Langsung ke konten utama

PETTA BARANG DALAM SEJARAH

PETTA BARANG DALAM SEJARAH

[Md. Alwi Mallawy – Juli2019]

Seusai perang Bone tahun 1905 dan pemerintah Belanda dapat mengalahkan pasukan Bone, kekuasaan dan kedudukan pemerintah Hindia Belanda di Bone tidaklah berjalan sebagaimana yang mereka harapkan. Sebab, meskipun Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri telah diasingkan ke Bandung dan sejumlah bangsawan tinggi telah gugur di medan perang atau ditangkap oleh pasukan Belanda tidak berarti bahwa perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda telah selesai. Dengan gugurnya Petta Ponggawae “Abdul Hamid Baso Pagilingi” di wilayah pegunungan Awo serta di tangkapnya dan pengasingan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri ke Bandung, tidak berarti bahwa perlawanan Bone terhadap Belanda saat itu telah berakhir. Sebab, tidak lama setelah Bone diduduki dan dikuasai oleh Belanda timbul sebuah gerakan perlawanan yang dipimpin oleh sesorang yang bernama Petta Barang (tahun 1906-1931). Tentang siapa sesungguhnya Petta Barang atau Daeng Pabarang, belum dapat dipastikan secara jelas karena sumber tertulis dan keterangan tentang tokoh ini belum dapat memastikan asal-usulnya. Oleh karena itu banyak riwayat tentang asal-usul tokoh tersebut dalam masyarakat (khususnya di wilayah kerajaan Bone, Soppeng) lebih bersifat ‘mistis dan atau mitos’.

Dalam sebuah riwayat, Ia dikisahkan hadir ke dunia ini tidak seperti manusia biasa tetapi diturunkan dari langit (Tomanurung). Keterangan itu diperoleh W.J. Coenen, ketika melakukan percakapan dengan Petta Barang sebelum diasingkan ke Jawa. Dari percakapan itu terungkap pula bahwa, Petta Barang sangat bangga mendapat penghormatan dalam lingkungannya. Dahulu ia senantiasa berada dalam lingkungan istana. Ketika berada di Bikeru pada masa mudanya, ia dianugerahi sebuah keris bersarung emas oleh salah seorang pengikutnya (Coenen,1913: MvO). Namun keterangan yang diungkapkan oleh Coenen tersebut, agak berbeda dengan riwayat yang berkembang dalam masyarakat.

Terdapat riwayat lain yang mengisahkan bahwa ketika Petta Mangung telah mengakhiri pertapaannya di Gunung Bawakaraeng (Petta Mangung adalah ipar dari Arung Passempe Parakassi Petta Siga, dimana Parakassi Petta Siga mengawini saudara perempuan Petta Mangung yang bernama I Kumala Petta Tenne), Ia menemukan seorang tua yang sedang duduk bersandar pada sebatang pohon. Petta Mangung lalu mendekati orang tua tersebut dan mengajaknya ke Pasempe. Tiba-tiba mereka melihat dua ekor kuda berada dekatnya, seekor berwarna hitam dan yang lainnya berwarna putih. Mereka kemudian menggunakan kuda itu berangkat menuju Pasempe. Petta Mangung mengantar orang tua itu ke kediaman Arung Pasempe Parakassi Petta Siga., untuk memperkenalkan dan melaporkan kehadiran orang tua tersebut. Pada waktu Arung Pasempe menanyakan identitas orang tua itu, Ia hanya membisu dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai identitasnya. Orang tua itu hanya bermohon, kiranya ia ditempatkan di atas loteng rumah (rakkeang) dari Arung Pasempe. Permohonan itu dikabulkan dan di tempat itu kemudian Ia tinggal, makan, dan istirahat. Sebagai tamu, orang tua itu dilayani dan disajikan makanan menurut tata cara kebangsawanan. Tetapi, tata cara pelayanan tersebut ditolak oleh orang tua tersebut. Ia tidak menginginkan jika setiap jenis makanan dan lauk yang disajikan terpisah, masing-masing pada piring tersendiri. Ia menghendaki agar seluruh jenis makanan dan lauk yang disajikan itu disatukan saja dalam satu tempat (wadah apapun/sembarang). Sikap dan keinginan itulah yang mendasari pertimbangan Arung Pasempe menamakan orang tua itu dengan Petta Barang, sebuah nama dari arti kata “mappa’ssembarang”.

