Langsung ke konten utama

LA GALIGO, CINA/TIONGKOK DAN BUGIS CHAMPA/CEMPA





REPOST KEMBALI KAJIAN LONTARA PROJECT TENTANG PENGEMBARAAN I LA GALIGO KE CINA HUBUNGANNYA DENGAN BUGIS CHAMPA / CEMPA
Sobat Lontara yang pernah membaca cuplikan epos besar La Galigo pasti kenal dengan tokoh yang satu ini. I We Cudai alias Daeng Risompa, putri bungsu dari raja Ale Cina adalah seorang wanita yang amat cantik namun tinggi hati. Ulahnya menolak lamaran Pangeran Sawerigading dari Ale Luwu menimbulkan banyak sekali masalah, bahkan Ia tega membiarkan kerajaan Cina terbakar oleh api. Dimanakah sebenarnya letak negri Cina tempat Putri We Cudail? Apakah Cina yang dimaksud merupakan nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan atau justru –sesuai
kepercayaan awam– merujuk kepada negri Tiongkok di Asia Daratan?

-----------------------------
Eksistensi Kedatuan Luwu diyakini sudah ada sejak abad ke-1 hingga ke-10 Masehi. Pendapat ini diperkuat DR. Cyril A. Hromik, peneliti Amerika yang lama meneliti di Afrika Selatan mengatakan jika “Luwu” telah eksis pada abad ke-1 s/d ke-10 M (Prof. Zainal Abidn Farid, 1995:6). Pendapat ini juga diperkuat dengan berita-berita Tionghoa (Cina) bahwa abad ke-7 sudah ada kerajaan-kerajaan di Nusantara diantaranya Che-lifo-che yang dianggap sebagai Celebes yang tak lain adalah Luwu. Begitupun Prof Abu Hamid (1995:34) menyatakan jika Periode Galigo Zaman Kuno di Sulawesi Selatan berlangsung abad ke-7 sd 9 sedangkan Pawiloy (2000:486) menulisnya pada abad ke-10.
Wilayah Kedatuan Luwu pun awalnya meliputi Seluruh Pulau Celebes (Sulawesi) dibawah kepemimpinan Batara Guru. Kedatuan Luwu selama beberapa abad merupakan kerajaan terunggul di Sulawesi menurut gambaran rumpun kitab La Galigo yang diperkuat lontara kerajaan lain (Pangerang, Warta Sulsel).
Dalam Lontara Kerajaan Bone disebutkan bahwa raja-raja dalam La Galigo memerintah di Bone sebelum masa pemerintahan Manurungnge Ri Matajang Raja Bone Ke-1 dan juga memerintah di Soppeng sebelum pemerintahan Manurungnge Ri Sekkanyili Raja Soppeng Ke-1. Sebelum munculnya Manurungnge Ri Temmalate sebagai Ratu/Somba Gowa, maka menurut lontara' tersebut jika Kerajaan Gowa juga diperintah oleh Batara Guru. Begitupun peranan Kedatuan Luwu dalam pembentukan Kerajaan Wajo, (Pangerang, Warta Sulsel:62).
Menurut DR. Salombe (Pangerang, Warta Sulsel:62), bahwa dari salah seorang istrinya bernama Pindakati (La Galigo: Pinrakati) Sawerigading memperoleh seorang puteri yang kemudian kawin dengan Tamboro Langi yang merupakan cikal bakal penguasa di Tallulembanna yaitu Sangalla, Makale, dan Mengkende di Toraja. Selain itu, Mengkoka, Pulau Muna, Gorontalo, Palu, Luwuk Banggai, dan beberapa daerah lain yang tidak disebutkan satu persatu merupakan wilayah Kedatuan Luwu pada masa Batara Guru.
Puncak kejayaan Kedatuan Luwu pada masa petualangan Sawerigading di beberapa daerah di Nusantara ini hingga ke Tiongkok Cina. Pengaruhnya Kedatuan Luwu berlahan-lahan mulai meluas. Sure Galigo melukiskan (Prof Ambo Enre, 1999) pada gambar berikut. Hal ini membuktikan bahwa Kedatuan Luwu pada masa pemerintahan Batara Guru dan petulangan Sawerigading pernah menjadi Kerajaan Nusantara yang dapat dikenal.
Para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk ‘meletakkan’ Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Menurut tradisi setempat, kerajaan Ale Cina yang terbagi dua itu berada di sebelah timur Teluk Bone dan di sebelah barat lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat Putri We Cudai bersemayam terletak di situs bukit Allangkanangnge ri La Tanete (Pammana, Wajo Selatan). Dataran rendah yang subur ini diyakini sebagai tanah air Suku Bugis (Tana Ugiq), yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai), La Sattumpugiq. Penemuan­-penemuan benda­-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200­-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke­17.


