Langsung ke konten utama

KASTA-KASTA DI BONE

Kasta-kasta di Bone merupakan hasil penyusunan yang menjadi ketentuan atau pengaturan yang telah ditetapkan oleh raja Bone Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng (raja Bone ke XVI) (1696-1714 M). Mengenai susunan dan tingkatan derajat bangsawan di Bone yang diperlukan sejak itu hingga sekarang
            Pembagian masyarakat Bugis dan Makassar dalam kasta-kasta atau golongan-golongan adalah suatu faktor penting yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan religius dari masyarakat bugis Makssar di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
            Di dalam buku “Latoa” (kumpulan dari sabda-sabda dan petuah-petuah dari raja-raja dan orang-orang cerdik pandai dahulu kala) dikatakan, bahwa memelihara dan mempetahankan kasta-kasta adalah salah satu syarat untuk menjadikan sebuah negeri sampai menjadi besar. Dikatakan selanjutnya, bahwa kemakmuran sebuah negeri adalah bergantung dari empat perkara, yang mana sesudah agama islam masuk di daerah bone ini ditambahkan dengan apa yang disebut “sara”.
            Kelima perkara itu ialah:
  1. Ade’ (kebiasaan dahulu);
  2. Rapang (undang-undang);
  3. Bicara /tuppu (peradilan) ;
  4. Wari’ (pembagian dalam kasta-kasta);
  5. Sara’ (undang-undang islam)
Kasta-kasta di Bone dapat diperinci atas tiga kasta utama, yaitu:
  1. Anak arung (anak raja-raja);
  2. To-maradeka (orang-orang merdeka/orang-orang biasa atau kebanyakan);
  3. Ata (hamba-sahaya atau budak)
Kasta A, terbagi dalam golongan-golongan
A.I. Anak arung matasa’ (anak raja/ putera-puteri mahkota yang masak/ murni darahnya), yaitu ayah dan ibunya anak arung matasa’, baik yang berketurunan dari kerajaan Bone sendiri maupun yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan lain yang dinilai sederajat/ setinggi dengan Bone, antara lain: Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng. (golongan ini disebut anak-pattola, yang berhak penuh menggantikan raja).
A.II. Anak arung matasa’ (putera-puteri bangsawan asli yang bukan putera-puteri mahkota) yamg berketurunan dari kerajaan-kerajaan tersebut pada aksara A.I. di atas ini. (golongan ini juga disebut anak-pattola, yang dapat pula menggantikan raja apabila putera-puteri mahkota tidak ada dan/atau sesuatu hal lain yang musyikil penyebabnya).
A.III. Arileng atau anak-manrapi, yaitu anak yang lahir dari :
bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II.
Ibu, dari kasta golongan yang tingkatannya atau darahnya menurun (tidak sama dengan suaminya), yang biasanya disebut rajeng. Golongan ini dapat diangkat menjadi raja bilamana tidak ada anak-pattola , karena anak-pattola dianggap tidak cakap unhtuk menduduki takhta kerajaan).

A.IV. Rajeng, yaitu anak yang lahir dari:
Bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II.
ibu, dari kasta/golongan yang tingkatnya/ derajatnya menurun (jauh beda dengan suaminya, yang lazim disebt cera’-ciceng) atau anak arung sipu-E (bangsawan separu, anak-cera’ (bangsawan campuran).

A.V. anak arung-sipu-E (bangsawan separuh), yaitu anak yang lahir dari:
bapak, kasta golongan A.I atau A.II.
ibu, dari kasta golongan To-maradeka (orang merdeka/orang biasa atau kebanyakan).

A.VI. anak-sera’ (bangsawan campuran), yaitu anak yang lahir dari:
Bapak,dari kasta golongan anak arung sipu-E (A.V.):
Ibu, dari kasta golongan Tto-Maradeka (orang merdeka/orang biasa/kebanyakan ataupunn budak).

