Langsung ke konten utama

Maddara Takku dan Dusun Takku


Wasiat yang disampaikan We Manningratu/I Manneng Arung Data Mangkau (Penguasa/Ratu) Bone XXV kepada anaknya La Summi Bin La Samba' Salebba MaloloE ri Soppeng saat akan menetap di Tanah Takku:
"Deaga Wedding Makkarung Ri Tana na Takku, Nasaba' Deaga Wedding Mapparenta Nennia De'to Aga Tau Wedding Naparenta"

artinya:
Tidak diperbolehkan atas seseorang berkuasa di Tanah Takku karena tidak seorang pun berhak berkuasa di tanah tersebut sebab tidak seorang pun yang dapat dia Perintah.

"Narekko Maelo'ko Riolli Daeng Ri Pa'banuaE Makkappono Ri TempatuE; Iko Melo'E Riolli Petta Ri Pa'banuaE Makkampokko Ri Tana na Lamacanang; Nennia Iko Melo'E Riangkalinga Ada-adammu Na Kedo-kedomu RiapparentangngE Onrono Ko Tana Na Takku, Deaga Wedding Parentako De'to Na Wedding Nakarebbe' Lekke'mu ArungngE Yekia Asemmu Mi Tu Bawang Riollirekko Ko Pa'banuaE"

artinya:
Jika kamu ingin bergelar Daeng di mata masyarakat berkumpullah kalian di TempatuE; bagi kamu yang ingin bergelar Petta di masyarakat, maka bermukimlah d Tanah Lamacanang; tapi jika kamu ingin perkataan dan kehendakmu di jadikan "masukan" oleh penguasa (Raja Bone), maka menetaplah di Tanah Takku, tidak seorang pun dapat menjadikanmu hamba (bawahan) sebab raja (Arung) sekalipun tidak berhak memaksakan kehendaknya kepadamu, akan tetapi kamu hanya dikenal sebagai namamu apa adanya (tanpa gelaran keningratan).

"Deaga Wedding Arung Makkinnyarang Mattama ri Tana Na Takku"

artinya:
Tidak dibenarkan seorang Arung (raja kecil/negeri bawahan) menunggangi kuda (dengan ditarik oleh seorang budak) memasuki wilayah Takku.

Arti Maddara Takku
Di sulsel dikenal Dara Takku yang secara harfiah berarti "Darah Putih". Takku sendiri berasal dari nama pohon yang getahnya berwarna putih. Konon karena diberikan hak istimewa oleh para pribumi, para pimilik tanah dan adat, agar supaya dapat menjadi pengayom/pemimpin untuk semua kaum "Aruang" sehingga disebut Maddara Takku (Berdarah Bangsawan). Dan bangsawan itu hakikatnya adalah sifat, siapapun yg memiliki sifat itu maka secara idiologi adalah pewaris bangsawan, meski bukan dari geneologi langsung, banyak contoh bangsawan yg dibunuh oleh kawulanya karena sifatnya, begitupun banyak kawula atau kaum yg berhijrah karena tidak sudih dibawahi oleh seseorang, bangsawan itu adalah sifatnya bukan darahnya. Dan dari literatur yang ada arti Maddara Takku adalah Bangsawan Tinggi atau Bangsawan murni generasi atau keturunan langsung dari To Manurung
Sejarah Wanua Takku
Wanua Takku atau Kampong Takku atau untuk saat ini lebih dikenal dengan nama Dusun Takku adalah salah satu dusun di daerah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Terletak di wilayah Kecamatan Tellu SiattingE, Desa Waji sekitar 5 km dari kantor Kecamatan Cenrana.
Menurut tutur masyarakat setempat, konon wilayah ini dulunya dikenal dengan nama 'Ulu TanaE' yang artinya 'Kepala/puncaknya Tanah', sebab kawasan ini dikelilingi hutan yang berbukit dan posisi Ulu TanaE terletak tepat di tengah perbukitan tersebut dengan kondisi tanah yang lapang dan dipenuhi padang ilalang yang sangat luas. Seiring waktu nama Ulu TanaE kemudian berganti dengan nama 'Takku'.
Di Ulu TanaE terdapat lokasi yang dipercaya penduduk setempat menjadi awal mula We Tenri Rawe atau lebih dikenal dengan nama Besse' Takku atau Besse' Rawe yang juga pemilik hak atas tanah tersebut membuka lahan dan menjadikannya pemukiman bersama suami dan hamba-hamba sahayanya (budak) yang kelak kawasan tersebut berganti nama menjadi 'Takku' yang berasal dari kata 'Maddara Takku' (Berdarah Putih) yang artinya berdarah murni dan belum bercampur dengan darah kasta rendah.
Lokasi awal mula Besse' Tenri Rawe membuka lahan untuk dijadikan hunian dikenal dengan nama 'Batu Lappa' yang juga merupakan 'Possi Tana' atau Pusat (pusar) Tanah. Jejak peninggalan Batu Lappa hingga saat ini masih dapat dijumpai jika kita berkunjung ke Dusun Takku.
Di sebelah selatan Ulu TanaE juga terdapat tanah lapang yang dipenuhi dengan padang ilalang luas yang sampai saat ini namanya masih terjaga. Penduduk setempat menyebutnya dengan nama 'Laso TanaE' yang artinya 'Kelamin lelakinya Tanah'. Dinamakan Laso TanaE karena wilayah tersebut sangat kaya akan rerumputan segar yang sangat cocok untuk pakan ternak kerbau pada masa itu dan hingga saat ini Laso TanaE masih digunakan oleh penduduk di tiga dusun (Takku, Kacumpureng dan Wedda'E) untuk menggembalakan ternak sapi-nya.