Peristiwa-peristiwa dalam kisah La Galigo, oleh Christian Pelras dianggap terjadi pada periode peralihan antara “zaman perunggu­-besi” (bronze­iron age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-­puak, hingga zaman sejarah yang kita kenal berdasarkan naskah "Lontaraq Attorioloang". Rentang waktu yang entah kapan dimulainya tersebut berakhir ketika Sulawesi Selatan memasuki zaman kerajaan. Pelras mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah hingga abad ke-­15 dan meyakini bahwa sumber-­sumber cerita lisan maupun tulisan La Galigo terjadi pada kurun waktu tersebut. Umur temuan arkeologis di "Allangkanangnge ri La Tanete" dianggap sesuai dengan kronologis sejarah, karena tepat setelah tahun 1400­an kerajaan­-kerajaan yang disebut di dalam La Galigo (ex: Luwu, Cina) kehilangan pengaruh seiring kermunculan kerajaan-­kerajaan Bugis yang lebih muda (Bone,
Soppeng, Wajo). Bukti berupa nama, penyebutannya di dalam lontaraq, serta artefak-­artefak kuno dianggap cukup membuat Pammana sebagai lokasi kerajaan Ale Cina.


Menariknya, ada sebagian penggemar konspirasi yang ‘meletakkan’ negri Ale Cina di Asia Daratan. Tak puas dengan teori “Cina = Pammana”, mereka menghubung-­hubungkannya dengan peninggalan­-peninggalan kebudayaan logam (nekara, kapak corong) dan jalur perdagangan laut. Fakta bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat penemuan keramik Cina kuno terbesar di Indonesia tentunya menarik; hubungan seperti apakah yang terjalin antara daerah ini dengan negri Sang Putra Langit nun jauh di sana? Hmmm… 
membuat penasaran ya? Katanya, kebudayaan logam bangsa Indonesia dibawa oleh orang­orang Austronesia dari Cina Bawah
(Yunnan) kemudian menyebar ke kepulauan nusantara. Adakah kaitannya dengan We Cudai dan asal­-usul penghuni Sulawesi Selatan?


Team kami menghimpun beberapa alasan mengapa “Cina”­nya Putri We Cudai seharusnya terletak di Asia Daratan, bukan di semenanjung Sulawesi Selatan. Tidak berarti kemudian kami melawan teori Cina = Pammana lho, kami hanya sekedar bertujuan untuk memberikan balancing opinion. Yuk, simak satu per satu!
Riwayat Kelantan tentang Suwira Gading dan Negri Annam
Riwayat Kelantan memegang kunci penting sebagai patokan kita dalam menentukan lokasi geografis Ale Cina serta prakiraan zaman berlangsungnya “Abad La Galigo”. Data yang kami dapat ini bersumber dari tulisan Abdullah Nakula, seorang sejarawan Melayu yang membedah riwayat Kelantan. Riwayat Kelantan mengisahkan seorang panglima bernama Suwira Gading yang bersama dengan Raja Dewa Muda Anak Tok Raja Jawa (Raja Sanjaya) berlayar menuju Giao Chi (ibukota Annam, sekarang menjadi kota Hanoi) untuk memerangi orang­-orang Cina.


Bangsa Yuwana mendiami Annam, negara yang kini bernama Vietnam. Selama berabad­abad Annam menjadi bagian dari provinsi sebelah selatan kekaisaran Tang dan mengalami "Cina-isasi" dari segi kebudayaan. Bangsa Yuwana sengaja memanggil bantuan Suwira Gading dan Sanjaya untuk membebaskan mereka dari bayang ­bayang Kekaisaran
Tang.


Koleksi Keramik Cina Kuno yang tersimpan di Museum Balla Lompoa, Gowa Sekitar tahun 760 dan 762 Masehi, dua kali Ngo Sri Voung Ngan duta dari Annam datang menghadap ke Medang
Bhumi (Kelantan). Dihadapan Sri Vijayandraraja Ia memohon bantuan tentara untuk membebaskan negri mereka.