Selain itu, terdapat pula riwayat mengenai Petta Barang yang menghubungkan dengan asal-usulnya dari keluarga Raja Bone ke-30 We Fatimah Banri Datu ri Citta Arung Timurung (1871-1895). Petta Barang adalah putra dari perkawinan antara Arung Timurung dengan Karaeng Popo (Putra Raja Gowa Karaeng Katangka) yang diriwayatkan bahwa Ia meninggal ketika masih kecil. Konon menurut riwayat, setelah tiga hari dimakamkan Ia bangkit dan hidup kembali dan kemudian kembali ke istana untuk menemui ibunya. Namun ibunya tidak percaya dan menolak anak itu untuk tinggal di istana. Penolakan ibunya itu menyebabkan sang anak meninggalkan Bone menuju Belawa. Kemudian dari sana Ia meninggalkan Sulawesi menuju Jawa dan menetap di Gresik (boleh jadi di tempat inilah beliau belajar dan berguru Ilmu tarekat/ma’rifat merujuk ke riwayat jika kemudian beliau adalah salah satu dari wali tujuh, penulis). Ketika dewasa, Ia dikatakan tiba- tiba Ia muncul kembali di daerah Pasempe dan melakukan kegiatan sebagai seorang “pintar” (sanro) yang sakti, memiliki kekuatan magis, dan menguasai kekuatan supernatural (Poelinggomang & Muh. Arfah,1995: 45).

Sedangkan menurut Gubernur Sulawesi waktu itu H.N.A. Swart yang menceritakan bahwa Petta Barang menampakkan diri sebagai seorang putra dari Raja Bone Basse Kajuara (1857-1860). Dimana, Ia harus berjuang mempertahankan kerajaan Bone secara terus menerus tanpa mengenal lelah dan tidak boleh berhenti sebelum jatuh ke tangan pemerintah Hindia Belanda, baik dalam keadaan hidup ataupun mati (Swart,1908: MvO). Sementara dalam laporan serah terima jabatan (memorie van overgave) dari Gubernur Sulawesi A.J.L. Couvreur diceritakan bahwa Petta Barang, adalah seorang pemimpin gerakan kerohanian yang memulai kegiatannya sebagai dukun (sanro). Ia berlagak seperti Pamadeng Rukka, putra dari Raja Bone Basse Kajuara yang gugur di BajoE ketika pemerintah Belanda melancarkan serangan militer ke Bone pada 1860. Ia menunjukkan dirinya sebagai saudara laki-laki dari We Tenripada, istri dari Raja Gowa Sultan Husain (1895-1905). Setelah sebelumnya Ia bertemu secara kebetulan dengan seorang wanita tua dari Wajo, yaitu ibu-susu dari Pamadeng Rukka yang mengingatkan kembali akan luka-luka yang diderita hingga ia meninggal (Couvreur, 1929: MvO). Keterangan yang diungkapkan oleh Gubernur Couvreur itu didasarkan atas data yang diperoleh dari surat resmi Gubernur A.J. Baron Quarles de Quarles (1908-1910) kepada Gubernur Hindia Belanda tertanggal 6 Maret 1909.