Besse' Rawe menetap di Takku disebabkan hubungannya dengan Baso' Bila ada juga yang mengatakan bahwa Baso' Bila adalah La Tekko Arung Bila anak dari La Kandamang Arung Bila, seorang pemuda tampan anak dari raja negeri Bila (Arung Bila) yang kasta darahnya bukan "Sengngengpali" (anak Bangsawan yang ibunya dari kasta bawah) karena tidak tergolong "Arung Sengngeng Wali-wali".
Sangat berbeda dengan Besse' Rawe yang kastanya tergolong tinggi karena anak La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 dari istrinya yang bernama We Baya To Bukaka Datu Lamuru.
Sebenarnya, Besse' Rawe telah dijodokan dengan anak Bangsawan Negeri Luwu. Namun, karena rasa cintanya yang besar terhadap Baso' Bila dan lebih memilih untuk menikah dengannya membuat ayah Besse' Rawe yang bernama La Patau yang juga penguasa Kerajaan Bone pada masa itu sangat kecewa meskipun hubungan antara Negeri Bila yang juga "Palili (kerajaan bawahan) dari Bone masih sangat baik.
Dengan sangat terpaksa dan untuk menjaga hubungan baik antara Negeri Bone dan Negeri Bila, La Patau akhirnya merestui hubungan mereka dan memberikan wilayah Ulu TanaE sebagai warisannya, akan tetapi La Patau Matanna Tikka tidak mengizinkan Besse' Rawe menjadi Arung (penguasa) di Ulu TanaE.
Dengan berat hati Besse' Tenri Rawe menerima kenyataan tersebut. Namun Besse Rawe mengajukan persyaratan kepada ayahnya, antara lain:
  1. Wilayah Ulu TanaE tidak boleh dimasuki dengan sembarangan tanpa seizin dari Besse' Rawe dan juga kepada siapa saja yang kelak akan menjadi pemilik Ulu TanaE.
  2. Sampai Kapan pun tidak seorang pun dapat diangkat menjadi Arung (raja kecil) di Ulu TanaE dan Ulu TanaE tetap di bawah perlindungan dan kekuasaan Bone.
  3. Hanya Arung dan anak-anak turunan Arung beserta budak-budaknya yang dapat menetap di Ulu TanaE.
  4. Tidak diberikan posisi penghargaan tertinggi kepada siapa saja Arung yang memasuki Ulu TanaE karena derajat orang-orang yang bermukim di Ulu TanaE sama dengan derajat Arung itu sendiri kecuali hamba sahaya/budak.
  5. Apa pun keputusan yang ditetapkan orang-orang yang bermukim di Ulu TanaE dan demi kepentingan dan kemajuan Ulu TanaE dan Kerajaan Bone, maka Arung mana pun dan siapa pun tidak dapat menentangnya.
  6. Ulu TanaE berganti nama menjadi 'Tana Takku' sebab yang diperbolehkan menetap di wilayah itu hanya 'To Maddara Takku' (Berdarah Bangsawan/Ningrat/Berdarah Biru).

