Langsung ke konten utama

SEJARAH SONGKO' RECCA'


Songkok Recca biasa juga disebut Songkok Pamiring sering pula disebut Songko’ To Bone. Mana yang benar dari ketiga nama tersebut ? Semuanya benar namun penyebutan ketiga nama tersebut masing-masing mempunyai kisah dan rentang waktu yang berbeda. Awalnya dinamakan Songkok Recca ketika Raja Bone Ke-15 Arung Palakka menyerang Tanah Toraja (Tator) tahun 1683 hanya berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Makale-Rantepao. Tentara Tator melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan Arung Palakka.
Salah satu ciri khas tentara kerajaan Bone pada masa lalu memakai sarung yang diikatkan di pinggang (Mabbida atau Mappangare’ Lipa’). Prajurit Tator juga mempunyai kebiasaan memakai sarung tetapi diselempang (Massuleppang Lipa) sehingga bila terjadi pertempuran dimalam hari kedua pasukan sulit dibedakan yang mana lawan dan kawan, dikira lawan padahal kawan karena baik prajurit Tator maupun Bone masing-masing memakai sarung.
Untuk menyiasati keadaan seperti itu, Arung Palakka mencari strategi dengan memerintahkan para prajuritnya memasang tanda di kepala sebagai pembeda dengan memakai songkok recca’. Selanjutnya pada masa pemerintahan Raja Bone Ke-32 Lamappanyukki tahun 1931 songko recca’ menjadi semacam kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan para ponggawa-pongawa kerajaan. Untuk membedakan tingkat kederajatan di antara mereka, maka songko’ recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata pemakainya.
Itulah yang membuatnya istimewa dan oleh karenanya, songkok recca yang bercorak lapisan emas itu disebut juga Songkok pamiring. Pada masa kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar, benang emas yang melingkar pada songkok pamiring memiliki makna, makin tinggi lingkaran emasnya, pertanda semakin tinggi derajat kebangsawanan pemakainya. Hanya Sombayya ri Gowa dan Petta Mangkaue di Bone serta raja yang sederajat berhak memakai lingkar emas yang tertinggi ( kira-kira hanya satu centimeter tersisa tanpa balutan emas).
Pada waktu itu terdapat aturan yang berlaku bagi pemakai songkok pamiring, di mana bangsawan tinggi atau yang berkedudukan sebagai raja dan juga bagi anak raja yang dianggap berdarah biru (Maddara Takku), anak Mattola, boleh menggunakan songkok pamiring yang seluruhnya terbuat dari emas murni. Golongan yang disebut Arung Mattola Menre, Anak Arung Manrapi, Anak Arung Sipue dan Anakkarung boleh memakai songkok pamiring dengan lebar emas tiga-per-lima bagian dari tinggi songkoknya.
Golongan yang disebut Rajeng Matase, Rajeng Malebbi boleh memakai songkok pamiring dengan lebar emas setengah bagian dari tinggi songkoknya. Golongan yang disebut Tau Deceng, Tau Maradeka dan Tau Sama diperkenankan memakai songkok recca dengan pinggiran emas. Sedangkan golongan yang disebut Ata sama sekali tidak dibolehkan memakai songkok ini.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang tidak lagi memandang adanya perbedaan kasta, aturan-aturan tersebut tidak berlaku lagi dan semua lapisan masyarakat boleh memakainya. Namun songkok ini masih tetap istimewa karena menunjukkan karisma pemakainya. Keistimewaan itu akan tampak jika songkok ini berada diatas kepala orang-orang atau tokoh penting dan terkenal, pejabat, keturunan bangsawan, orang-orang kaya, dan semacamnya. Selain mahal harganya, songkok pamiring menjadi lebih istimewa jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu diganti dengan emas murni. Terlebih jika susunan emas itu dilebur dan dibuat menyerupai benang yang hampir menutupi seluruh sisi songkok.
Songkok pamiring bukan lagi milik para raja atau kaum bangsawan, namun bagi mereka yang mengerti akan filosofi songkok pamiring, tidak akan sembarangan memakainya. Selain menunjukkan karisma pemakainya, songkok pamiring juga menunjukkan siapa sebenarnya orang yang memakainya. Karena semakin “bagus” songkok pamiring yang dipakai, diukur dengan hiasan emas yang menutupinya, maka akan menunjukkan tingkat prestasi pemakainya.
Dengan kata lain, songkok pamiring sebagai penanda “siapa sebenarnya kita”. Kemudian setelah masa kerajaan berakhir songko’ recca atau songkok pamiring tersebut semua kalangan bisa memakainya tanpa mengenal strata sehingga dinamakan Songko’ To Bone artinya songkoknya seluruh orang Bone. Karena songko’ recca atau songkok pamiring selain memang berasal dari Bone yang merupakan cipta, rasa, dan karsa orang Bone.
Meskipun sekarang ini banyak songkok recca diproduksi di luar daerah Bone. Karena itu tidaklah dipertentangkan songko’ reca atau songko’ pamiring atau songko To Bone sama saja hanya rentang masa yang membedakan. Mengapa Dinamakan Songko’ Recca ? Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan.
Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.
Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan atau pola yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok recca’. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosesi mengayam pelepah daun lontar ini yang dinamakan Songkok Recca/Songkok Pamiring/Songko’ To Bone. Anda Berminat ? Silakan kunjungi Website Kami www.telukbone.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A