Jika diperhatikan riwayat tentang Petta Barang tersebut, dengan mengabaikan keterangan dari Gubernur Sulawesi (Swart dan Couvreur), maka dapat katakan bahwa sebenarnya Petta Barang adalah salah seorang bangsawan istana. Keris bersarung emas yang dianugerahkan kepadanya menunjukkan bahwa benda yang diperoleh itu adalah benda kerajaan (lise’ Arajang), karena kerajaan saja yang memiliki keris bersarung emas. Demikian pula jika dihubungkan dengan riwayat dari Petta Mangung yang membawa tokoh tersebut ke Pasempe, maka dapat dikatakan bahwa keris itu dianugerahkan oleh Petta Manggung, sebagai orang yang dikatakan sebagai salah seorang pengikutnya. Peng-anugerahan keris itulah yang kemudian menyebabkan Ia bersedia kembali ke kerajaan Bone bersama Petta Mangung. Mereka lalu ke Passempe, karena Watampone telah dikuasai Belanda.

Asal Mula Gerakan Petta Barang

Pada hakekatnya, gerakan yang dipimpin oleh Petta Barang ini bukan hanya dimaksudkan untuk menentang kedudukan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda melainkan juga bertujuan memulihkan kembali kedudukan serta kekuasaan Kerajaan Bone. Penghapusan sistem pemerintahan kerajaan dan pelaksanaan sistem pemerintahan kolonia Belanda saat itu (Kerajaan Bone dibawah kekuasaan Belanda 1905 -1931) telah menghilangkan kedudukan, kekuasaan dan mengurangi sumber pendapatan sejumlah bangsawan (Caron,1933: 43; Poelinggomang, 2004: 156). Itulah sebabnya Petta Barang kemudian meng-organisir kekuatan untuk menentang kekuasaan pemerintah Belanda.

Gerakan yang dipimpin oleh Petta Barang, berawal ketika ia bersama para pengikutnya melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda di Watampone pada Juli 1906. Meskipun tidak memiliki persenjataan yang baik seperti senapan atau senjata api lainnya, namun keberanian para pengikutnya dalam serangan itu dan serangan-serangan berikutnya menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan bagi pasukan Belanda. Sebab hanya dengan bersenjatakan tombak serta keris, mereka tidak gentar dan tidak takut untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda. Bahkan sebagian pengikutnya hanya bermodalkan ‘jimat’ yang diberikan oleh Petta Barang dan dengan senjata seadanya mereka berani menyerang pasukan Belanda yang sedang melakukan patroli. Dalam perkembangannya, gerakan Petta Barang tersebut tidak hanya mempunyai pengikut di Bone tetapi juga di sejumlah daerah lain di Sulawesi Selatan, seperti di Soppeng, Barru, Tanete, Segeri, Camba, maupun di Sinjai. Oleh karena itu, pasukan Belanda cukup mengalami kesulitan dalam  menumpas gerakan itu karena mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Bugis (Poelinggomang & Muh. Arfah,1995: 3).

Petta Barang mengorganisasikan kekuatan untuk melawan Belanda di daerah Passempe. Pasempe merupakan pilihan, karena di samping Bone waktu itu menjadi pusat kekuasaan Belanda tempat itu juga merupakan tempat yang aman dan strategis sebagai tempat persembunyian, dan juga penguasa serta penduduk daerah itu merupakan pendukung setia dari raja-raja Bone. Itulah sebabnya Pasempe selalu dijadikan sebagai tempat pertahanan dan pengungsian raja-raja Bone (Nabba,2006: 117; Mappangara,1996: 198; Amir,2003: 100). (Sepanjang sejarahnya, Bone baru dapat dikalahkan setelah benteng pertahanan di Pasempe berhasil dikuasai oleh musuhnya. Faktanya Gowa dapat menaklukkan Bone setelah kekalahan di Pasempe (Rumpa’na Pasempe) pada 1643, Raja Bone Pancai Tana Basse Kajuara mengungsi ke Passempe dan mengalami kekalahan di tempat itu pada waktu ekspedisi militer Belanda tahun 1860. Demikian juga Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, pada waktu ekspedisi militer Belanda tahun 1905).

