Langsung ke konten utama

We Manningratu Arung Data Sultanah Saleha Rabiyatuddin, Pejuang Wanita Dari Tanah Bugis

Menelusuri sejarah eksistensi kejatidirian masyarakat Bone pada masa lampau adalah hal yang positif dan merupakan hal yang bisa memberikan pelajaran dan hikmah bagi masyarakat di masa kini. Di tengah badai globalisasi arus perkembangan zaman yang dapat memicu tenggelamnya tradisi, budaya maupun sejarah jati diri Orang Bugis-Makassar berupa "Siri' na Pesse/Pacce" Orang Bugis-Makassar harus pula melawan ancaman yang dialaminya. Maka dengan menggali nilai-nilai kepahlawanan, perjuangan dan sosok kharismatik dari para pahlawan atau pun pejuang nasional pada masa lalu akan memberikan gambaran akan tingginya nilai "rasa cinta tanah air dan bangsa". Adakah pemuda Indonesia pada umumnya dan pemuda Bugis pada khususnya yang mampu seperti para pendahulu kita?

Semoga dengan tulisan ini, memberikan kita pada satu kisah inspiratif yang dapat menggugah semangat nasionalisme dan kepedulian terhadap bangsa Indonesia.

We Manningratu Arung Data merupakan salah satu dari enam raja wanita atau ratu yang pernah memerintah di Kerajaan Bone. Raja atau Ratu yang berkuasa di Kerajaan Bone dikenal dengan nama Arung Bone (baca; Arumpone) atau lebih dikenal dengan istilah Mangkau. Adapun nama-nama raja wanita di Kerajaan Bone, antara lain:
1) We Banrigau MakkalemppiE MallajangE ri Cina Ratu Bone IV (1496-1516)
2) We Tenri Patuppu Ratu Bone X (1602-1611)
3) We Batari Tojang Daeng Talaga Ratu Bone XVII (1714-1715) dan terpilih kembali                              sebagai Ratu Bone XXI (1724-1749)
4) We Manningratu Arung Data Ratu Bone XXV (1823-1835)
5) We Tenri Awaru Besse' Kajuara Datu Suppa Pancaittana Ratu Bone XXVIII (1857-1860)
6) We Fatimah Banrigau Ratu Bone XXX (1871-1895)

Atas mufakat dari dewan adat yang bernama "Ade' Pitu", We Manningratu dinobatkan menjadi Ratu Bone XXV menggantikan saudaranya yang bernama La Mappasessu To Appatunru. Di masa pemerintahan We Manning, beliau dikenal sebagai penguasa yang anti Belanda. Dalam "Sure' Bilang" (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Raja Bone XXII yang juga ayah We Manning, beliau diwariskan "Akkarungeng" (wilayah kekuasaan) di "Data" yang bertepatan dengan acara "riulu' sulolona" (acara syukuran tradisional atas kelahiran seorang anak).

Keberanian beliau ditampakkan ketika Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Van Goen menyerang Bone. Dengan taktik peperangan yang mumpuni serta strategi perang yang terkoordinir dengan baik, serangan tersebut dapat di tepis. Sehingga pasca pertempuran yang terjadi di pantai dan di pelabuhan BajoE tersebut, Van Goen mengirimkan surat kepada Ade' Pitu dan Ratu Bone agar menyerah dan kembali menandatangani pembaharuan Traktat Pejanjian Bongaya yang telah disepakati oleh La Tenri Tatta Arung Palakka Raja Bone XV di masa lalu.

Namun masa sulit dihadapi Van Goen, sebab di Tanah Jawa juga sedang mengalami pergolakan perlawanan dari Pangeran Diponegoro yang menyebabkan Van Goen harus meninggalkan Watampone dan kembali ke Makassar.