Kasta golongan A.I. s/d A.VI. tersebut di atas ini, orang-orang bone pada khususnya dan di daerah-daerah tanah-bugis pada umumnyamemberi julukan dengan istilah “ANAK-EPPONA-MAPPAJUNGNGE” ( keturunan raja-raja di bone).
Kasta B. Terbagi dalam golongan:
B.I. to-deceng (orang baik-baik);
B.II. to-sama’/to-maradeka (orang-orang merdeka/bias atau kebanyakan)
Kasta C. Terbagi dalam golongan:
C.I. ata-mana (sahaya warisan)
C.II. Ata-mabuang ( sahaya baru)
selain daripada golongan anakarung (anak raja-raja di Bone) atau kasta golongan A. Tersebut, ada pula golongan yang disebut “anak-arung-palili”, yaitu golongan dri turunan raja-raja dahulu sebelum turunan raja Bone “Lapatau Matanna Tikka” (raja Bone XVI).

Pada umumnya, golongan ini tidak termasuk golongan yang memberi julukan dengan istilah “ANAK-EPPONA-MAPPAJUNGNGE” bukan asal keturunan To-Manurung.
            Akan tetapi di dalam perjalanan masa dan perkembangan zaman, tidak kurang juga bilangan turunan arung palili’ yang berketurunan pula dari golongan anakarung (anak raja-raja di Bone) dan dari bangsawan tinggi di Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lain-lain. Karena perkawinan, sehingga hubungan dan pertalian kekeluargaan serta keterbatasan, bahkan kekuasaan dan pengaruh raja-raja yang besar dan berkuasa bertambah luas pada masanya.
            Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka kasta-kasta di masing-masing kerajaan, seperti : Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain adalah pada dasarnya sama dengan kasta-kasta di Bone. Perbedaannya mungkin terdapat pada sebuah istilah-istilah dan peletakannya dalam susunan tingkatan menurut ketentuan-ketentuan setempat masing-masing.
            Ditemukan salam sejarah Bone, bahwa setelah masuknya agama Islam di kerajaan Bone pada tahun 1611 M, dan ajaran serta tuntunan syariat agama Islam tersebut telah berjalan tersebar secara meluas dan merata puluhan tahun lamanya, yaitu pada masa raja Bone ke XIII Lamaddaremmeng Matinro-E ri Bukaka berkuasa di kerajaan Bone (1625-1644), seorang raja terkenal menjalankan ajaran Islam secara murni. Beliau menetapkan dan menjalankan ajaran Islam dalam kerajaan Bone, bahwa tidak boleh lagi ada orang yang memelihara atau memiliki hamba sahaya (budak), mereka harus dimerdekakan dan dibayar tennaganya jika dipekerjakakn. Terhadap mereka yang tidak mau menaatinya akan diambil tindakan keras.
            Sikap dan tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, menyebabkan banyak pembesar dan bangsawan di Bone yang pada masa itu masih kuat dan tetap mempertahankan kebiasaan dan kepercayaan leluhurnya, yaitu kepercayaan animisme dan festisisme, mengadakan tantangan terhadap raja Bone Lamaddaremmeng. Bahkan Ibu kandung beliau sendiri pun (Watenri Solerang Makkalurue datu Pattiro), termasuk golongan penentang. Namunn demikian, raja Bone Lamaddaremmeng tidak menghiraukannya. Maka beberapa pembesar kerajaan Bone bersama pengikut pengikutnya dan ibu beliau sendiri mengungsi ke Gowa untuk meminta perlindungan pada raja Gowa Sultan Malikussaid.
Akhirnya timbullah peperangan antara raja Bone Lamaddaremmeng dengan Sultan Malikussaid raja Gowa, karena raja Bone Lamaddaremmeng tidak mengindahkan usaha dan ajakan Sultan Malikussaid raja Gowa yang telah berulang kali menyelesaikan sengketa tersebut secara damai yang tak kunjung berhasil. Raja Bone Lamaddaremmeng kalah dalam perang tersebut.