Kehadiran Petta Barang di Pasempe memiliki arti yang penting bagi munculnya gerakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda di Bone setelah ekspedisi militer 1905. Petta Barang memulai kegiatannya sebagai seorang ‘orang pintar’. Selain praktek perdukunan, ia juga membagikan dan memberikan jimat kepada mereka yang datang kepadanya. Jimat itu dikatakan memiliki kekuatan magis yang dapat menyelamatkan pemakainya dari bahaya dan menjadikan pemakainya kebal terhadap senjata. Setiap orang/masyarakat yang datang kepadanya untuk berobat atau meminta jimatnya, Petta Barang memperkenalkan diri sebagai seorang utusan Tuhan (Waliyullah). Ia hadir dan muncul ke masyarakat tidak layaknya seperti manusia kebanyakan, tetapi Ia diberi kekuatan dan berkah (cahaya kesucian) dari Yang Maha Suci dan Maha Ajaib yang mengitarinya. Pernyataan tersebut menunjukkan kepada masyarakat waktu itu, jika Petta Barang diutus ke dunia ini sebagai pemimpin untuk memulihkan keamanan dan ketertiban demi terwujudnya masyarakat yang damai dan sejahtera. Selain itu, kemunculannya bertepatan pada waktu Bone sudah tidak lagi diperintah oleh keturunan Tomanurung sebagai peletak dasar terbentuknya kerajaan, yang juga memberi arti bahwa ia datang untuk memimpin rakyat mengusir pemerintah Belanda dan mengembalikan kedudukan kekuasaan Kerajaan Bone. Pernyataan diri sebagai bukan ‘manusia biasa’ tersebutlah yang menyebabkan dalam waktu singkat, Ia telah berhasil mengumpulkan pengikut dalam jumlah banyak dan dengan mudah pengaruhnya itu tersebar luas. Pengaruhnya tidak hanya dikenal dalam kalangan rakyat biasa, tetapi juga dalam kalangan bangsawan tinggi saat itu. Sebutlah, misalnya Bangsawan yang bekerjasama dan membantu perjuangan Petta Barang saat itu adalah Putra Ratu Tanete, La Tenri Sessu yang sebelumnya membantu pasukan Belanda pada 1905, ternyata kemudian bekerjasama dan turut membantu perjuangan Petta Barang. Orang-orang di Soppeng pada umumnya, mengenal Petta Barang dan kemudian juga mendukungnya (penulis belum mengetahui, apakah juga karena ada hubungannya dengan nama salah satu daerah di wilayah Soppeng yaitu daerah Barang, sekarang Desa Barang).

Dukungan juga Ia peroleh dari beberapa kelompok lain yang sering menyerang serta mencegat patroli-patroli pemerintah Belanda, ada kelompok yang di pimpin oleh Andi Panambong di Soppeng (Rasyid, 2007: 47). Menurut laporan Gubernur Coenen, bahwa Andi Panambong adalah seorang pemimpin bandit terkenal di Soppeng. Ia mengorganisir empat kelompok perampok di Soppeng. Lalu, dukungan juga diperoleh dari gerakan yang dipimpin oleh Nyimpa di daerah perbatasan Bone Selatan dan Sinjai. Nyimpa mengorganisir penduduk Kampung Lohe Batu untuk menyerang pejabat pemerintah yang ditempatkan di Bikeru pada 1909. Gerakan yang dianggap didalangi oleh pengikut Petta Barang ini dengan mudah dapat dipadamkan oleh pasukan Belanda yang ditempatkan di Onderafdeeling Zuid Bone. Demikian pula halnya dengan gerakan kerohanian yang dipimpin oleh Ambo Sida di Kampung Lapajung (Onderafdeling Soppeng) pada Juni 1911. Pada umumnya setiap gerakan yang diarahkan pada rencana ataupun penyerangan terhadap pasukan patroli Belanda dan bivak pasukan Belanda yang terjadi di Tanete, Soppeng, Wajo, Bone, Sinjai, Segeri, dan beberapa daerah yang dihuni oleh etnis Bugis lainnya dikaitkan dengan gerakan kerohanian yang dipimpin oleh Petta Barang. Bahkan gerakan Petta Barang masih disebut-sebut sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban bagi pemerintah Belanda hingga 1941 (Harvey, 1989: 52). Bahkan regent Sigeri saat itu, menggabungkan diri secara diam-diam dengannya dan mengirimkan bantuan uang kepada Petta Barang. Dukungan dan bantuan yang diperoleh dari para pemimpin gerakan rakyat dan bangsawan tinggi tersebut yang mendasari pernyataan Swart bahwa semakin bertambahnya pengikut dan semakin luas pengaruhnya, bukan hanya karena perjuangannya dalam menentang pemerintahan Belanda, melainkan yang terpenting adalah jaminan pemondokan dan pangan yang disediakan bagi pengikutnya (Swart,1908: MvO; Poelinggomang & Muh. Arfah,1995: 57).