Menurut Abdullah Nakula negri Annam inilah yang kemudian dilambangkan dengan Putri We Cudai. Selama lima tahun diatur siasat untuk membebaskan Putri We Cudai dari penjajahan Cina, hingga kemudian pada tahun 767 berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Jawa, Sang Satiaki Satirta dan Suwira Gading. Beberapa bulan sebelum keberangkatan, sejumlah pasukan dari Laos dan berbagai wilayah di Kepulauan Melayu lainnya turut pula menggabungkan diri dalam barisan.
Kemudian dikisahkan pula bagaimana 3.000 orang tentara menyamar sebagai pedagang dan berlayar menggunakan perahu perdagangan ke kota Giao Chi. Pada malam hari mereka keluar dari tempat persembunyian dan bersama dengan bangsa Yuwana menyerang tentara Cina. Prajurit lainnya menyusul dengan berlayar di atas 5.700 kapal, mereka diibaratkan berlayar dalam formasi yang bentuknya bagaikan deretan pulau yang bergerak menuju ke Timur. Rombongan kapal tersebut menyeberangi Teluk Serendah Sekebun Bunga (Teluk Siam) terus menuju ke kota Giao Chi. Disebutkan pula kehadiran prajurit bergajah dan berkuda yang muncul dari arah pegunungan menuju ke ibukota. Pertempuran berlangsung dengan dahsyat, hingga pada akhirnya ibukota Gioa Chi jatuh setelah berperang selama enam bulan.
Riwayat Kelantan merupakan salah satu tradisi yang menyebutkan nama tokoh Sawerigading dan lokasi Ale Cina dengan pasti. Berita penyerangan ini pun dimuat di dalam beberapa kronik penjelajah, seperti yang dicatat oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 774 dan 787 Masehi. Jika pendapat di atas benar, maka Ale Cina pastilah berada di negri Annam, dan pelayaran Sawerigading terjadi sekitar abad ke­8 ketika Annam masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Tang.


Periode sejarah tersebut bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Sriwijaya (Senrijawa dalam La Galigo) di Sumatera Selatan. Prasasti Ligor di Semenanjung Melayu menjadi bukti bahwa Sriwijaya berkuasa atas wilayah itu hingga tahun 775 Masehi. Ligor dijadikan pangkalan untuk menyerang Kamboja dan Campa. Kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung Melayu kelak dipatahkan oleh tentara Mataram Kuno dari Bhumi Jawa, yang diisyaratkan dengan kehadiran Raja Sanjaya oleh riwayat Kelantan. Penaklukkan Melayu dan Campa oleh Raja Sanjaya dengan bantuan Suwira Gading diabadikan pula dalam Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuno dari abad ke­16.


Rute Pelayaran Sawerigading ke Negri Cina Mari sama­sama kita perhatikan rute pelayaran Sawerigading ke Ale Cina! Sumber rekonstruksi rute ini diambil dari buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo karya Prof. Nurhayati RahmanSawerigading yang bergelar Opunna Wareq sudah terbiasa berlayar, menjelajahi berbagai macam negri dan pulau di nusantara, bahkan hingga ke Majeng (negeri kematian).


Sawerigading berangkat dari Ale Luwuq dengan perahu raksasa Welenrenge beserta banyak perahu pengiring lainnya. Kurang lebih lima belas malam setelah meninggalkan Ale Luwuq, rombongan Sawerigading bertemu dengan perompak Banynyaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit?).