            Dengan adanya tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, walaupun menghadapi tantangan besar yang berakhir dengan peperangan sehingga beliau kalah, tetapi dari raja Bone Lamaddaremeng lah maka kasta-kasta di Sulawesi Selatan dan Tenggara, khususnya di Bone sedikit banyaknya mulai mengalami perkembangan baru menuju ke arah perbaikan sosial dan ekonomi rakyat pada umumnya.
            Peubahan dan perkembangan baru tersebut lebih meninngkat, nampak dan nyata pada masa raja Bone ke XV Latenritatta Arung Palakka matinroe ri Bontoala, (1667-1696). Kemudian beliau diganti kemanakannya, yaitu raja Bone Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng sebagai raja Bone XVI 1696-1714), mengikuti jejak dan kepemimpinan pamannya (raja Latenritatta Arung Palakka) dan berhasil mencapai sukses, kerajaan bone serta rakyatnya berada dalam kondisi yang lebih jelas dan lebih nyata struktur dan tata kendali kehidupan Sosial, Politik dan Ekonominya. Walaupun demkian karena kondisi, situasi dan keadaan demikian rupa pula, perbudakan di Sulawesi Selatan Tenggara (termasuk Bone) berlangsung terus, meskipun tidak sehebat seperti dulu. Demikian juga beliau (raja Bone Lapatau Matanna Tikka) berhasil dan dapat menyusun suatu ketentuan dan/pengaturan baru mengenai susunan serta tingkatan derajat bangsawan di Bone yang berlaku dan diperlakukan sejak itu sempat sampai sekarang, sesuai uraian-uraian kasta di Bone.
            Dapat pula diketahui , sejak semula raja Bone Latenritatta Arung Palakka berkuasa di Bone, pada masa itu pula pengaruh kekuasaan penjajahan Belanda untuk menanam dan memperkokoh penjajahannya si Sulawesi Selatan Tenggara pada khususnya dan Indonesia bagian Timur pada umumnya, setelah kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda dalam tahun 1666-1669, yang beralaskan pada suatu perjanjian di tempat ang bernama Bungaya (Gowa) pada tanggal 18 nopember 1667, yang dikenal dengan sebutan “Cappayya Ri Bungaya” antara kompeni Belanda (Speelman dan kawan-kawannya) disatu pihak dengan raja Gowa bersama pembesar kerajaan di lain pihak. Dalam hubungan ini pula Belanda mulai mengambil langkah-langkah serta tindakan ke arah penghapusan perbudakan (alaverny) yang pada mulanya juga nampak tidak membawa hasil yang diharapkan. Perbudakan di Sulawesi Selatan Tenggara berlangsung terus, namun tak seperti dulu lagi.
            Bagi kasta raja-raja dan kaum bangsawan (kasta A). Belanda bersympathie, bersikap lunak dan berlaku lembut, bahkan belanda berusaha keras mengambil hati sympathie raja-raja dan golongan bangsawan, kasta mana tradisionil memegang peranan dan kekuasaan sesungguhnya atas rakyat banyak. Dengan demikian, maka Belanda dapat pula menggunakan politik “pecah-belahnya” diantara kaum raja-raja.
Dua setengah abad kemudian setelah kerajaan gowa dikalahkan, kompeni belanda tersebut barulah pada tahun 1905/1906 belanda benar-benar berhasil menguasai seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, yaitu setelah Bone dan Gowa ditaklukkan definitif oleh Belanda dengan kekerasan senjata. Semenjak itu tidak ada lagi raja di Bone dan di Gowa. Dalam tahun 1931 barulah belanda mengangkat raja yang baru di Bone dalam tahun 1936 juga di Gowa.
Dengan berhasilnya Belanda menguasai Gowa dan Bone dalam tahun 1905/1906 tersebut, berarti kebutuhan kedua keajaan yakni kerajaan GOWA dan bone dan bahkan seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang dalam hubungan ini berarti pula keruntuhan golongan bangsawan di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara. Penghapusan perbudakan di daeah ini pun menjadi lebih nyata dan menentu, namun perhubungan antara keturunan-keturunan sahaya dengan keturunan-keturunan pemiliknya yang lama masih juga kelihatan erat, bahkan nampaknya jalingan perhubungannya berubah dan beralih bentuk menjadi kekerabatan dan/ atau kekeluaraan layaknya. Sehubungan pula dengan perkembangan cepat dan pesat dari masyarakat di daerah ini, maka dapat dikatakan bahwa pada dewasa ini lenyaplah semua perbudakan di dalam bentuk apapun juga.
