Langsung ke konten utama

BENARKAH DAENG PAMATTE PENCIPTA HURUF LOTARA…???

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Daeng Pamatte dan Huruf Lontara ada baiknya kita membahas defenisi (pengertian) dari Sejarah dan Prasejarah.
Pengertian Sejarah dan Prasejarah
Sejarah
Sejarah atau history berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘hisotira’ yang berarti penyelidikan atau pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian yang mendalam.Hal tersebut menunjukan bawah pengkajian sejarah sepenuhnya bergantung pada penyelidikan yang mendalam terhadap perkara atau kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau yang bersumber dari data-data tertulis baik berupa naskah kuno maupun berupa simbol-simbol yang menggambarkan suatu kisah kejadian pada masa lalu.
Kata sejarah itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘syajaratun’ yang berarti pohon kayu yang bercabang-cabang. Pohon kayu yang bercabang-cabang diibaratkan sebagai sejarah karena sejarah berkembang dari satu titik kejadian bercabang ke titik kejadian yang lain yang saling berhubungan. Pohon yang bercabang-cabang juga diibaratkan sebagai suatu silsilah keturunan dari suatu individu, raja atau orang-orang penting pada masa lampau.
Sedangkan dalam bahasa Jawa, sejarah diistilahkan sebagai ‘babad’ yang berarti riwayat dan sejarah. Kata ‘babad’ juga bisa berarti memotong tumbuhan dengan pisau sehingga terang. Begitulah fungsi sejarah, mengurai kejadian di masa lalu sehingga jelas dan terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Prasejarah 
Prasejarah adalah zaman sebelum manusia mengenal tulisan atau zaman prasejarah atau zaman nirleka (nir: tidak ada; leka:tullisan) adalah zaman dimana belum digunakannya tulisan sebagai bahasa oleh orang-orang primitive. Zaman prasejarah dapat dikatakan diawali sejak terbentuknya alam semesta, tapi umumnya zaman prasejarah dikaitkan dengan waktu atau masa dimana mulai terdapatnya kehidupan di bumi, dimana manusia mulai ada.
Daeng Patte Dalam Catatan Sejarah

Daeng Pamatte
lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah Kerajaan Gowa yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte', orang lantas mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta huruf Lontara Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.
Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna(1510 – 1546), tersebutlah Daeng Pamatte' sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam pemerintahan yaitu sebagai "sabannara" (syahbandar) merangkap "Tumailalang" (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.

Lahirnya Aksara Lontara
Lahirnya karya bersejarah yang dibuat "Daeng Pamatte" bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis.
Maka Daeng Pamatte' pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta.
Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte' ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni "ha" sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).


Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat

Jenis aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-Jangang atau Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti burung yang sedang terbang dengan huruf "Ka" burung hendak turun ke tanah dengan huruf "Nga", bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf "Nga". Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya. Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka" angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna "Ga" angka tujuh dengan titik diatas diberi makna "Nga", juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf . Aksara Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil bentuk huruf dari Belah Ketupat.
Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Makassar itu menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut, huruf "Ha".
Dalam pada itu, dalam versi lain Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte jugalah yang menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya sekarang. Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk keperluan bahasa Bugis ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Bugis Makassar.**

Dari uraian tentang sejarah Deng Pamatte di atas timbul beberapa pertanyaan, antara lain:
  1. Dari literatur di beberapa Blog mengisahkan tentang Daeng Pamatte, Krg. Tumapa'risi Kallonna dan penciptaan huruf Lontara'. Yang jadi pertanyaan apakah mungkin Kerajaan Gowa pada masa sebelum dicetusnya penulisan huruf lontara oleh Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna adalah tergolong zaman presejarah…?
  2. Bukankah kisah Sawerigading dalam Sure’ La Galigo sudah sering disenandungkan dalam bentuk bacaan (kitab) oleh Orang Bugis-Makassar jauh sebelum islam masuk ke Gowa dan tidak mungkin Sure’ La Galigo usianya lebih muda dari Daeng Pamatte. Jika demikian, huruf apakah yang digunakan masyarakat bugis-makassar dalam menulis Sure’ La Galigo di masa sebelum huruf lontara diperkenalkan…?
  3. Mungkinkah ada kesalahpahaman dalam membaca lontara tentang sejarah Daeng Pamatte dan tulisannya tentang sejarah Huruf Lontara’ bahwa beliau adalah penemu huruf Lontara…?


5.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A