Dengan restu Dewan Adat yang dikenal dengan nama Ade' Pitu dan dengan pertimbangan, bahwa suatu saat akan banyak anak Arung yang tidak mendapat jabatan di istana dan akan ada Arung yang diharuskan turun dari tahtanya baik secara suka rela atau pun terpaksa, maka La Patau Matanna Tikka menerima permohonan We Tenri Rawe.

Besse' Rawe dan Baso' Bila dikaruniai beberapa orang anak salah satunya seorang anak laki-laki yang bernama La Malloangeng Petta Sakka Arung Jaling/Ajjalireng dan dinikahkan dengan I Sitti Aisya anak Arung Mampu dari suaminya yang bernama Abdullah Mutthalib Syech Waji'. Dari keturunan We Aisyah dan Arung Jaling kemudian melahirkan turunan "Pa'bicara (Hakim Adat) Arungpone" yang menjadi pewaris dan pengawas "Tana Takku".

La Patau Matanna Tikka dikenal sebagai raja yang bijak dan tegas. Ada beberapa anak turunannya yang mendapat hukuman karena tidak mendengarkan nasihat atau melanggar hukum adat, misalnya We Pinceng Pute yang diusir keluar dari istana karena  mencintai  hamba sahayanya (budak) yang tampan, La Padassajati To Appeware' Sultan Sulaeman Petta RijalloE Raja Bone XVII di saat remaja sebelum dinobatkan menjadi Raja Bone pernah dijatuhi hukuman mati karena memerintahkan seseorang untuk membunuh Ayah Mertua La Patau Matanna Tikka yang juga kakek dari Besse' Rawe, bernama La Cella Arung Ujungpulu Datu Lamuru anak dari La Malewai Arung Ujungpulu Arung Barru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dari istrinya yang bernama We Karoro Datu Lamuru, namun karena dilindungi oleh kakeknya I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone yang juga sebagai Raja Gowa ke-19 akhirnya hukuman tersebut dibatalkan. Dan konon La Patau Matanna Tikka juga pernah menghukum mati salah seorang putranya hanya karena makan di warung pinggir jalan yang pada zaman itu adalah hal "tabu" (Pamali) bagi seorang anak raja.

Hingga berakhirnya masa Monarki ke masa Swapraja di masa kolonial Belanda ''Tana Takku" tidak pernah dipimpin oleh seorang "Arung Lili" (Pangeran/raja bawahan) tetapi hanya menempatkan "Pa'bicara Arungpone" (Hakim Kerajaan) sebagai Pengawas Wanua (perpanjangan tangan dari Mangkau/Raja Bone) dan Pa'bicara Arungpone di Wanua Takku yang terakhir dipegang oleh La Bandu putra dari La Summi anak dari La Samba' Salebba MaloloE ri Soppeng dan We Manningratu Arung Data Mangkau Bone XXV.

Menurut penduduk setempat, saat ini di Dusun Takku hanya sedikit masyarakat yang dapat melacak rumpun silsilah mereka. Umumnya Takku dihuni oleh turunan La Summi dan La Semme putra dari We Manningratu Arung Data Mangkau' (Penguasa) Bone XXV, meskipun dari mereka ada juga yang mengaku turunan dari La Ali Petta Cambang Timurung, La Ali Petta Tompo Arung Galung dan La Mappasere Petta SongkE Arung Opo Dulung Ajang Ale', Arung Otting, Arung Mampu, Arung Amali serta turunan La Ali Arung Cenrana dari istrinya We Saloge, Arung Sijelling, Arung Lanca, Arung Timurung, Arung Mampu dan Arung Weteng, namun mereka tidak dapat meretas silsilah kekerabatan keluaraga mereka hingga ke arung-arung yang pernah berkuasa di beberapa negeri tersebut disebabkan karena kurangnya informasi dari orang tua mereka dan banyaknya 'STAMBOM' yang dirampas dan dibakar oleh "Gerombolan" DI/TII Kahar Muzakkar yang memasuki Takku di awal masa kemerdekaan NKRI.