Upaya Penumpasan oleh Belanda

Pada awal per-gerakan dari Petta Barang, pemerintah Belanda belum berusaha sepenuhnya untuk menangkap tokoh pemimpin gerakan itu. Mereka hanya bergiat mengadakan pengawasan keamanan dengan pasukan patroli. Hal itu berkaitan erat dengan kondisional saat itu. Jumlah pasukan Belanda yang tersedia terbatas untuk dapat menjamin keamanan dan ketertiban di wilayah Gouvenement Celebes en Onderhoorigheden. Sementara keadaan di wilayah ini tidak memungkinkan pemusatan kekuatan untuk menumpas gerakan perlawanan yang bercorak kerohanian yang demikian banyak. Demikian juga terhadap gangguan keamanan akibat kelompok perampok, baik karena tekanan ekonomi maupun sebagai gerakan protes sosial dan politik. Itulah sebabnya Gubernur Swart lebih banyak memusatkan perhatian pada pengawasan keamanan dan ketertiban dan kurang memusatkan perhatian pada penumpasan gerakan perlawanan atau gerakan pengacauan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku (Swart, 1908: MvO).

Demikian pula, waktu Gubernur Sulawesi A. J. Baron Quarles de Quarles (Mei 1908–Agustus 1910) tampil menggantikan Gubernur Swart, usaha untuk mengejar dan menangkap Petta Barang kurang mendapat perhatian. Sebab, menurutnya bahwa Petta Barang bukanlah seorang yang berbahaya. Karena itu usaha pengejaran secara khusus terhadapnya dihentikan. Hanya pasukan-pasukan patroli yang berada di setiap tempat diharapkan waspada terus dan jika menemukan dilakukan pengejaran dan menangkap, bukan hanya Petta Barang melainkan juga para pemimpin gerakan kerohanian dan gerakan perbanditan lainnya. Sementara perhatian yang diutamakan adalah perbaikan kehidupan ekonomi dan sosial serta penataan wilayah pemerintahan, misalnya, perbaikan jalan, jembatan, dan irigasi (Quarles, 1910: MvO). Pada dasarnya Quarles berpendapat bahwa melalui perbaikan penataan wilayah pemerintahan, sarana dan prasarana yang menunjang perbaikan kehidupan ekonomi, akan mampu mengatasi berbagai tantangan dan perlawanan yang diorganisir oleh pemimpin-pemimpin gerakan dan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan hukum seperti perampokan. Apa yang dicanangkan oleh Quarles itu, berhasil mengatasi gangguan ketertiban dan keamanan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Bone pada khususnya. Perbaikan pemerintahan, kehidupan ekonomi, dan sosial berhasil memikat jalinan kerjasama yang baik antara para pemimpin rakyat dan masyarakat dengan pemerintah Belanda (Quarles,1910: MvO). Jalinan kerjasama yang melibatkan para pemimpin rakyat dan masyarakat tersebut, tidak hanya ikut bekerja memperbaiki sarana dan prasarana kehidupan, tetapi juga memberi bantuan dalam usaha menjamin keamanan dan ketertiban.

