Langsung ke konten utama

Retna Kencana Colli' PujiE

Colliq Pujie (Penyalin Naskah Epos La Galigo dan Naskah Kuno Lainnya)
Colliq Pujié atau lengkapnya Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru IX, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang). Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colliq Pujié mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis.
Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujié. Mungkin saja beliau tidak dikenal sampai sekarang kalau saja, ia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno I La Galigo yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia. Colliq Pujié-lah yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos I La Galigo yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh B.F. Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang. Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujié, sehingga riwayat hidup Colliq Pujié sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan B.F. Mathes. Colliq Pujié bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi. Colliq Pujié juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.
Prof. Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar dalam bukunya “Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman” menyayangkan bahwa Colliq Pujié kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colliq Pujié adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan. Dr. Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris bahkan mengatakan bahwa, “terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colliq Pujié dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos I La Galigo sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, “Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujié”, hal. 13).
Salah satu karya sastra Colliq Pujié berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang berjudul “Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan” telah diterjemahkan dan ditransliterasi oleh H.A. Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading. Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin. Pantun Bugis dalam buku ini adalah ungkapan curahan hati Colliq Pujié. Salah satu bait dari 122 bait pantun dalam buku ini sebagai berikut:
Ininnawakku muwita,
Mau natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.

(Lihatlah keadaan bathinku,
Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)

Colliq Pujié juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul La Toa diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colliq Pujié adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colliq Pujié telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis dimata orang Eropa pada abad ke-19. B.F. Mathes berkali kali menyebut nama Colliq Pujié sebagai bangsawan Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).
Tentang I La Galigo, menurut R.A. Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan bahwa epos I La Galigo adalah karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia setara dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani. Menurut Sirtjof Koolhof pada pengantar buku I La Galigo terbitan Djambatan, naskah I La Galigo terdiri dari 300.000 larik/ bait sementara Mahabrata hanya kurang lebih 200.000 bait.
Sebagai tambahan informasi, di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, tersimpan 4.049 naskah lontara Bugis dan Makassar yang semuanya sudah di microfilm-kan, terdiri dari lontara paseng (pesan), attoriolong (petuah orang dulu), akkalaibinengeng (sex education), kutika (ramalan/ astrologi), tasauf dan ilmu agama, tata cara bercocok tanam, lontara Baddili Lompo (pengetahuan persenjataan dan strategi perang), pengobatan tradisional, tabiat binatang dan arsitektur dan beberapa penggalan kisah dalam epos I La Galigo. Sangat disayangkan bahwa minat mahasiswa sangat kurang untuk meneliti naskah lontara Bugis dan Makassar. Malah banyak peneliti asing dari berbagai negara yang meneliti produk budaya Bugis dan Makassar yang berupa naskah kuno lontara.
Mungkin untuk mengkaji lebih dalam tentang kehidupan Colliq Pujié seseorang harus ke Belanda karena disanalah segala informasi yang terekam yang tersimpan, tentang sosok Colliq Pujié yang mengagumkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A