Dalam kancah kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan kemudian leburnya pemerintahan dan kekuasaan raja-raja (swapraja) di seluruh Indonesia., demikian pun di Sulawesi Selatan dan Tenggara, maka dikalangan kakum bangsawan tradisionil pun di daerah pada khususnya, di Indonesia pada umumnya dewasa ini sudah tiba masanya berakhir secara hukum.
Pada waktu itu, maka tanpa peringatan ditujukan kepada kaum bangsawan atau yang lazim disebut kaum feodal. Yang karena mereka itu suka melihat kenyataan ini, dengan segera merasa dan menyadari keadaan ini sehingga dengan segera merasa dan menyadari keadaan ini sehingga dengan segera pula meraih dengan mudahan mereka dapat menyesuaikan diri dengan susunan masyarakat dalam perkembangan baru dan cepat jalannya. Salah satu kenyataan dapat dikemukakan dan diuraikan di sini bahwa dalam masa peralihan dan perkembangan baru dewasa ini telah sering terjadi hubngan perkawinan antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria yang dipandang dan diketahui lebih rendah derajatnya (tingkatannya) atau dengan kata lain pria yang tidak sederajat, bahkan adakalanya juga pria yang berasal dari golongan kasta B. (orang biaa atau kebanyakan), yang pada masa sahulu jarang sekali terjadi kecuali sesuatu hal dan sebab musykil yang sukar dielakkan (memaksakan). Karena demikian justru pendukung struktur kekuasaan dalam kerajaan yang amat penting, adalah pranata perkawinan yang mempunyai arti politik sangat utama di kalangan bangsawan wanita juga mempunyai kedudukan penting, karena seseorang wanita bangsawan tidak boleh kawin dengan dengan pria yang mempunyai derajat yang lebih rendah darinya. Kaum wanitalah yang menetapkan, bahkan meningkatkan derajat keluarganya ke jenjang yang lebih tinggi derajat atau kedudukannya . tiap-tiap anakarung (bangsawan) penguasa negeri, atau pembesar kerajaan berusaha memperbesar atau memperluas jaringan kekeluargaannya dan kekerabatannya, sehingga golongan keluarga yang rumpun dan luas jaringannya selalu diusahakan diperisterikan (dikawini). Dengan demikian, maka ia akan kuat dalam pengaruh dan kekuasaannya dalam poloitik kerajaan.
Dapat disimpulkan secara lebih umum, bahwa To-Manurung di Bone sebagai awal pelapisan masyarakat Anakarung (bangsawan) orang Bone, berkembang dengan pesatnya menjadi lapisan sosial penguasa kerajaan, melalui pranata sosial perkawinan. Hal itulah merupakan pangkal pokok yang menyebabkan struktur kekerabatan menjadi sendi membangun kekuatan dalam struktur politik kerajaan bone. Kaum bangsawan Bone yang menjadi kekuatan utama dalam struktur kekuasaan, dapat menguasai segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal itu masih sangat terasa sampai pada saat proklamasi kemerdekaan republik indonesia, setelah perang dunia ke dua.
Pada waktu itu, perbedaan antara kaum bangsawan Bone, Gowa dan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara, tidak mempunyai lagi arti yang penting seperti halnya dahulu dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara. Semuanya dapat memakai atau tidak memakai gelar atribut kebangsawanan, tergantung kepada pilihan dan kemauan tiap-tiap orang. Lagi pula struktur pelapisan sosial masa kini telah sangat berubah, sehingga apa yang disebut kaum bangsawan di Sulawesi Selatan dan Tenggara , sekarang tidaklah menentukan mobilitas sosial, dalam komposisi pelapisan sosial masa kini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A