seorang puteri bangsawan berderajat darah 100 %, maka lamarannya ditolak serta ditambahkan sangsi adat (idosai) dengan memberikan status baru baginya sebagai “Ata” (budak).

Namun lain halnya jika lelaki  bangsawan itu lebih rendah derajatnya pada hitungan tidak sampai dua kali lipat dari derajat puteri itu, dikenakanlah sangsi denda (Ipangelli Darah) sesuai jumlah jumlah selisih persennya. Pada Lontara TanEtE diberitakan tatkala Puetta La Mappaselli’ Arung Pattojo MatinroE ri Duninna (putera La Kareddu’ Arung Sekkanyili) melamar Opu Topapoatanna PapoataE We Tenri LElEang Datu/Pajung Luwu MatinroE ri SorEang, didapati selisih 5 %. Maka pihak Soppeng ini membayar Pangelli Darah tambahan 5 Sebbukati, sehingga secara total menjadi 13 Sebbukati Bocco. Perhitungan 1 Sebbukati Bocco yang dimaksud adalah : 14 kati Doi’ Riyolo, dimana masing-masing 1 kati Doi’ Riyolo terdiri dari : 88 REala’ + 8 Oang + 8 Doi’ Ringgi’ + 1 Ata + 1 TEdong. Pernikahan agung itu pada akhirnya berlangsung dengan semeriah-meriahnya dan kelak melahirkan para simpul Maddara Bocco, antara lain yaitu : Puetta La Mappajanci “Petta PonglipuE” Datu Soppeng MatinroE ri Laburaung dan We Tenri Abang DatuE Watu Petta MatinroE ri PangkajEnnE’. Bahwa meskipun derajat ibunya lebih “matase’” dari derajat ayahnya, namun ritual “mangelli Darah” menjadikannya “ripaccella’” (dimerahkan kembali) sehingga turunannya kembali dihitung Bocco 100 %.

Uraian diatas adalah menyangkut tatkala derajat darah bangsawan wanita lebih “matase’” dari lelaki sehingga diadakanlah persyaratan “mangelli darah”. Persyaratan ini dapat berlaku diluar sebab selisih “ketuaan kerajaan”. Lontara Akkarungeng Luwu memberitakan pernikahan Puetta La Pallawagau’ Datu Pammana Pilla ri Wajo Petta MatinroE ri Pammana dengan We Tenri Abang DatuE Watu Petta MatinroE ri PangkajEnE diatas. Bahwa meskipun timbangan darah keduanya adalah “sama raja” (seimbang), namun kedudukan negeri asal yang berbeda. Bahwa Pammana yang merupakan bentukan dari Cinna, negeri dimana I La Galigo To Padammani Lenne’ PujiE dilahirkan, namun tradisi Sure’ yang mendasari Wari Pangadereng kedua kerajaan menyatakan bahwa Tana Luwu adalah negeri induk bagi Pammana (Inanna Pammana). Olehnya itu Pammana haruslah membayar “pangelli darah” kepada pihak Luwu. Namun kemudian, Opu Topapoatanna PapoataE We Tenri LElEang menyatakan statementnya yang terkenal atas “Alebbirengna Pammana” ketika itu, bahwa : “Mauni mallipa’ karoro’, rEkko To Pammana, Tangke’i maElE” (meskipun ia mengenakan sarung goni, jikalau ia orang Pammana, terimalah lamarannya segera).

Pandangan Pangadereng Luwu terhadap kedudukan perempuan sebagaimana dinyatakan kedua statement yang menjadi azas peletakan susunan Wari (tatanan) diatas terbukti berkelanjutan sebagaimana ditulis oleh sejarah. Bahwa Kedatuan Luwu melalui kewenangan Dewan Adat 12 memilih Datu berdasarkan ketentuan darah Luwu dan pertanda takdir, bukan didasari gender. Sesungguhnya bukan hanya atas selisih derajat darah dan ketuaan negeri yang dapat menyebabkan pemberlakuan denda sebagaimana diuraikan diatas. Selain “mangelli darah” diberlakukan pula “mangelli dadi’” yang disesuaikan harga 24 (dua akkareng) mangkuk porselen bagi lelaki yang melamar seorang wanita diatas garis generasi silsilahnya. Lontara Attoriolong Luwu pula menuliskan betapa Opu Topapoatanna PapoataE Andi Djemma tatkala melamar Opu Andi Kasirang yang adalah sepupu sekali dari neneknya, mendapatkan pula sangsi itu. Pernikahan itu melahirkan seorang Opu Cenning Luwu (Wakil Datu Luwu), yakni Andi Mackulau Opu Daeng Parebba.

“Mangelli Dadi’” pula diberlakukan diluar Luwu, antara lain di kerajaan Wajo. Tatkala Andi Makkaraka Paddanreng Bettempola melamar Andi Panangngareng Datu Madello, Petta Betteng ini dikenakan pula sangsi yang sama. Ikhwalnya karena Datu Madello yang dilamarnya ini adalah sepupu sekali Paddanreng Bettempola La Jamerro’, kakek Andi Makkaraka. Contoh-contoh yang ditulis sejarah diatas menggambarkan bahwa aturan adat yang bersandar pada syariat Islam itu diletakkan diatas jabatan ataupun kedudukan, sebagaimana di Luwu disebut sebagai : Mangelle’ WaE Pasang. Bahwa tak seorangpun yang “luput” dari aturan (Ade’), meskipun ia yang “menetapkan” aturan itu sendiri. Inilah jejak-jejak kebudayaan yang berserakan pada alur sejarah, cerminan masa lalu yang sesungguhnya menjadi penanda identitas kita hari ini dalam rangka menyikapi masa depan.