Pada tahun 1824  Mayor Jenderal JJ. Van Goen kembali datang membawa tugas ekspedisi yang sama, namun We Manningratu dengan kesigapannya telah menyiapkan strategi menangkis serangan Van Goen tersebut. Dengan semangat membara beliau bahkan membentuk Laskar Balira' (pasukan wanita) yang dilengkapi senjata "Lawida". We Manning membuat 'jargon' (Tag line) "Jangan Biarkan Orang Belanda menginjakkan kakinya di Tanah Bone" begitu kalimat yang senantiasa diucapkan demi membakar semangat laskar yang dipimpinnya.

Dari beberapa literatur ada beberapa versi nama We Manningratu yang ditemukan, diantaranya:
Abdurazak Daeng Patunru, dkk. dalam "Sejarah Bone" (1989), menulis nama raja bone xxv dengan nama I Benni Arung Data MatinroE ri Kessi. Menurut berbagai sumber dari tokoh masyarakat setempat mengatakan, bahwa nama I Benni Arung Data ditemukan pada catatan-catatan Belanda yang berusaha menguasai Bone di masa pemerintahan raja bone xxv tersebut. Jika keterangan ini benar, maka kemungkinan nama I Benni Arung Data hanya mengikuti aksen ucapan Belanda yang tidak terlalu fasih berbahasa Bugis.Dalam buku Lontara' Akkarungeng Bone (1985), nama Arungpone xxv adalah We Manneng Arung Data.
Drs. Sarita Pawiloi, dalam buku Arus Perjuangan di Sulawesi Selatan (1989), menulis nama raja bone xxv dengan nama I Maning Arung Data.
Andi Muh. Ali, dalam buku Bone Selayang Pandang (1986), menulis nama raja bone xxv dengan nama I Mani Arung Data.Dalam "Sure' Bilangang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng MatinroE ri Rompegading Raja Bone XXII yang juga ayah dari Raja Bone XXV, diketahui bahwa anak perempuannya bernama We Manningratu.
Andi PallogE Petta Nabba, dalam buku "Naskah Sejarah Bone", menulis nama raja bone xxv dengan nama I Maniratu Arung Data dengan gelar Sultanah Rajituddin MatinroE ri Kessi.
Dalam Sure' Bilang La Tenri Tappu To Appaliweng tersebut diketahui, bahwa We Manningratu Arung Data lahir pada tanggal 14 oktober 1776, seperti bunyi catatan:
"14 Oktober 1776, purai 10 garagataE najaji ana'na, Puanna Batara Tungke, Makkunrai ana'na, Alhamdulillah" artinya, 14 oktober 1776, sesudah pukul 10 malam lahir anak Sang Raja Bone, Puanna Batara Tungke anaknya perempuan, alhamdulillah. Kata "Puanna" yang berarti "Tuannya" menandakan, bahwa meskipun We Manningratu adalah adik dari Batara Tungke namun kasta We Manning lebih tinggi dibanding kakaknya sebab We Manningratu lahir di masa La Tenri Tappu naik tahta sebagai Mangkau/Raja Besar dari federasi Akkarung/raja-raja Bone.

"Upakkuru sumange' I Puanna Batara Tungke seddi jemma, ana'na uwareng inungeng butung, karawi' ulaweng" artinya: Saya bersyukur atas kelahiran adik Batara Tungke' dengan menghadiahkan kemerdekaan satu orang budak dan anak budak tersebut ku hadiahi tempat minum khas Buton yang bermotif emas.

Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1776, La Tenri Tappu kembali menulis catatan: "Utudattudang ri salassa'E mitai We Manningratu" artinya saya duduk di singgasana dan mengamati We Manningratu.