Namun ketika Petta Barang melakukan penyerangan terhadap bivak di Pattiro Bulu pada Februari 1908, pemerintah Belanda mulai melangkah untuk bergit menumpas gerakan itu. Untuk itu diperintahkan kepada Lettu Pimentel memimpin satu pasukan mengadakan patroli dalam rangka mengikuti, mengawasi, dan menangkap tokoh gerakan itu. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah Belanda masih meragukan apakah setiap gerakan penyerangan terhadap pasukan patroli dan bivak itu diorganisir oleh Petta Barang. Hasil penelitian Pimentel membuktikan bahwa memang benar gerakan itu diorganisir dan dipimpin oleh Petta Barang. Oleh karena itu, dilakukan usaha pengejaran terhadap Petta Barang yang sedang berada di Barru. Pada 2 April 1908, pasukan patroli khusus yang dipimpin oleh Pimentel melancarkan serangan terhadap Petta Barang. Pada peristiwa itu lima orang pengikutnya gugur, namun Petta Barang berhasil meloloskan diri. Karena itu usaha pengejaran terus dilakukan di Barru dan Soppeng, yang dipandang sebagai tempat persembunyian Petta Barang bersama para pengikutnya (Poelinggomang & Muh. Arfah,1995: 67).

Selain dari itu juga adanya kerjasama Belanda dengan beberapa petinggi Bangsawan kala itu,  sehingga setiap persiapan gerakan rakyat dengan mudah dapat dipadamkan sebelum meletus karena dengan segera akan dilaporkan kepada pemerintah Belanda, misalnya saja gerakan Matoa Baringeng pada September 1910 (Poelinggomang & Muh. Arfah,1995: 70). Peristiwa itu bermula ketika Matoa Baringeng berhasil mengambil Arajang Lamuru pada waktu Datu
Lamuru diturunkan oleh pasukan Belanda. Arajang itu kemudian disembunyikan di rumah salah seorang anak dari Ma’danreng Pattojo. Setelah terbentuknya pemerintahan baru di Lamuru, penguasa Lamuru kemudian meminta agar Matoa Baringeng menyerahkan Arajang itu kembali kepada pemerintah. Permintaan itu ditolak oleh Matoa Baringeng dan berkat hasutan dari Ma’danreng Pattojo, Arajang itu dipertahankan dan berusaha memindahkannya ke Kampung Enrekeng (Lamuru). Meskipun demikian, para kepala kampung dari Lamuru berhasil mengambil kembali Arajang tersebut di Enrekeng dan menyerahkan kembali kepada pemerintah. Dengan sebab itu, Matoa Baringeng dan Ma’danreng Pattojo kemudian merencanakan penyerangan terhadap pemerintah Belanda di Lamuru. Peristiwa itu dapat dipadamkan berkat kerjasama antara pemerintah Belanda dengan para kepala kampung dan rakyat. Bahkan peristiwa itu dalam waktu singkat dengan mudah dapat diselesaikan, tanpa terjadi korban harta dan jiwa berkat kerjasama yang telah terjalin antara pemerintah kolonial Belanda dengan para pemimpin atau kepala-kepala kampung.

Nanti, setelah W.J. Coenen menjadi gubernur Sulawesi (Agustus 1910 – Oktober 1913), usaha mengatasi berbagai gerakan perlawanan dan gangguan keamanan kembali menjadi perhatian penting dan diarahkan pada tindakan militer. Demikian pula halnya dengan gerakan Petta Barang, sebab menurutnya Ia merupakan seorang tokoh yang berbahaya. Petta Barang memiliki pengaruh yang sangat luas dalam kalangan masyarakat Bugis dan Makassar saat itu, baik dalam lingkungan bangsawan tinggi, kepala-kepala kampung maupun masyarakat umum. Ia merupakan seorang tokoh yang berwibawa, dan oleh masyarakat dipandang sebagai seorang tomanurung. Karena itu, menurut Coenen gerakan itu harus dibinasakan dengan kekuatan militer. Ia memerintahkan dilakukan patroli militer khusus untuk mengejar dan menangkap Petta Barang (Coenen,1913: MvO). Pengejaran yang kemudian dilakukan oleh pasukan Belanda itu menyebabkan posisi Petta Barang semakin terdesak.