Pada akhirnya, bagaimana derajat anak yang terlahir dari perempuan kategori “Jemma Lappa” (derajat darah 0 %) yang dinikahi oleh derajat darah Bocco 100 % ?. Maka rumus yang dikemukakan diatas tetaplah berlaku, yakni : 100 + 0 = 100 : 2 = 50 %. Wari Pangadereng Luwu menetapkan 2 sebutan bagi derajat darah 50 %, yaitu :

1. RajEng Matase’ : Ayahnya darah bocco 100 % (Datu) dan ibunya To MaradEka Salaka PEtau 0 %,
2. Ana’ Arung Tenritawa : Ayahnya darah bocco 100 % (Datu) dan ibunya Ata 0 %.

Selanjutnya seorang Ana’ Datu (50 %) sekiranya ia beristeri To MaradEka (0 %), anaknya mendapatkan strata “CEra’ Dua Mattola Sawi” (25 %). Dapatlah dibayangkan, betapa cepat derajat darah itu menurun persennya, meskipun ia itu adalah cucu langsung dari Raja sendiri. Kemudian “CEra’ Dua Mattola Sawi” (25 %) menikah lagi dengan To Maradeka (0 %), maka dilahirkanlah anak (Eppo Uttuna DatuE) dengan derajat darah kebangsawanan “CEra’ Tellu Mattola Sawi (12 ½ %). Inilah standar di Luwu dan Pammana yang masih bisa menyandang gelar “Andi”, sementara pada daerah lainnya sudah tidak bisa (kesepakatan Pallontara’ tahun 1953 di Sengkang). Namun ketentuan lainnya pada symposium tersebut adalah jika ia generasi ke-7 dari Puetta La Patau’ Matanna Tikka, meskipun jatuhnya 7 x, ia tetap berhak bergelar “Andi”.

Pada akhirnya, tetap jua dikembalikan kepada nilai-nilai luhur yang mendasari disusunnya pranata (wari) ini oleh orang-orang terdahulu. Bahwa ciri khas suatu bangsa yang berperadaban adalah susunan tatanannya. Namun tujuan utama diletakkannya tatanan tersebut adalah untuk menciptakan ketertiban, keteraturan dan keadilan bagi masyarakat itu sendiri. Bahwa sekilas uraian diatas menggambarkan “tatanan kebangsawanan” yang dapat saja dinilai eksklusif. Namun justru pada kenyataannya, adanya aturan tersebut justru menciptakan “peluang” bagi semua kalangan untuk meningkatkan derajat darah keturunannya. Olehnya itu, derajat kebangsawanan sesungguhnya bukanlah “kasta”, melainkan prestasi, sehingga dinyatakan, bahwa : “Naiyya daraE, iyato naEnrE’, iyato nanonno’” (sesungguhnya derajat darah itu, dapat naik, dapat pula menurun).

Menyangkut perihal peningkatan prestasi ini sesungguhnya digambarkan dalam konsep philosofi “Sulapa Eppa’” (segi empat), yakni : Eppa’i sirakkaneng sianrEng temmassarang, iyanaritu : ArungngE, PanritaE (To Acca), WaraniE (To Warani) na MasagEnaE (To Sugi) (Empat sekawan yang makan bersama dengan tak terpisahkan, yaitu : Bangsawan (Raja), Pandita (cendekiawan), Pemberani (ksatria) dan Yang Berkecukupan (orang kaya). Bahwa ketiga golongan lainnya (PanritaE, WaraniE dan MasagEnaE) yang dapat saja dikategorikan To MaradEka Jemma Lappa (0 %), anak turunannya kelak dapat saja menjadi bangsawan tinggi hingga derajat “Samaraja” (95 %).

Sejarah menuliskan seorang Petta To Salama’E Syekh Yusuf Tajul Khalwaty yang ibunya (Sitti Aminah Daeng Risanga) adalah puteri seorang Gallarang di Gowa dan ayahnya seorang Syekh yang meskipun adalah Waliyullah, namun pada sisi Wari, tetap saja dihitung 0 %. Namun berkat prestasi keilmuan dan yang terutama adalah ridho Allah SWT, Syekh Yusuf ditakdirkan memperisteri Ratu Aminah, puteri Sutan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten). Anak turunannya kemudian kembali ke Sulawesi Selatan menjadi pembesar negeri, hingga kedua cucunya perempuannya menjadi permaisuri Kerajaan Bone. Hingga kemudian pada masa ini, kiranya tidak ada Raja ataupun bangsawan berdarah Bocco 100 % di Sulawesi Selatan yang tidak berhubungan dengan nazab tersebut. Maka rumus “Timbang Darah” pada akhirnya jua dikalahkan oleh prestasi. Olehnya itu, Maka dengan ini sejarah yang terurai dalam Lontara Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan menunjukkan, bahwa : “Duairitu tenribali, iyanaritu : Toto’E na PammasEna PuangngE” (dua hal yang tak tertandingi, yaitu : takdir dan rahmat Allah SWT).

Menutup uraian ini, semoga menjadi nasehat bagi diri, kerabat dan sahabat-sahabatku. Bahwa hanya ada 1 jalan yang ditentukan Allah SWT untuk mendapatkan kedua curahan anugerah diatas, yaitu : Ikhlas. Berpikir dan berbuat hingga berujung bertawakkal dengan Ikhlas karena Allah SWT semata, itulah esensi ibadah yang sesungguhnya. Hingga kemudian, penguat takdir dan rahmat Allah SWT itu nantilah ada berkahnya jikalau diikat dengan bersyukur kepada Allah Robbun Ghofur wa Robbun Jalil.


Wallahualam Bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A