Dalam Lontara' Akkarungeng Bone diketahui, bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng dari istrinya We Tenri Pada melahirkan 13 orang anak, antara lain: 

1) La Batara Tungke Arung Timurung
            2) We Manningratu Arung Data
            3) La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka
            4) La Mappaselling Arung Pannyili
            5) La Tenri Sukki Arung Kajuara
            6) We Kalaru Arung Pallengngoreng
            7) La Tenri Bali Arung Ta'
            8) La Mappaewa Arung Lompu
            9) La Paremma Rukka Arung Karella
          10) La Temmu Page Arung Paroto
          11) La Pattuppu Batu Arung Tonra
          12) La Pawawoi Arung Sumaling
          13) I Mammuncaragi

Mungkin banyak yang berpendapat bahwah apalah arti sebuah nama, namun menurut penulis "nama" adalah identitas yang paling melekat pada diri seseorang sekaligus membuatnya abadi dalam lembaran sejarah kehidupnya.

We Manningratu Arung Data juga dikenal sebagai pelopor para raja di Sulawesi dalam menolak pembaharuan Perjanjian Bungayya di tahun 1824 yang berakibat pada penyerangan Belanda terhadap Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Goen.

Kekuatan Belanda di Sulawesi Selatan di bawah kepemimpinan Van Goen memang tampak kewalahan menghadapi pelawanan raja-raja yang menolak untuk menjalin kerjasama, terutama Raja Bone yang dengan tegas menyatakan menolak kerjasama dengan pihak Belanda.

Kedatangan kembali bangsa Belanda di Sulawesi pada tahun 1814 yang setelah sekian lama hengkang dari ''Bumi Celebes" bermula dari kekalahan Kerajaan Perancis di masa kepemimpinan Napoleon Bonaparte atas negeri-negeri taklukannya termasuk Kerajaan Belanda. Atas koalisi negara-negara Eropa yang dipimpin oleh Kerajaan Inggris, kemenangan tersebut berdampak pada beralihnya kekuasaan Kolonial Belanda ke tangan Kolonial Inggris menggantikan Perancis yang menjajah Nusantara sejak tahun 1811.

Pada akhir tahun 1811 Kerajaan Inggris berhasil menduduki Makassar. Residen berkebangsaan Inggris yang bernama Philips bermaksud mengatur segala kebijakan di Nusantara baik perdagangan maupun pemerintahan raja-raja di Nusantara berdasarkan kepentingan Kolonial Inggris. Namun maksud tersebut ditentang keras oleh Raja Bone XXIV La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka yang juga adik kandung We Manningratu Arung Data.

Segala rencana Kolonial Inggris terhadap raja-raja di Sulawesi Selatan ditolak tegas oleh La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka. Dan pada akhirnya di tanggal 2 Juni 1814 Kolonial Inggris mengirim pasukan ke Bone di bawah pimpinan Mayor Jenderal Nightingale untuk menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone. Naas bagi To Appatunru, pasukan koalisi Bone kalah telak dan memaksa pasukannya untuk mundur ke arah Maros dan mengubah taktik perangnya secara gerilya. Pasukan Inggris akhirnya berhasil menduduki Kota Watampone, tetapi pasukan Inggris tidak menetap dan kembali ke Makassar. Hal ini dimanfaatkan Laskar Bone untuk lebih bebas mengatur taktik perang yang dibantu oleh pasukan Maros dan kerajaan-kerajaan koalisi lainnya.

Pada tahun 1816 berdasarkan Convention Of London, Belanda mengabil alih wilayah kolonial Inggris di Nusantara (Indonesia). Di Makassar pemindahan kekuasaan tersebut berlangsung pada bulan Oktober 1818. Selanjutnya pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van Der Capellan datang ke Makassar dan sangat khawatir dengan berkobarnya perlawanan yang semakin hebat dari kalangan raja-raja di Sulawesi Selatan. untuk itu diundanglah raja-raja Sulawesi Selatan ke Makassar untuk digelar perundingan kerjasama. Sejumlah raja bersedia hadir untuk menandatangani perjanjian Ujung Pandang yang merupakan pembaharuan dari Perjanjian Bongayya. Akan tetapi raja Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Suppa, dan raja-raja di tanah Mandar tidak hadir, namun sangat disayangkan pihak dari Istana Gowa menerima tawaran kerjasama Belanda tersebut. Di antara raja-raja yang tidak hadir salah satunya adalah We Manningratu Arung Data MatinroE ri Kessi yang pada saat itu telah duduk di tahta Kerajaan Bone menggantikan Adiknya To Appatunru.