Dalam keadan itu, Ia akhirnya berusaha menggabungkan diri dengan kelompok Andi Panambong, yang selama itu mengorganisir kegiatan perampokan di Soppeng. Penggabungan itu memberikan dorongan keberanian kepada para pengikut Andi Panambong untuk melaksanakan perampokan secara terang-terangan. Namun kegiatan perampokan itu memudahkan bagi pasukan Belanda, sebab dengan mudah dapat mengetahui tempat persembunyian Petta Barang serta Andi Panambong. Oleh karena itu pasukan Belanda melancarkan serangan terhadap tempat persembunyian Petta Barang dan Andi Panambong di wilayah Onderafdeling Soppeng pada, 30 Agustus 1912. Dalam penyerangan itu Petta Barang berhasil meloloskan diri, namun Andi Panambong sendiri gugur bersama beberapa orang pengikutnya (Rasyid,2007: 48).

Kematian Andi Panambong itu berakibat hilangnya kekuatan dan dukungan masyarakat terhadap Petta Barang dalam melanjutkan perlawanan. Ia selanjutnya mengungsikan diri ke hulu Sungai Walimpong. Di tempat persembunyian itu, sekali lagi Ia diserang oleh pasukan Belanda. Dalam penyerangan itu, Ia kembali berhasil meloloskan diri. Dan pada bulan Mei 1913, Datu Citta berhasil mengetahui tempat persembunyian Petta Barang. Datu Citta selanjutnya mengorganisir patroli rakyat yang langsung di bawah pimpinannya untuk mengejar dan menangkap Petta Barang. Datu Citta terlebih dahulu memisahkan Petta Barang dengan para pengikutnya. Oleh karena itu, Datu Citta berhasil menangkap Petta Barang di tempat persembunyiannya di Ale Tinco (Onderafdeling Soppeng) pada 5 Mei 1913. Untuk selanjutnya Datu Citta mengantar Petta Barang ke Watan Soppeng dan menyerahkannya kepada pejabat Civiele Gezaghebber (Coenen, 1913: MvO; Poelinggomang & Muh. Arfah, 1995: 75; Transkrip No.7).

Petta Barang kemudian diajukan ke pengadilan Bumiputra (inheemsche rectbank) di Watan Soppeng. Ia dinyatakan bersalah melakukan komplotan untuk menjatuhkan pemerintahan Belanda. Sebab itu, pengadilan memutuskan dan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara (Surat Keputusan Pengadilan Bumiputra Watan Soppeng Tanggal 15 Mei 1913 No.11). Setelah dijatuhi hukman, Petta Barang selanjutnya dibawa ke Makassar untuk dipenjarakan. Akan tetapi, karena Gubernur Coenen yang sejak awal memandang Petta Barang sebagai seorang tokoh yang berbahaya dan merasa kuatir jika dipenjarakan di Makassar. Maka, Ia tidak mempercayai sepenuhnya pengawasan petugas penjara terhadap Petta Barang. Coenen kuatir kelak Petta Barang masih dapat meloloskan diri dari penjara. Untuk itu, diputuskan untuk mengirim Petta Barang ke Batavia. Pada 7 Juni 1913, Petta Barang (Daeng Pabarang) diberangkatkan ke Jawa. Sementara menanti keputusan penentuan tempat pengasingannya, Petta Barang akhirnya meninggal sebagai seorang tawanan dalam penjara (Coenen,1913: MvO). Namun sebagian besar masyarakat di daerah Bugis tidak percaya tentang kematian itu, terutama di kalangan pengikut dan keturunannya, sehingga beberapa rumor serta riwayat yang berkembang di masyarakat yang bersifat mistis dan ghaib. Termasuk merujuk ke gelar yang di sematkan oleh masyarakat seperti ‘Petta To Ri SappaE’ karena konon saat beliau di tangkap dan akan di bawa ke penjara beliau tiba-tiba menghilang di atas pelana kudanya.

~ Wallahu A’lam Bisshawab ~

 [foto : istimewa]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A