Langsung ke konten utama

Rumah Tradisonal Adat Bugis

      Rumah tradisional Luwu di identifikasi spesial pada ruang ale bola/kale balla dan fungsinya masing-masing. Ruang depan (lontang risaliweng) yang di klasifikasikan dalam semi publik. Ruang tengah (lontang retengah) atau semi privat. Ruang belakang (lontang rilalleng)/tamping yang bisa di golongkan semi publik. Kamar (pattiroang)/privat. Dapur (dapureng) yaitu privat. Lego-lego (publik)
      Berdasarkan kosmologo bentuk Rumah Adat Luwu tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk “segi empat”, Pandangan kosmogoni orang bugis ini dengan apa yang disebut konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji (Segi Empat Belah Ketupat). Konsep Sulapaq Eppaq adalah filsafat tertinggi orang bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya. Wujud Konsep Sulapaq Eppaq juga dapat dilihat dalam bentuk manusia. Dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau “banua atas”, alam tengah “banua tengah” dan alam bawah “banua bawah”.

Rumah Adat Luwu dengan Rumah adat suku bugis hampir sama bentuknya, yaitu persegi empat mengartikan empat komponen bumi yaitu tanah, air, api, dan udara yang ke empat komponen ini tidak boleh saling terputus.
Jendela yang bentuknya hampir sama dengan pintu yang berbentu persegi empat dikarenakan kondisi lingkungan yang jika siang hari terasa panas dan malam hari terasa dingin. Maka dari itu ketika malam hari jendela di tutup tetapi masih ada sirkulasi udara yang berupa terali daun jendela, dan di saat siang jendela di buka untuk mendapatkan udara yang segar. 

  • Ornamen

Ornamen rumah adat Luwu yaitu bunga parengreng (bunga yang menarik) yang hidup menjalar sulur hidupnya tidak putus-putus, biasanya berada pada papan jendela, induk tangga, atau tutup bangunan (anjong). Ornamen lain berada pada samping kanan dan kiri yang berbentuk seperti timun, ada juga ornamen pada tangga yang berbentuk segi banyak.





  • Struktur Kayu pada Rumah adat Luwu
Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis-Makassar, memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis Makassar terbagi atas : 
Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar), “Pattolo” (Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain.“Palangga” (Makassar),“Arateng ” (Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang.
--Pondasi/ “Umpak ”, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.Struktur badan rumah, komponen komponen utama bagian ini.
--Lantai,berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “ Arung”, lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hambasahaja “ Ata” umumnya dari bambu.
--Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. 
--Konstruksi balok anak, merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok  pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50cm.
Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakansuatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya. Komponennya terdiri atas : 
  1. Balok makelar “soddu” atau “suddu”. Terletak ditengah antara balok pengerat  dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung” = ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan “Tosama” = ½ lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan“ Ata” = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik. 
  2. Kaki Kuda – kuda “Pasolle”. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dansebagai penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. 
  3. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi sebagaitempat bertumpunya balok “suddu”, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen,dimensi balok ± 4/12 cm. 
  4. Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubangdari tiang. Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. 
  5. Balok blander “Bare” atau “Panjakkala”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang.
      Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempatme makukan / mengikat papan lantai “Rakkeang”atau “Pammakkang”. Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapatberupa bambu atau papan. 
     Sistem konstruksinya, jepit dan ikat. “Sambulayang” atau “Timpalaja”, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok “Pattikkeng”. 
     Les plank “Ciring”, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan system sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap, bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga40°.


  • Tingkatan Kasta berdasarkan Berdasarkan Timpa Laja.
  1. Timpa laja untuk rakyat biasa terdiri atas 1 susun
  2. Timpa laja untuk bangsawan dan sejajarnya terdiri atas susun.
  3. Timpa laja untuk bekas raja adalah3, dan 4 Sususn
  4. Timpa laja untuk raja yang berkuasa terdiri dari 5 Susun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A