Tujuh hari kemudian rombongan mereka bertemu dengan La Tupu Soloq To Apunge, sembilan malam kemudian dengan La Tuppu Gellang (berperang selama 3 malam), tiga hari kemudian bertemu La Togeq Tana, sembilan malam kemudian bertemu La Tenripula, sembilan malam kemudian bertemu La Tenri nyiwiq To Malaka, dan puluhan malam kemudian bertemu dengan Settia Bonga Lompeng Ri Jawa Wolio (Buton).
Setelah berhasil mengalahkan seluruh musuhnya, tujuh malam kemudian Sawerigading dan rombongannya mendarat di negeri Wewang Nriwuq, yang lokasinya berada di Teluk Mandar/Selat Makassar. Wewang Nriwuq merupakan salah satu dari trio kerajaan Manurung di muka bumi, dengan Tejjoq Risompa sebagai pemegang kedatuannya.
Secara geografis kerajaan ini berada di sebuah teluk besar sebelah barat Ale Luwu, sebagaimana Tompoq Tikkaq berkuasa atas sebelah timurnya. Tejjoq Risompa yang tiada lain ialah paman Sawerigading menyambut kemenakannya tersebut dengan senang hati. Sawerigading kemudian melanjutkan pelayaran hingga Ia bertemu dengan I La Pewajoq yang baik hati, sang penguasa Pao (Davao, Filipina Selatan).
Berdasarkan deskripsi I La Pewajoq, Ale Cina ternyata masih nun jauh di sana letaknya! Kerajaan tersebut diapit oleh negri Sabbang Mparu dan Baebunta. Sawerigading masih harus berlayar berpuluh malam lagi hingga bertemu samudera, berhadapan dengan “perempatan” yang terbentuk oleh belahan arus sungai di laut, hingga Ia menemukan sungai yang banyak ditumbuhi oleh pohon angsana. Itulah Ale Cina.
Perjalanan ke Ale Cina memakan waktu yang lama karena luar biasa jauh jaraknya. Dapat dibayangkan, jika kita berpegang teguh dengan teori yang mengatakan bahwa Cina terletak di Pammana, Kab. Wajo sekarang ini, maka pelayaran Sawerigading di atas hanya perjalanan fiktif belaka mengingat jarak pelayaran dari Luwu ke Pammana tidaklah sejauh gambaran tersebut. Meskipun cerita La Galigo memiliki beragam versi, namun perjalanan panjang dari Ale Luwu menuju ke Ale Cina sudah mengendap dalam imajinasi masyarakat Bugis klasik. Episode ini merupakan peristiwa sentral karena menggambarkan kesengsaraan Sawerigading menggapai cintanya yang jauh di ujung samudera.


Ada beberapa hal menarik yang terungkap melalui pelayaran Sawerigading. Pertama; dari Luwu Ia berlayar ke selatan, lalu merubah haluannya (setelah melalui Selat Selayar) ke utara hingga akhirnya mendarat di Wewang Nriwuq (Teluk Mandar). Sebelum sampai di Barat (baca: Wewang Nriwuq) Ia sudah mengalahkan tujuh penguasa laut dari berbagai daerah yang berlayar di Teluk Bone (di antaranya bajak laut Jawa, Malaka, dan Buton). Dari sana Ia mengarungi Selat Makassar menuju utara, sampai bertemu dengan kapal penguasa Davao di Laut Sulawesi. Perjumpaan dengan penguasa Davao yang letaknya di pulau Mindanao ini mengindikasikan bahwa Sawerigading melanjutkan pelayaranannya ke arah utara.


Kedua; setelah mendapatkan arahan mengenai lokasi Ale Cina, Sawerigading terus berlayar sampai menemukan daerah berbukit­-bukit namun subur serta di dalamnya mengalir sungai­ sungai dengan banyak pohon angsana. Angsana (Pterocarpus indicus) alias kayu narra merupakan sejenis pohon kayu yang endemik di kawasan hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat ditemukan mulai dari Burma selatan, Kamboja, kepulauan Asia Tenggara, Pasifik barat, bahkan hingga Cina selatan. Daerah Annam (Indocina) sampai hari ini pun masih kaya dengan kayu yang kuat dan awet sebagai bahan furnitur ini. Kayu narra banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat alat musik dan konstruksi bangunan. Kerajaan Cina yang terkenal dengan ukiran­ukiran serta kemampuan mereka di bidang arsitektur menjadikan provinsi Annam sebagai gudang alam yang berlimpah kayu narra.


Ketiga, perihal kondisi alam Annam. Berdasarkan data terbaru (2011) dari Index Mundi terkait geografi Vietnam, 40% wilayah negara ini terdiri atas perbukitan, 42% terdiri atas hutan tropis, dan sisanya adalah dataran rendah. Bagian utara negri ini (yang berbatasan dengan Cina) terdiri dari dataran tinggi dan delta Sungai Merah (Song Hong). Sungai Mekong yang terkenal itupun juga mengaliri bumi Vietnam, dari utara ke selatan. Ale Cina yang dialiri oleh tujuh sungai dan daratannya terdiri atas negri berbukit­bukit indah sempurna sekali untuk diletakkan di Annam. Lebar Sungai Merah di Vietnam amat sangat memungkinkan digunakan sebagai tempat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh berbagai macam pedagang dari mancanegara.


Logika arah pelayaran Sawerigading menuju barat­utara serta informasi mengenai spesies tumbuhan dan bentang alam Annam ternyata 90% cocok dengan deskripsi tentang Ale Cina di dalam naskah La Galigo!
Sumber bacaan: LONTARA PROJECT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A