Langsung ke konten utama

Agama, Suku, dan Bahasa Masyarakat Dompu



 
Kambali Dompu Mantoi – Kabupaten Dompu terletak di bagian Tengah Pulau Sumbawa. Di Sebelah baratnya terdapat Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa yang entah bagaimana ceritanya nama tersebut didaulat menjadi nama pulau yang didiami dua rumpun suku yang secara bahasa dan kultur berbeda satu sama lain. Di sebelah timurnya terletak Kabupaten Bima dan Kota Bima yang secara pamor, jauh lebih dikenal dari daerah yang lainnya yang ada di pulau Sumbawa. Nama pulau Sumbawa sebenarnya tidak memiliki akar historis dan akar kultural apapun sehingga bisa dipakai untuk merepresentasikan dua rumpun suku bangsa yang mendiaminya. Ini karena nama Pulau Sumbawa hanyalah sebuah nama pemberian penjajah Belanda. Menurut data BPS tahun 2013 penduduk Dompu berjumlah 226.218 jiwa.

Secara ekonomi dan pendidikan, Kabupaten Dompu bisa dikatakan daerah tertinggal. Lebih dari 70% dana APBD Kabupaten Dompu masih disubsidi oleh pemerintah pusat. Sedangkan sisanya adalah PAD yang sebagian besar diperoleh melalui restribusi daerah. Sebagai ukuran di bidang pendidikan, menurut Bambang Soekamto, salah seorang pengawas sekolah di lingkup Dinas Pendidikan Kab. Dompu pada tahun 2013 mengatakan bahwa di Kab. Dompu hanya ada satu sekolah yang secara kurikulum, sarana dan prasarananya memenuhi syarat untuk diterapkan kurikulum 2013. Lainnya tidak. Namun, dengan berbagai kebijakan dan gebrakan pemerintah kabupaten Dompu dan Pemprov NTB, Dompu telah mengalami berbagai kemajuan meskipun berjalan lambat.

AGAMA PENDUDUK DOMPU

Penduduk asli Dompu bisa dikatakan hampir 100% memeluk agama Islam. Yang dimaksud penduduk asli Dompu di sini ialah mereka yang berasal dari Etnis Mbojo (Dompu, Bima, Donggo). Penduduk Dompu adalah penganut agama Islam yang sangat fanatik. Menurut data BPS tahun 2013 ada 94,26% (213.220 jiwa) pemeluk agama Islam di Dompu yang dipeluk oleh etnis Mbojo dan etnis Sasak (dari Lombok). Pada masa lalu, Kerajaan Dompu mendapatkan pengaruh Islam yang sangat besar dari Kesultanan Makassar di Samping juga pengaruh Islam dari Jawa dan Sumatera. Maka tak mengherankan jika pada pertengahan Abad XIX salah satu ulama berdarah Dompu pernah menjadi guru besar di Madrasah Haramain, Makkah. Beliaulah Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-Jawi. Selain itu beliau juga pernah diangkat menjadi Qadhi di Kesultanan Selangor, Malaysia pada tahun 1825 M. Sepulangnya mengunjungi kampung halaman ayah dan kakeknya di Dompu.

Agama lain seperti Kristen, Hindu, dan Budha juga dipeluk oleh masyarakat Dompu. Agama Kristen biasanya dipeluk oleh warga keturunan Tionghoa dan para pendatang yang berasal dari luar pulau Sumbawa. Keturunan Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pedagang/pengusaha sehingga mereka mendominasi perekonomian daerah ini. Sedangkan para pendatang Kristen, mayoritas mereka adalah para guru, pegawai dan polisi asal NTT dan sisa pengungsi ex-Timor Timur. Tahun 2013 ada sekitar 1.006 (seribu enam) jiwa (0,44%) warga Dompu yang memeluk agama kristen. Terdiri atas 481 orang pemeluk Katholik dan 525 orang pemeluk Protestan.

Sebagaimana agama Kristen yang dipeluk oleh warga pendatang, begitu juga dengan agama Hindu yang dipeluk oleh warga pendatang yang berasal dari Bali dan Lombok. Warga Hindu asal Bali/Lombok yang berprofesi sebagai guru dan polisi biasanya menempati wilayah dalam Kota Dompu. Mereka membangun sebuah Pura di Kelurahan Simpasai yang diidentifikasi sebagai pura pertama yang dibangun oleh warga pendatang. Adapun warga Hindu yang berprofesi sebagai petani, jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pemeluk agama Hindu yang berprofesi sebagai guru dan polisi. Mereka adalah para transmigran yang didatangkan dari Pulau Lombok selama masa Orde Baru dan juga warga Hindu korban letusan Gunung Agung tahun 1963 dari Pulau Bali. Mereka diberikan hak mengelola wilayah pertanian yang luas di pelosok wilayah Kecamatan Kempo, Kecamatan Kilo dan Kecamatan Pekat di Kaki Gunung Tambora. Berdampingan dengan warga Transmigran asal Pulau Lombok. Daerah ini tidak berpenghuni sejak erupsi maha dahsyat Gunung tambora pada tahun 1815 M. Tahun 2013, ada sekitar 3.611 jiwa penduduk Dompu beragama Hindu (1,59%). Sebarannya yakni di Kecamatan Kempo 2.157 jiwa, Kecamatan Mangge Lewa 648 jiwa, Kecamatan Kilo 161 jiwa dan kecamatan Pekat 194 jiwa. Sisanya menyebar di Kecamatan Dompu, Woja, dan Pajo.

Adapun warga yang memeluk agama Budha, menurut data BPS tahun 2013 mereka berjumlah 158 jiwa (0,6%) dan semuanya menempati Kecamatan Dompu.

