Langsung ke konten utama

Sumpit Alat Makan Orang Tiongkok, Jepang & Korea Serta Fungsinya

sejarah perbedaan sumpit China, Jepang, dan Korea!

Sumpit Tiongkok

 Ukurannya paling panjang dibandingkan sumpit lain. Selain itu, bagian ujung sumpit tidak runcing. Ada alasan yang berkaitan dengan sejarah di balik itu, yaitu orang Tiongkok suka makan bersama dan berbagi makanan saat makan, yang biasa disebut dengan 'makan tengah'.
"Pada abad ke-10, meja besar dan kursi diperkenalkan di Tiongkok. Dari situ, kebiasaan 'makan tengah' mulai dilakukan sebagai budaya. Nah, karena sering makan bersama banyak orang di meja besar, sumpit Tiongkok dibuat panjang. Tujuannya, agar bisa menjangkau makanan di tengah meja besar tanpa merasa kesulitan," jelas Edward.
Lebih dari itu, saat orang Tiongkok berbagi menu Chinese hot pot (sejenis sajian sup yang disajikan di atas panci panas), sumpit yang panjang tersebut membantu mereka mengambil makanan dalam panci tanpa harus khawatir terkena panasnya panci.

Sumpit Jepang

 Dari segi bentuk, sumpit yang berasal dari Negeri Sakura ini memiliki ukuran paling pendek di antara sumpit lain. Ia juga memiliki ujung yang runcing. Alasannya, budaya Jepang tidak terbiasa berbagi makanan.
"Orang Jepang percaya bahwa saat bibir mereka menyentuh sumpit makan dan makanan mereka, roh seseorang akan ikut masuk dalam sumpit dan makanan tersebut. Jadi, setiap orang memiliki sumpit dan makanan dalam porsi masing-masing yang sangat personal," papar Edward.
Saat zaman perang dahulu kala, jika seorang istri atau anak merindukan ayah mereka yang sedang berperang, mereka tetap menyiapkan sumpit makan ayah mereka di meja makan. Itu dilakukan untuk menghadirkan sang ayah di meja makan.
Alasan di balik runcingnya sumpit
Jepang adalah orang Jepang sangat suka makan ikan. Sumpit berujung runcing berguna untuk membantu memotong ikan sampai memisahkan ikan dari durinya."

Sumpit Korea

 Sumpit Korea memiliki keistimewaan terbuat dari logam, berbentuk agak pipih dan bagian ujung yang runcing. Kata Edward, hal ini berkaitan dengan sejarah zaman perang kerajaan di Korea pada abad ke-7. Orang kerajaan Korea percaya bahwa sumpit yang terbuat dari perak dapat mendeteksi reaksi kimia dari racun.
Pada zaman itu, para pekerja rumah tangga di kerajaan bertugas mencicipi makanan, sebelum keluarga kerajaan menyantap makanan tersebut. Hal ini dilakukan karena keluarga kerajaan takut makanan mereka diracuni oleh musuh.
Hal ini menjadi budaya turun-temurun, sehingga semua orang Korea menggunakan sumpit perak, meskipun berasal dari kondisi ekonomi menengah ke bawah.
"Makanya, bentuknya pun pipih. Itu dilakukan untuk mengurangi biaya dan bahan produksi sumpit. Selain itu, orang Korea juga gemar menyantap daging panggang. Sumpit perak tentunya lebih tahan lama untuk budaya makan tersebut," tuturnya.

Edward Chang, penulis buku berjudul Chopsticks, A Cultural and Culinary History

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A