Demikian sekelumit kisah Dusun Takku dan Besse' Tenri Rawe, Wallahu 'alam....
                                                                                                         

                                                                                                    *Kisah disadur dari tutur rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS PAKKIO' BUNTING (PANTUN MENJEMPUT PENGANTIN MAKASSAR)

Iya dende ‘Iya dende Nia tojemmi anne battu Bunting kutayang Salloa kuminasai Nampako ri ujung bori’ Ri appa Pakrasangangku Ku’rappo cini Kutimbarangngi pangngai Kuassennunju lania Nakuitungko labattu Ku’ragi memang Berasa ri mangko kebo’ Nasadia lebba batta Rappo ripala’ limangku Kunnanro memang Leko’ ri talang bulaeng Kuntu intang maccayanu Nibelo-belo jamarro, makilo-kilo Massingarri dallekannu Labbiri’ nuparamata Jamarro moncong bulonu Bulaeng ti’no Ansuloi paccini’nu Lekukapeangko anne Sumanga’nu mabellayya Ku kiyo’ tongi Tubunnu sallo lampayya Baji kualleko anne Bunga-bunga tamalatea Latei bunga Tamalate cinikannu Sakuntu’ sanrapangtongko Bulang simombo’ I Raya Nasussung pale Natinriang wari-wari Wari-wari kapappassang Pale’ mannuntungi bangngi, nisailenu Tamalajju cinikannu Nacini’ ma’mole-mole Ma’mole-mole nikio’ Daeng Ni pakalompo Nikanro ana’ karaeng Kupattannangngangko anne Tope talakka ri aya’ Malakka tope Tamalakka’ko I kau

TO UGI (BUGIS), TO RIAJA (TORAJA), TOLUU’ (LUWU) HINGGA TURUNAN TOMANURUNG

By La Oddang Tosessungriu Bahwa kata “To” adalah berarti “orang” bagi segenap suku di Sulawesi Selatan. Jauh diujung selatan, yakni Selayar hingga Tanjung Bira, Ara sampai Kajang, penutur bahasa “konjo” tatkala menyebut “To”, maka itu berarti “orang”. Terkhusus pada keyakinan kepercayaan “patuntung” di Kajang, bahkan menyebut Tuhan YME sebagai “To RiyE’ A’ra’na” (Orang Yang Memiliki Kehendak). Demikian pula di Jeneponto, menyebut orang dengan sebutan yang sedikit lebih “tipis”, sehingga menyebut kawasannya sebagai “TUratEa” (orang-orang yang bermukim di ketinggian). Perjalanan kemudian tiba di Gowa, yakni bekas kerajaan terbesar suku Makassar. Tiada beda dengan orang TuratEa, mereka menyebut “Tu” pula bagi masyarakat manusia, satu-satunya species mahluk Allah yang memiliki kemampuan mencipta peradaban di dunia fana ini. Demikian pula dengan seluruh kerajaan penutur Bahasa Bugis, EnrEkang, Duri, Pattinjo hingga Toraja, semuanya menyebut “To” bagi yang dimaksudkannya sebagai

Rumpun Keluarga To Takku

Rumpun keluarga To Takku  berdasarkan "Lontara' Akkarungeng Bone" dan "Lontara' Bilang Gowa"  merupakan simpul atau perpaduan silsilah dari keturunan  La Ali Petta Cambang Timurung,   La Ali Petta Tompo' Arung Galung Arung Manciri', We Saloge' Arung Cenrana Dan La Summi Pa'bicara Arungpone ri Takku. Dari rumpun tersebut ditemukan benang merah, bahwa keempatnya merupakan turunan langsung dari La Patau Matanna Tikka Raja Bone ke-16 . La Patau Matanna Tikka diketahui memiliki sembilan belas orang istri dan dari empat orang istri beliau anak-turunan mereka kawin-mawin satu sama lain. Ada pun nama-nama istri La Patau yang kemudian cucu-cucu meraka kawin-mawin dan menjadi satu generasi di keluarga To Takku dan menyebar di Kota Watampone, Kec. Tellu SiattingE, Kec. Dua BoccoE, Kec. Cenrana, Kec. Amali, Kec. Ajang Ale' dan di Kota Makassar serta di tanah Jawa, Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan, Malaysia, Singapore bahkan di Jerman dan A