Selain penduduk yang disebutkan di atas, Kabupaten Dompu juga dihuni oleh para keturunan pedagang Arab. Seperti halnya keturuan Cina, mereka biasanya sangat eksklusif dan berprofesi sebagai pedagang. Juga ada pendatang dari Pulau Jawa. Pendatang dari Jawa Barat (Sunda) biasanya berprofesi sebagai guru dan PNS, juga sebagian kecil sebagai pedagang. Sedangkan mayoritas pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah pedagang, hanya sebagian kecil saja yang tertarik sebagai guru/PNS. Biasanya dagangan utama mereka adalah bakso. Bakso Solo dan Bakso Malang sangat terkenal di kalangan masyarakat Dompu Umumnya.

SUKU DAN PENDUDUK ASLI DOMPU

Jika ditanya suku maka penduduk asli Dompu adalah Suku Mbojo sebagaimana penduduk Bima. Suku Mbojo terdiri atas etnis Bima, Dompu, dan Donggo.

Hal ini didasari fakta bahwa masyarakat Dompu merupakan penutur bahasa yang sama dengan masyarakat Bima. Yakni Nggahi Mbojo (Bahasa Mbojo) dengan sedikit variasi kosa kata, dialek dan logat. Selain itu, adat istiadat yang berkembang dan dipraktekkan masyarakat Dompu pun persis sama dengan di Bima. Meskipun ada sedikit variasi.

Warga asli Dompu saat ini pada umumnya merupakan hasil percampuran antara warga asli Dompu dengan pendatang yang berasal dari Sulawesi(Makassar dan Gowa). Mereka dapat ditelusuri dengan panggilan dae yang dalam bahasa Mbojo digunakan untuk memanggil orang tua laki-laki dan seseorang yang umurnya lebih tua. Jadi, dae di sini bisa diartikan bapak atau kakak. Kata dae berasal dari bahasa makaasar /Gowa yakni daeng. Daeng merupakan kata sapaan untuk orang yang lebih tua, begitu pula di Dompu dan Bima kata Dae digunakan untuk orang yang lebih tua. Di Dompu ada nama Kelurahan kandai Satu dan Kandai Dua yang semula berasal dari kata Kendari. Penduduk asli Kandai satu dan dua adalah keturunan para da’i dan mubaligh yang dulu datang dari Kendari, Sulawesi Tenggara.

Adapun bangsawan kelas satu, mereka dipanggil dengan sebutan Uma di depan nama mereka. Kata uma berasal dari kata Ruma yang dalam pengertian warga Dompu modern berarti Tuhan. Ini karena pada zaman dahulu ketika Dompu masih berupa kerajaan mendapat pengaruh Hindu. Sehingga para raja dianggap sebagai titisan dewa/Tuhan. Begitu juga dengan para keturunan dan keluarga raja. Seandainya kita mengacu pada legenda yang ditutur warga lokal, maka para bangsawan Dompu adalah hasil percampuran antara elit penduduk asli Dompu, dengan Putra Raja Tulang Bawang yang merupakan pendatang dari Pulau Sumatera. Lalu bercampur lagi dengan keturunan Indera Kumala yang merupakan putra Bima, pendiri Kerajaan Bima. Baik Bima maupun anaknya Indera Kumala berasal dari Jawa. Mereka adalah keturunan bangsawan dari Jawa. Jadilah bangsawan Dompu adalah hasil dari percampuran dari ketiga entitas suku tersebut. Tidak seperti bangsawan Kerajaan Bima yang hanya merupakan percampuran antar penduduk asli bima dengan keturunan orang Jawa, Sang Bima.

Namun, jumlah pengguna panggilan uma telah menyusut akhir-akhir ini. Bangsawan kelas satu Dompu biasanya tidak simpatik di mata elit masyarakat yang non-bangsawan maupun bangsawan kelas dua. Sehingga kedudukan mereka tidak seperti kaum bangsawan di Jawa. Panggilan uma akhirnya hanya dipakai di ranah domestik lingkaran keluarga saja, tidak di ranah publik. Ini akibat ketidak tahuan masyarakat dan sulitnya mendeteksi akan status kebangsawan seseorang. Namun, di ranah publik mereka masih dipanggil dae.

Bagaimana dengan penduduk asli dompu yang tidak bercampur dengan suku manapun? Di kalangan masyarakat Dompu, ada kalangan yang memanggil orang tua mereka dengan sebutan ama dan ina. Ama berarti bapak, ina berarti ibu. Kata ama dan ina merupakan kata dasar dan utama untuk menyebut bapak dan ibu di Bima dan Dompu. Kemungkinan mereka adalah sisa dari penduduk asli Dompu. Namun seiring perkembangan zaman, kalangan ini mulai mengganti panggilan mereka dengan kata dae, ayah, bapak, dan papa sehingga sulit dilacak penggunaan kata Ina/ama kecuali di wilayah pelosok Dompu. Dengan naiknya status sosial, jabatan dan kekayaan, mereka mulai risih dipanggil ina/ama karena dianggap kuno dan kampungan.

Kata ama (bapak) dan ina (ibu) memiliki kemiripan dengan kata amaq (bapak) dan inaq (ibu) dalam bahasa sasak (Lombok) dengan dihilangkan bunyi konsonan di akhir kata sesuai kaidah Bahasa Mbojo. Jika kita boleh menduga, maka bisa jadi orang Sasak (Lombok) dan penduduk asli Bima-Dompu dulunya berasal dari nenek moyang yang satu. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka nenek moyang orang Sasak merupakan pendatang dari Jawa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A