Melihat kekuatan Laskar koalisi Bone, Maros, Sinjai, Pangkajenne, Soppeng, Wajo yang sangat anti kolonialisme, membuat Kerajaan Belanda khawatir sehingga Kolonel Van Schelle selaku Pemimpin Kolonial Belanda di Makassar terpaksa meminta bala bantuan tambahan pasukan dan persenjataan dari Batavia (Jakarta). Untuk itu, ditugaskanlah pasukan dari Batavia di bawah pimpinan Kolonel Bischoff untuk merebut Maros, Pangkajenna dan Segeri dari kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Bone. Dan pada akhir tahun 1824 Mayor Jenderal JJ. Van Goen datang pula dari Batavia dengan tugas ekspedisi yang terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan juga Angkatan Laut yang dipimpin oleh Kapten Terzee Piterzen.

Menurut tutur lisan di masyrakat Bone diketahui, bahwa We Manningratu adalah seorang wanita yang berhati baja dan keberaniannya melebihi sebagian laki-laki. Hal ini nampak pada saat memimpin pertempuran melawan Belanda di berbagai tempat dan We Manningratu juga terkenal sebagai Raja Wanita yang selalu membawa keris di pinggang ketika bepergian meskipun pengawal kerajaan masih senantiasa menyertainya.

Untuk menaklukkan Negeri Bone, pasukan Belanda terlebih dahulu menyisir dan menaklukkan wilayah Maros, Bantaeng, Bulukkumba dan Sinjai. Sehingga pasukan Van Goen baru bisa menembus pertahanan pasukan Bone di BajoE pada tanggal 24 Maret 1825 setelah membumihanguskan Sinjai pada tanggal 19 Maret 1825. Kenyataan tersebut menandakan, bahwa Penguasa Kerajaan Bone We Manningratu mendapat dukungan kuat dari raja-raja tentangganya. Setelah pesisir selatan, seperti Bulukkumba dan Bantaeng ditaklukkan oleh Belanda, di bawah pimpinan Mayor Lobron De Vosela pasukan Belanda kemudian melanjutkan perjalanan ke Kajang dan Sinjai untuk menemui Pasukan Utama yang akan memasuki Bone.

Dalam literatur kisah heroik perjuangan We Manningratu tidak dijelaskan kapan akhir dari perlawanannya terhadap Kolonial Belanda tetapi hanya menyebutkan, bahwa tahun 1835 di usia 59 tahun We Manningratu wafat di "Kessi". Konon kessi' berada di Laleng Bata (di dalam lingkungan Ibu Kota Kerajaan Bone), tetapi sumber lain mengatakan daerah kessi' terletak di bagian selatan Kerajaan Bone. Dan tongkat estafet kepemimpinan Kerajaan Bone dilanjutkan oleh adiknya yang konon "banci" (banci; dapat berarti bencong atau penakut, red.) yang bernama La Mappaselling Arung Pannyili sebagai Raja Bone XXVI.

Dikatakan, bahwa We Manningratu Arung Data selama hidupnya tidak pernah menikah, sehingga tidak memiliki keturunan. Namun menurut tutur dari penduduk Desa Waji', dusun Takku Kecamatan Tellu SiattingE, We Manningratu menikah dengan La Bahong Daeng Marakka Opu Mangnguluang dan memiliki dua orang anak yang bernama La Summi' dan La Semme. La Bahong adalah salah seorang cicit dari La Settiaraja MatinroE ri Tompo'tikka Raja Luwu XVIII dan XX, putra dari Petta MatinroE ri Gowa Raja Luwu XVII dan juga cucu dari Patipassaung Sultan Abdullah MatinroE ri Patimang putra dari Patiarase' Raja Luwu XVI yang menikahi Karaeng Balla Bugisi' dari Gowa dan Patiarase' merupakan putera We Tenri Rawe Ratu Luwu XIV.

Adanya catatan yang menyatakan We Manningratu tidak menikah dan tidak memiliki keturunan konon disebabkan oleh unsur kepentingan politik dinasti atas "campur-tangan" kolonial Belanda yang tidak menginginkan turunan We Manningratu Arung Data kembali menduduki tahta Kerajaan Bone. Namun keturunan La Summi' dan La Semme mengatakan, bahwa di masa pemerintahan La Parenrengi Raja Bone XXVII La Summi' menjabat sebagi "Pa'bicara Arungpone ri Takku" (Hakim) dan La Semme menjadi bagian dari "Anreguru Anakarung" (Pasukan yang terdiri dari kesatuan anak-anak raja di wilayah Bone). Namun sangat disayangkan data mengenai "sepak terjang'' La Bahong Daeng Marakka Opu Mangnguluang kurang familiar di turunan beliau sehingga menimbulkan kisah yang simpang siur. Ada yang mengatakan beliau wafat di medan perang pada saat melawan Belanda dan ada pula yang mengatakan beliau bercerai dengan We Manningratu Arung Data.

Diriwayatkan, bahwa sejak tahun 1825 timbul dua faksi (golongan) di Kerajaan Bone yaitu We Manningratu sebagai Raja Bone yang didukung oleh La Temmu Page Arung Paroto 'Ponggawa Bone' (Panglima perang) yang juga adik beliau dan di pihak lain La Mappangara Arung Sinre' sebagai To Marilaleng (Perdana Menteri) yang lebih lazim disebut To Marilaleng MatinroE ri Sesso'E (suami We Kalaru Arung Pallengngoreng, adik dari W Manningratu) yang "diam-diam" bersekutu dengan Belanda atas saran dari La Sumange' Rukka To Patarai Arung Barru yang pada waktu itu sedang berada di Bone karena suatu sebab sehingga terusir dari Barru dan menetap di Bone. Dan atas bantuan Belanda dan La Mappangara pula akhirnya di tahun 1832 La Sumange Rukka berhasil menduduki tahta Kerajaan Barru.

Dari kedua faksi tersebut dikatakan, bahwa, di pihak Raja Bone tidak menginginkan adanya kompromi dan perdamaian dengan Belanda sedang di pihak To Marilaleng berharap Raja Bone bersedia melakukan perundingan demi menghindari konflik dan korban jiwa yang lebih banyak serta untuk menghindari kekalahan dan kehancuran Kerajaan Bone.

Pada tahun 1835 We Manningratu wafat dan hal ini dijadikan kesempatan oleh La Mappangara Arung Sinre' untuk memperluas pengaruhnya yang berdampak pada terusirnya kedua putera We Manningratu ke luar istana dan 'hijrah' ke Tanah Ta' tempat adik ibunya yang bernama La Tenri Bali menjabat sebagai Arung Ta'. Hingga akhirnya La Summi' dan La Semme menetap di Tanah Takku dan wafat di daerah tersebut.

Meskipun Dewan Adat "Ade' Pitu" mengangkat adik kandung We Manningratu yang bernama La Mappaselling Arung Pannyili sebagai pewaris tahta, namun semangat juang adiknya tidak seperti kedua kakaknya yang anti terhadap "Kolonial Bangsa Asing'' dan lebih terkesan sebagai "raja boneka" bagi La Mappangara dan Kolonial Belanda sehingga di gelari "Calabai" (banci; penakut) oleh pendukung We Manning.

Demikianlah sekelumit kisah hidup We Manningratu Arung Data seorang Wanita, ibu, pemimpin laskar perang dan sebagai Mangkau Bone XXV (1823-1835) yang sempat penulis persembahkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A